AMP - Pemerintah dan masyarakat sendiri secara bersamaan haruslah bersikap proaktif untuk mempertahankan kelangsungan perdamaian di Aceh.
Ureueng Aceh
Meunyo hana teupèh até
Padé bijeh pih teubi
Meunyo ka teupèh até
Bu leubèh pih han ta peutaba (Peribahasa Aceh)
Orang Aceh, kalau tidak disakiti hatinya
Biji padi (beras) makanan yang diberi pun tidak masalah
Akan tetapi, jika sudah hatinya sudah tersakiti
Ditawarkan lebih banyak (apapun) ia tak mau
Aceh, nama yang sejak lama sudah sangat familiar dan popular ditelinga kita. Aceh, bagi politisi Indonesia adalah salah satu provinsi paling vital yang menjadi urat nadi perjuangan bangsa, sehingga membuat mereka sangat takut provinsi paling ujung di pulau Sumatera itu hilang dari peta geografis . Bagi pakar sejarah, Aceh terasa begitu akrab, dikarenakan Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak pernah takluk pada Belanda dan tercatat dalam sejarah bahwa Perang Aceh adalah perang terlama, termahal dan terbanyak memakan korban dalam sejarah penjajahan Belanda. Bagi para aktivis HAM, Aceh tak mungkin luput dari sorotan karena perjalanan panjang konflik Aceh-Indonesia pasca kemerdekaan yang telah memakan korban yang tidak sedikit, baik dikalangan pihak yang bertikai (GAM dan TNI), namun yang jauh lebih menyedihkan adalah besarnya jumlah rakyat sipil yang menjadi korban bila dibandingkan dengan jumlah personil TNI atau GAM.
Tulisan ini mencoba untuk sedikit menganalisa dan memaparkan bagaimana pemerintah Indonesia di Jakarta sejak kepemimpinan Soeharto sampai dengan SBY secara akumulatif sering menerapkan kebijakan politik yang tidak matang (immature) yang berakibat munculnya reaksi negatif dari masyarakat Aceh akibat kesalahan menemukan formula dalam penyelesaian kasus Aceh. Presiden SBY adalah pengecualian, karena masih terlalu dini untuk menjustifikasi kado keberhasilannya selama 100 hari memimpin dengan terwujudnya Perdamaian Helsinki yang masih seumur jagung dimana segala kemungkinan masih bisa terjadi kedepan.
Kesalahan ini barangkali utamanya disebabkan pola pengambilan kebijakan yang tidak populer oleh Jakarta atau juga bisa dikarenakan faktor konsolidasi internal masyarakat Aceh sendiri (baik Pemda, masyarakat Aceh dan GAM sendiri) yang membuat situasi semakin rumit. Dibagian akhir tulisan ini saya coba menawarkan beberapa solusi yang diharapkan bisa menjadi alternatif agar kegagalan yang dikhawatirkan itu tidak berulang kembali. Sehingga kedepan kita harapkan Aceh tidak lagi menjadi korban kegagalan pengambilan kebijakan politik di Jakarta.
Kilas Balik Sejarah ‘Percobaan’ Jakarta di Aceh
Pengkhianatan Soekarno
Dalam rentang sejarahnya rakyat Aceh pernah memberikan sumbangan berarti dalam perjalanan Republik Indonesia yang masih muda saat itu. Ketika hampir semua daerah di Indonesia sudah menjadi daerah jajahan Belanda, Aceh adalah satu-satunya daerah yang tidak terkalahkan. Aceh malahan menjadi daerah modal (meminjam istilah Soekarno) dalam makna sesugguhnya. Ditengah kondisi yang pas-pasan rakyat Aceh masih mau berkorban dan menyumbangkan dua pesawat terbang yang kemudian menjadi cikal bakal Garuda Indonesia Airways, maskapai penerbangan resmi pemerintah saat ini. Ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Aceh tanggal 15 Juni 1948 di Lapangan Blang Padang ia mengatakan bahwasannya wilayah Aceh harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Ucapan proklamator RI ini rupanya disambut baik dengan diadakannya rapat lanjutan dan makan malam di Hotel Aceh dan muncullah ide untuk membeli pesawat sejenis DC-3 yang nantinya akan digunakan untuk membantu perjuangan kemerdekaan republik keluar dari blokade Belanda[i].
Tidak dapat dipungkiri memang, sang proklamator RI ini punya kemampuan orasi dan pengaruh yang dahsyat ketika ia berpidato. Secara implisit Soekarno mengisyaratkan bahwa Indonesia butuh bantuan rakyat Aceh. Antusiasme tersebut kemudian dilanjutkan oleh T Mohd. Daoed Syah yang mengusulkan dibentuknya pertemuan untuk merealisasikan hal itu. Ketika itu harga pesawat yang dimaksud adalah $120,000 atau setara dengan 25 kg emas. Dalam waktu yang tidak lama dibentuklah panitia pengumpulan dana yang kebanyakan terdiri dari anggota GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Maka terkumpullah dana dalam jumlah yang cukup mencengangkan dalam kondisi yang bisa dikatakan hampir mustahil untuk mendapatkan dana sebesar itu. Dana sebesar $140,000 and $120,000 itu kemudian digunakan untuk membeli dua pesawat jenis DC-3 Aircrafts yang kemudian diberinama RI-001 Seulawah Agam dan RI-002 Seulawah Inong. Sebuah refleksi akan demikian besarnya rasa pengorbanan rakyat Aceh dalam memaknai perjuangan meskipun kondisi mereka dalam keadaan yang sulit dan serba berkekurangan setelah berperang selama dua abad lebih melawan penjajahan kolonialis Belanda. Sebuah refleksi yang sekali lagi hanya mungkin terealisir ketika keikhlasan mengalahkan gengsi dan fanatisme sebagaimana perlakuan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin saat peristiwa hijrah Rasulullah.SAW.
Akan tetapi, rentetan perlakuan berikutnya malah sebaliknya. Aceh, sebagaimana yang kita ketahui bersama mengalami ‘balasan’ layaknya ‘panggang jauh dari api’. Tanpa bermaksud meminta imbalan tentunya, Saat Gubernur Aceh dijabat oleh Daud Beureueh. Dia merasa Jakarta mengkhianati perjuangan Aceh, dengan melakukan beberapa tindakan politik. Diantaranya, membubarkan Divisi X TNI di Aceh yang terkenal pada saat itu. Lalu, pada 23 Januari 1951, status Provinsi Aceh dicabut oleh kabinet Natsir. Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara. Kebencian rakyat Aceh kepada Soekarno, presiden RI saat itu seketika menyala. Ibarat menuangkan minyak kedalam api. Memang, tokoh kharismatik Aceh; Daud Bereueh masih sempat menghadap Soekarno, tapi patah arang. Beureueh pun memulai pemberontakan, 21 September 1953, setelah kongres ulama di Titeue-Pidie, dia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Bersamanya, sejumlah pasukan TNI pun bergabung menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah itu, mereka menguasai sebagian besar daerah Pidie, dan bertahan di Garot. Dengan berbagai bujukan dan jalan panjang, akhirnya Beureueh luluh. Dia bersedia turun gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Daerah Aceh kembali seperti semula, bahkan berstatus Istimewa. Pada bulan Desember 1962 Daud Beureueh menyerah secara terhormat dan baik-baik, 7 bulan paska Kartosuwirjo, Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) kesatuan Siliwangi dalam Operasi Militer Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh mau mengadakan rekonsiliasi dengan pemerintah RI setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin[ii].
Terlihat jelas bagaimana ‘pengkhianatan’ seorang tokoh besar seperti Soekarno telah mengoyak nostalgia sejarah yang sebenarnya dimulai dengan sedemikian bagusnya. Sengaja atau tidak, yang pasti sikap dan kelakuan Soekarno telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan di Aceh. Sebuah catatan yang menggoreskan tinta hitam dalam sejarah NKRI dan sosok yang diidolakan oleh ayahanda dari mantan Presiden Megawati tersebut. Aceh kemudian mendapatkan status istimewa dalam hal agama, pendidikan dan adat istiadat.
Blunder Soeharto: DOM dan pemerasan SDA
Setelah ditemukannya sumberdaya alam berupa minyak dan gas di Aceh Utara di awal dekade 1970an, pemerintah pusat dibawah komando Soeharto mulai mengeksploitasi Aceh. Meskipun demikian, kondisi ekonomi masyarakat Aceh malah tidak lebih baik dari masa Soekarno. Bahkan pembangunan DI Aceh sangat jauh tertinggal dengan provinsi tetanggganya, Sumatera Utara. Konon lagi, bila dibandingkan dengan provinsi di pulau Jawa. Ketidakadilan dan eksploitasi itulah yang membuat Aceh kembali bergolak. Empat belas tahun setelah Beureueh turun gunung, Hasan Tiro memimpin pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan pada tahun 4 Desember 1976 di Tiro, Kabupaten Pidie.
Pemberontakan ini kemudian mulai membangun basis kekuatan diluar negeri dan mencari simpati internasional, khususnya di Swedia. Dinegara inilah strategi perjuangan gerilyawan GAM di Aceh terkonsolidasikan, barangkali dikarenakan Hasan di Tiro, pemimpin tertinggi GAM sampai sekarang bermukim disana. Keberadaan GAM yang terus berjuang dan kemudian semakin mendapat simpati masyarakat Aceh, khususnya dikalangan masyarakat yang mengalami penyiksaan dan penderitaan akibat konflik yang berkepanjangan. Isu-isu HAM dan ketimpangan sosial yang menjadi ciri khas, menjadi basis gerakan dan menjadi nuansa perjuangan mereka yang membedakan mereka dengan gerakan DI-TII Daud Beureueh, mereka perlahan-lahan mulai mendapatkan simpati di kalangan aktivis HAM ditingkat nasional dan internasional. Di akhir dekade 80an, tepatnya tahun 1989 dimasa kepemimpinan Gubernur Ibrahim Hasan, Presiden Soeharto menerapkan DOM atau Daerah Operasi Militer, menandai dimulainya pendekatan represif besar-besaran di Aceh untuk membasmi pemberontakan GAM. Terang saja, hal tersebut bukannya membuat GAM semakin menyusut, tetapi malah membuat GAM semakin resisten dan mendapat dukungan luas. Ribuan masyarakat kemudian menjalani hidup dalam ketakutan dalam situasi yang mencekam. Blunder itulah yang kemudian semakin membuat popularitas Seoharto mulai meredup dimata dunia internasional.
Keragu-raguan Habibi
Suksesor Soeharto, Habibi, yang mendapat dukungan dari banyak kalangan Islam, khususnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melakukan kunjungan ke Aceh tidak lama setelah ia dilantik. Kedatangannya ke Aceh, pada awalnya sempat memberikan harapan baru, terlebih ketika Ia mencabut status DOM dan mulai membangun inisiatif untuk menyelesaikan masalah Aceh secara lebih terhormat dan dialogis. Saya kebetulan hadir dalam kunjungan beliau ke Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Beliau memberikan pidato setalah shalat Jum’at dan sempat berjanji akan mencoba lebih memperhatikan ketertinggalan pembangunan di Aceh dengan membangun jalur rel kereta api kembali yang menghubungkan Aceh dengan provinsi tetangganya Sumatera Utara. Sebuah janji yang sangat ‘menjanjikan’ mengingat terakhir kali kereta api beroperasi di Aceh adalah ketika zaman penjajahan Belanda. Namun janji tinggallah janji, tidak lama kemudian Habibie pun lengser akibat ‘kesalahan’nya ‘melepas’ Timor-Timur. Barangkali ada orang yang beranggapan bahwa Timor Timur lepas tidaklah menjadi masalah, karena provinsi itu tidak sepotensial Aceh dalam banyak hal.
Preseden buruk yang kemudian tercatat dalam kepemimpinan Habibi barangkali adalah ketidakmampuannya merespons segera secara aktif atas kasus pembantaian rakyat Aceh di Aceh Utara dan Aceh Timur pada tahun 1999 ((from "The Asian Conference on Aceh", organized by FORUM ASIA and IFA, Saturday, July 24, 1999, YMCA, Sathorn Tai, Bangkok Thailand) yang sekali lagi barangkali dikarenakan kelemahan karakter dan waktu dimana ia bahkan tidak sempat berbuat banyak karena harus turun dari kursi panas kepresidenan dan tidak sempat mnyelesaikan masa jabatannya sebagai presiden sebagaimana mestinya.
Gus Dur Kebablasan: Nabi orang Aceh?
Tokoh kontroversial NU, Abdurrahman Wahid yang kerap dipangil Gus Dur, mewarisi pemerintahan dari Habibi dalam kondisi yang tidak lebih baik. Keterlibatan Gus Dur dalam menginisiasi beberapa dialog dan pertemuan sekali lagi memunculkan harapan baru bagi Aceh. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menginisasi Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause) dengan pihak GAM dengan HDC sebagai fasilitator[iii]. Pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai, 9 Desember 2002 di Jenewa. Kendati bentrok terus berlanjut, tetapi kuantitasnya tidak seperti dulu. Komite Keamanan Bersama atau KKB, yang terdiri dari tiga pihak, Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai penengah pun dibentuk. Komite itu terkenal dengan nama Joint Security Committee (JSC) atau Komite Keamanan Bersama. Komite itu diketuai oleh Thanongsuk Tuvinum, perwira tinggi asal Thailand. Pada bulan Agustus GusDur sempat bermanuver ria dengan kembali mengumbar janji untuk memberikan pembagian hasil Migas dan otonomi khusus setelah sebelumnya pernah menyiratkan mendukung referendum dan mengatakan ia adalah Nabi bagi masyarakat Aceh. Akan tetapi sejumlah perundingan yang dinisiasi selanjutnya menemui kebuntuan dan gagal akibat ketidakkonsistenan komentar Gus Dur sendiri yang mencoba mempraktekkan komentar-komentar dan terobosan politik aneh nya di Aceh.
Pada masa Gus Dur, kondisi pendidikan Aceh, sebagaimana yang diberitakan harian nasional Kompas, 8 February 2000, mengalami masa-masa sangat buruk. Sekitar 514 guru dilaporkan eksodus keluar Aceh akibat konflik dan alsan kemanan. Kondisi keamanan juga sangat memprihatinkan. Pada kenyataannya tahun 2001 adalah tahun terburuk dalam catatan kematian selama GAM dibentuk. NGO internasional memeperkirakan sektar 1500 orang telah meninggal dan sekitar 70 persen dari jumlah korban adalah masyarakat biasa[iv].
Megawati: tidak belajar dari sejarah
Ternyata Megawati Soekarno Putri, putri Soekarno tidak belajar dari kesalahan ayahnya. Ia malah membuat situasi semakin mencekam dan lebih rumit. Suatu kali dalam kunjungannya ke Aceh ia mentasbihkan dirinya sebagai Cut Nyak atau Kakak Perempuan bagi Aceh. Trik Gus Dur yang kali ini berulang kembali. Ialah sosok yang mencoba memecah kebuntuan dengan menghadiahkan formalisasi dan pemberlakuan syariat Islam sebagai jawaban atas pemberontakan GAM. Namun itu jelas-jelas telah gagal, karena GAM menuntut merdeka bukan syariat Islam.
Pada Mei 2003, The Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) dinyatakan gagal dan tidak dilanjutkan. Para juru runding GAM, ditangkap dan dihukum penjara. Darurat Militer kemudian digelar pada 19 Mei 2003. Ribuan personil TNI/Polri dikirim kembali ke Aceh, untuk menumpas GAM. Satu tahun Darurat Militer, TNI mengklaim telah berhasil menangkap dan menewaskan ribuan anggota GAM. Pasca Darurat Militer, status Aceh berganti menjadi Darurat Sipil pada 19 Mei 2004 dimasa kepemimpinan Abdullah Puteh yang sekarang berada di ‘hotel prodeo’ akibat kasus korupsi. Aceh seakan tertutup dari dunia luar, ratusan korban tewas, umumnya dikalangan sipil. Baik Pemerintah maupun TNI tidak pernah mengumumkan secara pasti berapa korban sipil yang muncul, yang ada adalah saling tuduh diantara mereka ketika masyarakat sipil yang tidak berdosa menjadi tumbal akibat perseteruan dua kubu tersebut.
SBY: Helsinki sampai kapan?
Darurat Sipil kemudian diganti dengan Tertip Sipil pada 19 Mei 2005, disaat Aceh sedang membangun pasca tsunami. Kontak senjata masih terjadi di daerah-daerah, kendati dalam jumlah tidak begitu signifikan. Namun demikina, pembahasan mencari damai di Aceh terus diiintensifkan oleh Presiden baru terpilih RI Susilo Bambhang Yudhoyono. Difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia, Martii Attihsari, perundingan antara GAM dan RI pun digelar di Helsinki, Filandia.
Setelah dialog melelahkan selama lima babak di Helsinki, perunding RI yang diketuai oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin dan perunding GAM yang diketuai oleh Perdana Menteri-nya Malik Mahmud, tercapailah kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, dua hari sebelum peringatan proklamasi kemerdekaan RI.
Setelah itu, pada September 2005, Aceh Monitoring Mision atau AMM dibentuk yang terdiri dari Tim Pemantau Uni Eropa dan ASEAN yang bertugas sebagai pemantau keamanan di Aceh,.dan diketuai oleh Pieter Feith. Tugas utama mereka, melucuti senjata GAM dan memantau penarikan pasukan di Aceh. sesuai dengan MoU. Secara kasat mata, damai mulai merekah setelah 30 tahun lebih konflik.
Namun tiba-tiba pola-pola kekerasan dan kriminil layaknya sebelum penandatangan MoU kembali terulang. OTK atau orang tak dikenal kembali melakukan aksi-aksi yang meresahkan masyarakat, seperti perampokan dan aksi kejahatan lainnya. Pemerintah diharapkan bisa mengantisipasi gejala-gejala tersebut terkhusus jelang Pilkada dimana dua mantan tokoh GAM, Hasbi Abdullah yang mewakili kalangan tua dan berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan sebagai calon Wakil Gubernur dengan Ahmad Humam Hamid (H20) dan kelompok muda yang diwakili oleh Irwandi dan Muhammad Nazar dari jalur independent sebagai calon gubernur dan wakil gubernur (IRNA) ikut ambil bagian dalam konteks demokrasi langsung pertama di Aceh.. Pilkada tentunya akan menjadi titik tolak baru kedepan sekaligus sebagai salah satu alat ukur berhasil tidaknya pemerintahan SBY sekarang. Jangan sampai semboyan SBY suka rapat dan JK terlalu cepat mulai merakyat. Lihat saja bagaimana JK begitu bersemangat turun ke Aceh dalam proses perdamaian. Semoga saja ini bukan merupakan bagian dari kampanye jangka panjang untuk Pilpres 2009 tapi murni demi masa depan Aceh yang lebih baik.
Perdamaian Helsinki masih seumur jagung dan segala kemungkinan masih mungkin terjadi. Sejarah tidak akan pernah lupa bagaimana rentetan perundingan mulai dari jeda Kemanusiaan, JoU, CoHa menemui kegagalan. Setumpuk kekhawatiran akan manuver politik elit lainnya seakan membayangi masa depan Aceh pasca Pilkada. Ditengah eskalasi dan suhu politik yang terus meningkat. Setiap pihak diharapkan bisa menahan diri dan tidak mudah terpancing dengan berbagai bentuk provokasi orang-orang yang suka mengail diair keruh demi kepentingan tertentu. Lebih dari itu pemerintah dan masyarakat sendiri secara bersamaan haruslah bersikap proaktif untuk mempertahankan kelangsungan perdamaian di Aceh sambil menunggu sejarah baru.
Mengapa Aceh Jadi Laboratorium Politik?
Anthony Rheid dalam peluncuran bukunya Aceh: The Verandah of Violence (Aceh: Beranda Kekerasan) di D’Rodya Café Banda Aceh yang diprakarsai oleh Aceh Institute ketika menjawab pertanyaan salah seorang peserta diskusi apakah Aceh adalah bentuk sebuah elite policy atau public policy? Ia kemudian mengatakan bahwa Aceh sudah sejak lama menjadi dua sisi mata uang. Disatu sisi dia memepelajari bahwa terlalu banyak muatan politik dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan Aceh yang bsai menjadi elite policy, walaupun ia tidak menyangkal bahwa juga kebijakan tersebut adalah bagian dari public policy ketiak melihatnya dari persepktif Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia kemudian mengulang-ulang bahwa salah satu kebijakan yang mungkin bisa kembali diingat adalah bahwa solusi masalah Aceh yang ditawarkan pemerintah RI adalah diberlakukannya syariat Islam untuk masyarakat Aceh. Kebijakan ini ternyata tidak membawa banyak kemajuan berarti dalam peace building process di Aceh, terkhusus dalam merespons dan merekonsiliasikan GAM; setelah beberapa kali gagal dalam beberapa putaran perundingan sebelumnya. Ini dikarenakan bahwa sebenarnya GAM tidak meminta syariat Islam, tapi kemerdekaan atau berpisah dari NKRI dengan mendirikan negara Aceh Merdeka yang berbasis ideologi Nasionalis-Liberali s (dari singkatan Aceh-Sumatera National Liberation Front/ASNLF). Sehingga wajar saja ketika pemerintah begitu terkejut. Akibatnya konstalasi konflik meningkat pasca penerapan syariat Islam, belum lagi tidak dipersiapkannya secara menyeluruh perangkat-perangkat penerapan syariat Islam. Pada akhirya, kenyataan yang sama-sama kita lihat adalah syariat Islam hanya menjadi bagian dari apa yang kita namakan ‘simbolisasi’ belaka. Alih-alih menciptakan kondisi yang lebih kondusif bagi masyarakat Aceh. Syariat Islam, kemudian malah terkadang dengan mudah cuma diartikan dengan pemasangan tulisan arab jawi di semua instansi pemerintah di Nangroe Aceh Darussalam. Kondisi demikian diperparah dengan maraknya kekerasan atas nama syariat akibat tidak pahamnya masyarakat akan esensi syariat Islam, seperti mengarak-arak wanita yang tidak berjilbab dan bahkan ada yang mengumpat, mencaci sampai memukul (ini bukan merupakan bagian dari ajaran Islam sendiri). Sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan, sehingga side effect nya adalah orang-orang awam dan umat non-muslim semakin phobi dengan syariat Islam, karena tampilan syariat Islam digambarkan dengan kekerasan dan symbol-simbol agama belaka. Padahal lebih dari itu Islam adalah agama yang cinta damai dan membawa rahmat bagi muslim dan non muslim. Intinya, ‘I studied the fact that Aceh past was very much outward instead of inward-looking’ yang kurang lebih secara eksplisit berujar bahwa ‘Saya mempelajari bahwa penyelesaian masalah aceh dimasa lalu selalu lebih banyak didasari atas pandangan orang luar atau melihat aceh dari luar daripada melibatkan masyarakat Aceh sendiri atau melihat masalah aceh secara seksama dari dalam[v]’.
Ada beberapa asumsi mengapa mungkin pemerintah Indonesia di Jakarta seringkali salah mendiagnosa penyebab masalah dan konflik Aceh. Yang pertama, bisa jadi para politikus atau elit di Jakarta khawatir kalau-kalau mereka akan kehilangan jabatan mereka dan kehilangan Aceh sebagai provinsi yang jelas-jelas dari catatan sejarah adalah provinsi yang paling vital. Sudah bukan rahasia lagi isu-isu Aceh adalah salah satu isu krusial bagi kampanye politik di tingkat nasional bagi para anggota dewan dan juga pemilihan presiden dan wakil presiden. Pertanyaan mendasar yang akan meluncur dari publik dan media salah satunya adalah ‘Apa upaya bapak/ibu/kabinet Anda dalam menyelesaikan kasus Aceh segera dan secara tuntas?’
Bahkan jika kita amati lebih jauh, Aceh semakain sering disebut-disebut ketika pemerintah Indonesia dan dunia internasional menyinggung penyelesaian konflik internal di Indonesia, disamping Papua (dulu Irian Jaya) dan Timor-Timur (sekarang Timor Lorosae). Hilangnya Timor Timur menjadi pelajaran berharga bagi para petinggi dan pembesar NKRI untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama (dan dalam hal ini Habibie, adalah orang yang paling sering disalahkan) atas lepasnya provinsi yang punya hubungan dekat dengan Portugal, negara tempat kelahiran pesepakbola terkenal yang sekarang bermain di klub Liga Utama Inggris Manchester United, Christiano Ronaldo tersebut.
Selanjutnya yang kedua bisa jadi masyarakat Aceh sendiri juga mulai kehilangan jatidiri akan akar dan sejarah budayanya yang Islami. Secara sosial, konsolidasi internal yang dulu pernah menjadi inti kekuatan sekarang malah tergantikan dengan konsep-konsep global yang secara perlahan menghiasi cara berpikir mereka. Misalnya sikap cuek dan individualistis yang mulai menjalar. Budaya konsumerisme dan invasi globalisasi juga cukup membuat masyarakat Aceh rentan secara sosial. Belum lagi apologi akan sejarah dan masa lalu yang menjadi ciri khas orang-orang Aceh tanpa ada upaya yang konkret dan riil untuk mulai membangunnya kembali. Mereka sekan terlena akan lambaian ‘segepok dollar’, ‘sebungkus mi instant’, rumah bantuan, Indonesian Idol atau ‘kontes dangdut’ di televisi. Para generasi muda sekarang bahkan lupa dengan akar ‘keacehan’ mereka yang notabene adalah berlatarbelakang Islam. Sudah sedemikian banyak muda-mudi Aceh yang malah ‘nongkrong’ dan ‘bengong’ dengan pasangannya ketika masuk waktu shalat dan bahkan ada yang tidak bisa mengaji alias membaca Al-Qur’an. Ditambah lagi dengan sikap cuek, pasif, antipati bercampur trauma para orangtua yang sudah lelah dengan ‘janji-janji politik’, dimasa lalu, maka lengkaplah syarat kalau kita ingin menamakan ini dengan situasi ‘benang kusut’ di Aceh.
Alternatif Solusi
Solusinya barangkali adalah, kedepan dalam proses pengambilan keputusan pemerintah harus bisa melibatkan aspirasi masyarakat Aceh layaknya need assessment seperti sharing ide dengan tokoh masyarakat yang benar-benar mewakili masyarakat bukannya malah mewakili penguasa open talk masih banyak lagi contoh yang saya yakin pemerintah sudah sangat paham akan itu. Hal seperti ini akan semakin mengurangi gejala-gejala ‘kekhawatiran politik’ para elit mengingat semakin sering ia dilibatkan maka semakin berkurang kecurigaannya. Barngkali cara ini sudah mampu diterapkan pemerintah saat ini, sepert pelibatan beberapa anggota mantan GAM di posisi penting di BRR. Tetapi sangat disayangkan kemudian apabila pelibatan itu juga sampai menafikan kompetensi dan kualifikasi ‘posisi’ yang dimaksud sehingga terkesan sebagai kompensasi politik belaka. Selanjutnya, sudah pasti peningkatan kemakmuran dan fasilitas yang menyangkut hajat hidup rakyat Aceh juga tidak boleh dilupakan. Contoh saja Malaysia, walaupun banyak yang menentang tapi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang relatif terus membaik, membuat sikap antipati masyarakat sedikit berkurang.
Untuk permasalahan yang kedua, perlu digarisbawahi bahwa ‘konsolidasi internal’ masyarakat Aceh juga harus diperbaiki. Para mantan GAM, pemerintah daerah, mahasiswa dan semua elemen masyarakat Aceh bahwa tidak semua faktor ‘carut-marutnya’ Aceh sekarang berasal dari faktor luar selalu, tapi juga tidak luput dari lemahnya kualitas SDM didalam. Ini penting dikarenakan, pemerintah tidak akan bisa serta merta menyalahkan masyarakat Aceh apabila dikemudian hari terjadi pengambilan kebijakan yang ‘salah’ bagi masyarakat Aceh. Membangun kesadaran (consiciousness awareness) moral dan intelektual menjadi jawaban dari semua masalah. Jangan sampai orang Aceh seperti ‘kacang lupa kulitnya’ sehingga bisa jadi kita didera dengan berbagai permasalahan yang tiada henti akibat tidak bersyukurnya kita sebagai makhluk. Begitu banyak bantuan yang datang pasca tsunami tidak juga membuat kita sadar dan mawas diri. Malah semakin hanyut dalam ‘disorientasi’ makna kehidupan. Oleh karena itu membangun ‘identitas keacehan’ tidak semata dari perspektif sempit dan paradigma territorial atau wilayah belaka, akan tetapi juga bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai moral dan intelektual sebagaimana yang kita pahami bersama dimana dibawah naungan Islam sebagai nilai dan jalan kehidupannya masyarakat Aceh telah membawa daerah ini menjadi daerah ‘Serambi Mekkah’ yang makmur, adil dan sejahtera pada zaman keemasan Sultan Iskandar Muda. Dengan ini diharapkan kedepan Aceh tidak lagi menjadi ‘bulan-bulanan’ para elit politik dan masyarakat Aceh kemudian bisa lebih kritis dan berkepala jernih dalam melihat sebuah permasalahan yang pada akhirnya menjadikan mereka sebagai masyarakat ‘aktivis’ dan bukan masyarakat ‘pasifis(FB/TM)
loading...
Post a Comment