SUDAH 70 tahun bangsa Indonesia menikmati kemerdekaan, setelah ratusan tahun lamanya hidup di bawah bayang-bayang intimidasi dan kezaliman para penjajah. Maka sepantasnya segenap komponen bangsa Indonesia menjadikan 17 Agustus sebagai hari yang sangat bersejarah dan merayakan hari kemenangan tersebut. Karena kemerdekaan sebuah negara adalah nikmat terbesar dari Allah Swt yang tidak semua bangsa dapat merayakannya. Terlihat dari begitu banyak bangsa di dunia ini yang tidak henti-hentinya dari sejak dulu hingga sekarang, berjuang hanya untuk sesuatu yang dinamakan kemerdekaan.
Pada kondisi terjajah, suatu bangsa akan bergantung pada pihak yang menjajah. Selanjutnya tidak ada kebebasan bertindak dan menentukan nasib sendiri, sehingga segala sesuatu tergantung pada penjajah. Makna penjajahan seperti itu memang telah sirna dari kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Namun harus dipahami bahwa kemerdekaan merupakan wujud dari kemandirian suatu bangsa, baik kemandirian ideologi, ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Akan tetapi kemandirian ini bukan berarti menutup pintu kerjasama dengan bangsa lain dalam meraih suatu tujuan yang menguntungkan bersama.
Kemerdekaan sebuah negara tidak hanya proses pertukaran pemerintahan yang satu kepada pemerintahan lain yang lebih berhak. Kemerdekaan tidak hanya sekadar diukur dari terbebasnya suatu bangsa dari penjajahan kolonial. Akan tetapi hakikat kemerdekaan merupakan pembebasan akal dan pikiran rakyat dari belenggu kebodohan dan kejahilan kepada cahaya ilmu dan hikmah, pembebasan akal budi rakyat dari keruntuhan moral kepada pembentukan nilai-nilai murni dan akhlak tinggi, dan pembebasan rakyat dari belenggu kemiskinan kepada kehidupan sejahtera. Hal ini sejalan dengan misi kedatangan Islam ke dunia ini membawa pesan kemerdekaan. Islam menyeru manusia supaya membebaskan diri dan pemikiran dari belenggu jahiliyah dan kemusyrikan terhadap Allah Swt.
Kemerdekaan dalam persepsi Islam adalah suatu potensi yang dapat membawa dan menunjuki manusia kepada kebenaran (al-haq). Artinya seseorang belum dapat dikatakan berada dalam kebenaran, sebelum ia merdeka. Dan sebaliknya orang yang masih terjajah tidak akan dapat mengamalkan kebenaraan baik sebahagian maupun secara keseluruhan. Dalam hal ini al-Haq adalah tauhid yaitu peribadatan kepada Allah Swt dengan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah.
Pembebasan manusia
Dengan demikian hakikat kemerdekaan adalah pembebasan manusia dari ibadah kepada makhluk menuju ibadah kepada Pencipta, yaitu Allah Swt. Karena secara fitrahnya semua makhluk Allah diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam AlQuran: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30).
Kemerdekaan yang sebenarnya adalah apabila manusia berhasil membebaskan diri dari musuh-musuh Allah yang menghalangi untuk menyembah Allah dan memenuhi fitrah sebagai hamba-Nya. Hal ini sejalan dengan kata-kata panglima perang Islam terkenal yaitu sahabat Nabi Saw bernama Rab’ie bin ‘Amir dihadapan angkatan tentara Parsi: “Allah yang membangkitkan kami agar kamu mengeluarkan siapa yang dikehendaki-Nya dari pengabdian sesama hamba menuju pengabdian terhadap Allah, daripada kesempitan dunia kepada keluasannya (dunia dan akhirat), daripada kekejaman (penyelewengan) agama-agama yang ada kepada keadilan Islam”. (Al-Bidayah Wan Nihayah oleh Ibnu Katsir).
Nikmat kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia ini selayaknya menjadi momentum untuk menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Swt, dengan mendayagunakan nikmat tersebut ke arah tujuan penciptaan manusia, sebagaimana firman-Nya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Artinya nikmat kemerdekaan ini dimanfaatkan dengan menjalani kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara dengan berbagai program ketaatan kepada Allah Swt, maka Allah akan menambah nikmat tersebut. Namun sebaliknya, jika kemerdekaan ini disikapi dengan menjalani kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara jauh dari tuntunan Ilahi, maka kemerdekaan tersebut justru menjadi sumber bencana.
Dalam konteks mensyukuri nikmat tersebut kisah kaum Saba dapat dijadikan sebagai satu iktibar, sebagaimana firman Allah Swt dalam Alquran: “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’: 15).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kaum Saba mempunyai dua wilayah atau kebun yang sangat subur, yang terletak disebelah kanan dan kiri negeri Saba. Dari kedua kebun itu menghasilkan bahan-bahan makanan pokok dan buah-buahan yang melimpah, hingga negeri itu hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran, Lantas Allah Swt memerintahkan kaum Saba’ untuk bersyukur atas nikmat tersebut. Akan tetapi yang terjadi justeru sebaliknya, kaum Saba’ berpaling dari Allah dan kufur atas nikmat-Nya.
Akhirnya Allah mendatangkan malapetaka kepada mereka berupa banjir dahsyat yang mengahancurkan kebun-kebun yang subur itu. Negeri Saba’ pun hancur dan rakyatnya kembali hidup dalam penderitaan yang menyengsarakan. Dijelaskan Allah Swt dalam Alquran: “Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’: 16).
Mensyukuri nikmat kemerdekaan
Dalam hal ini ada tiga indikasi yang dapat dijadikan sebagai bukti mensyukuri nikmat kemerdekaan, yaitu: Pertama, kedisiplinan yang tinggi di dalam memenuhi semua tuntunan dan tuntutan, baik yang terkait dengan hak Allah maupun yang terkait dengan hak-hak sesama makhluk. Disamping kedisiplinan yang tinggi dalam meninggalkan semua yang merendahkan atau mengotori nilai luhur sebuah kemerdekaan;
Kedua, meninggikan dan mengagungkan Allah di atas segala-galanya, tidak hanya sebatas ucapan dan zikir lisan saja. Akan tetapi asma Allah mendominasi seluruh ruang dalam kehidupan manusia dan ajaran-Nya mewarnai setiap gerak langkah, dan; Ketiga, memberdayakan potensi dari semua nikmat Allah Swt kepada jalan yang sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada Allah dalam makna seluas-luasnya.
Terkait dengan kemerdekaan, merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri bahwa peran pahlawan sangat besar dan menentukan dalam menentang penjajahan. Para pahlawan ini berjuang dengan mengedepankan nilai-nilai keberanian, kesabaran, pengorbanan, optimis, dan siap dengan segala kemungkinan saat itu. Nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar menjadi basis utama filosofi perjuangan para pahlawan ini.
Kontribusi mereka yang sangat bernilai ini harus selalu dijadikan motivasi untuk mengukir prestasi sebagai bentuk realisasi dari rasa syukur kepada Allah Swt. Momentum ini dijadikan untuk meneladani, meneruskan, dan membawa kemerdekaan ini menuju kemerdekaan yang totalitas dalam segala arti dan bentuknya. Semoga dengan keberkahan dan rahmat Allah Swt, bangsa ini terbebas dari bencana baik secara fisik materil maupun secara moral. Amin!
* Dra. Marhamah, M.Kom.I., Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh, Lhokseumawe. Email: marhamah_rusdy@yahoo.com
Sumber: aceh.tribunnews.com
loading...
Post a Comment