Lhokseumawe - Sebuah pameo dari timur tengah berbunyi “ Man Yazra’ Yahshud artinya Siapa Yang Menanam,Dia Akan Memetik/Memanen”.
Nikmatnya
sebuah perdamaian itu bila rakyat merasakan kenyamanan dan tak lagi
mendengar suara dentuman bedil serdadu yang menimbulkan kematian yang
sia-sia.
Kenyataan
sebenarnya, bukan hanya karena faktor ekonomi saja, tapi salah satu
faktor utama yang menjadi pemicu terjadi konflik bersenjata api di Aceh
adalah aksi pembunuhan yang disengaja.
Sehingga
menjadi dendam membara seperti diwarisi kepada pihak keluarga korban
sebagaimana pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Aceh berstatus DOM
pada tahun 1990-1998.
Ketika
itu, terlalu banyak kisah pilu yang bila dikenang kembali menorehkah
kepefihan dan rasa dendam yang takkan pernah terbalaskan.
Apalagi,
kala itu aparat keamanan dan penegak hukum di Aceh menjadi alat
pencabut nyawa manusia tanpa perlu melalui proses pengadilan. sangat
terasa menyakitkan hati rakyat sampai sekarang.
Akan
tetapi, tanpa kita sadari benih konflik dari tragedi kematian itu
seakan mulai terulang kembali pada kasus penangkapan dua anggota Din
Minimi di Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe.
Namun
yang paling terasa janggal adalah pada saat tim khusus polisi melakukan
penangkapan terhadap Junaidi alias Beurijuk di SPBU Mawaddah Desa
Batuphat Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe.
Sejumlah
warga yang sedang beraktifitas di dekat SPBU setempat justru sempat
menyaksikan langsung betapa hebatnya adegan pengepungan pada dua anggota
Din Minimi.
Padahal
warga yang sedang menyaksikan sebelumnya sangat memuji polisi persis
Tim SEAL yakni pasukan khusus Angkatan Laut Amerika Serikat dan akan
bertepuk tangan bila menangkap pelaku tidak bersenjata itu dalam keadaan
hidup.
Namun
ironisnya, dalam posisi yang begitu mudah untuk menangkap, justru
polisi ingin mengakhirinya dengan pembunuhan keji dan tak pernah
terbayangkan oleh warga yang kebetulan sedang berada disana mengisi
bahan bakar.
Beberapa
warga melihat jelas dan tidak pernah membayangkan bila polisi tega
membunuh Beurijuk dalam posisi terkepung dan tanpa perlawanan sedikitpun
juga,dimana, Beurijuk sudah mengangkat kedua tangan sambil menyibakkan
baju memperlihatkan dirinya tidak memiliki senjata apapun.
Namun
walau demikian timah panas milik anggota polisi tetap bersarang
dikakinya,dalam keadaan tertembak kaki,terdengar suara beurijuk
berteriak minta ampun dan menyerah.
Teriakan
Beurijuk ditanggapi dengan letusan senjata aparat polisi ditangan serta
disusul peluru ketiga bersarang dileher beurijuk.
Ayah
2 anak ini tewas dalam keadaan masih nemakai helm,dalam posisi
mengangkat tangan,dari leher,tangan serta kakinya mengalir darah
membanjiri lantai depan toilet SPBU Batuphat.
Setelah
dilarikan kerumah sakit,akhirnya pihak kepolisian menyerahkan beurijuk
setelah menjadi mayat pada keluarga untuk dilakukan fardu kifayah.
Airmata
dan teriakan histeris keluarga saat menerima jenazah beurijuk
dikediamannya di desa alue papeun kecamatan nisam antara,aceh utara
Bahkan
rasa trauma semakin mendalam, ketika membaca media massa ternyata
pemberitaan tentang kematian Beurijuk justru lari dari kenyataan dan
fakta , dia ditembak karena berupaya melarikan diri.
Saat
Reporter melayat ke ke rumah duka bertemu dengan Cut lilis surjani
(27) isteri dari almarhum yang meninggalkan sepasang anak ,Keduanya
masih kecil dan belum bisa duduk dibangku sekolah.
Mungkin
keduanya anaknya pada pagi hari Kamis (27/8) menjadi hari terakhir buah
hati mereka melihat wajah dan digendong oleh ayahnya,terhitung dihari
yang sama juga mereka takkan pernah melihat wajah ataupun mendengar
suara ayah mereka lagi.
“Sekarang
tidak ada lagi yang mencari nafkah untuk saya dan anak-anak saya yang
masih kecil,masih ada ayahnya saja kehidupan kami seperti ini,kemana
saya harus mengadu kalau bukan pada Allah SWT” ujar cut lilis sambil
meneteskan air mata mengingat bagaimana nasibnya kedepan dia dalam
membesarkan anak-anaknya.
Kelak
bila dewasa, kedua anak yatim ini pasti akan mencari tahu kebenaran
tentang kematian ayahnya. Sebelum hal itu terjadi, maka penegak hukum
yang harus lebih cepat dan tepat mengusut kebenarannya agar tidak ada
lagi konflik Tueng Bela (balas dendam-red) di Aceh seperti yang terjadi pada masa-masa sebelum perdamaian terjadi di Aceh.
loading...
Post a Comment