Halloween Costume ideas 2015
loading...

Bahasa Aceh Pusaka Indatu

Oleh: Mulya Bijeh Mata
Dari tema yang saya tulis menunjukkan urgen-nya memelihara, merawat, dan melestarikan pusaka-pusaka yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita yang tenar dikalangan masyarakat Aceh dengan sebutan “Keuneubah Indatu”. Disini saya hanya berfokus pada pemeliharaan bahasa daerah yang kini eksistensinya sudah mulai surut ditelan masa dan terkesan memprihatinkan.
Berawal dari sebuah kisah tiga tahun silam yang kala itu baru mulai mencuat program guru daerah terpencil (SM3T) yang anggotanya ditugaskan diseluruh pelosok negeri guna meningkatkan mutu pendidikan didaerah terpencil. Menarik ketika seudara perempuan saya saat itu berkesempatan mengabdi di pulau anambas sebuah pulau terluar di Provinsi Kepulauan Riau, disitu beliau bersama rekan-rekan dari Aceh lainnya turut berpartisipasi dalam mencurahkan sedikit kemampuan diberbagai bidang termasuk mengajari anak-anak Anambas memainkan tarian Aceh yang disambut antusias luar biasa dari anak-anak rumpun Melayu tersebut.
Yang menakjubkan bagi saya adalah ketika dalam sebuah Video saya melihat dan mendengar anak Anambas yang notabene-nya bukan Aceh mampu melantunkan syair Aceh dengan sangat Fasih. Dan ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi kita yang selalu menyebut diri “Bangsa Aceh, Bangsa teuleubeh ateueh rhung donya”.
Namun, apa yang kita saksikan dibumi ujung barat Sumatra saat ini sangat bertolak belakang dari apa yang saya gambarkan diatas. Bumi yang kaya akan khasanah budaya ini ternyata saat ini banyak dihuni oleh generasi lemah. Iya, lemah dalam mempertahankan identitas keacehan-nya. Kini di seluruh pelosok Aceh mulai diterapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Ibu yang menurut perspektif saya adalah sebuah kekeliruan. Bahasa ibu didalam keluarga sebaiknya adalah bahasa daerah, Aceh.. Gayo.. Alas.. Jamee.. dan banyak lagi bahasa lokal lainnya, sedangkan bahasa Indonesia dapat diposisikan sebagai bahasa nasional; disekolah, kantor, maupun kampus.
Namun ironis saat ini seolah tidak ada lagi tempat untuk memposisikan bahasa daerah tersebut, interaksi ibu dan anak, pergaulan anak, semua menggunakan bahasa Indonesia tanpa memberikan kesempatan sedikitpun bagi kelangsungan bahasa daerah yang kita banggakan ini dan telah mengkerdilkan kekayaan negeri dalam lingkup bahasa.
Bahkan pecinta seni yang sudah tergabung  dalam berbagai sanggarpun terkesan mengenyampingkan hal semacam ini. Betapa tidak, sudah banyak sekali penutur di Bumi Serambi yang seperti baru mengenal bahasa daerah. Sungguh disayangkan ketika orang-orang yang sudah tergabung dalam sanggar senipun masih terbata-bata saat menyebut kosa kata dalam syairnya.
Misal:
“meuseukat” disebut (mesekat),
“Buleuen” disebut (bulen)
“Bireuen” disebut (biren)
Dan masih banyak lagi kejanggalan berbahasa yang ditunjjukkan oleh anak Bangsa tujuh turunan ini. Oleh karena itu saya berharap pada semua pihak termasuk saya sendiri untuk terus memelihara eksistensi bahasa daerah, karena bahasa adalah marwah bangsa, hilangnya bahasa Aceh merupakan hilangnya marwah Aneuk Nanggroe yang kita elu elukan dewasa ini.
“Jak hai rakan adun ngon adoe, Beudoh tapuwoe maruwah Bansa. Bek tapeureule Aceh Lhee sagoe, Bahsa geutanyoe saban tajaga.”
“Bek peugah Aneuk Nanggroe meunyo bahsa Meukeulidoe”
Wassalam…
Penulis Adalah Dewan Presidium Himpunan Mahasiswa Bireuen dan juga Pengurus MAA Kota Juang.

Sumber: Lintasnasional.com
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget