AMP - Perdamaian Aceh sudah memasuki usia 10 tahun antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun pada usia itu masih terdapat sejumlah persoalan di Aceh yang belum diselesaikan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh.
Seperti aksi kekerasan bersenjata masih saja terjadi di Aceh kurun waktu itu. Sebut saja misalnya kelompok Din Minimi yang mengaku kecewa dengan Pemerintah Aceh. Karena Pemerintah Aceh dinilai diskriminatif dan belum bisa mensejahterakan rakyat Aceh, khususnya mantan kombatan.
Implikasinya telah membuat stabilitas politik dan keamanan di Aceh terganggu. Sehingga berpengaruh terhadap iklim investasi di Aceh terganggu. Banyak investor mengurung niatnya untuk berinvestasi di Aceh, hingga yang dirugikan adalah rakyat Aceh sendiri.
Pada 10 tahun damai Aceh, Husaini M Amin, seorang mantan kombatan yang pernah memimpin 2000 pasukan di wilayah Batee Iliek, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen angkat bicara karut-marutnya pemerintah Aceh.
Husaini M Amin yang lebih dikenal dengan sebutan Tgk Batee mengaku selama kurun waktu 10 tahun damai Aceh tidak terlibat langsung dalam kancah perpolitikan di Aceh. Dia lebih banyak bergelut dalam sektor pemberdayaan ekonomi.
Dia mengaku ada ratusan mantan kombatan dilatih agar bisa mandiri, sehingga bisa kembali menata pondasi ekonomi keluarga mereka yang hancur saat Aceh masih berperang. Meskipun dia akui, semua bantuan modal usaha itu diambil dari Pemerintah Aceh pada masa kepemimpinan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf Muhammad Nazar.
Setelah damai dan saya turun gunung langsung bergelut dengan pemberdayaan ekonomi, kata Tgk Batee pekan lalu saat ditemui merdeka.com.
Paska-turun gunung, Tgk Batee mulanya hanya mengelola objek wisata di sungai Batee Iliek, Samalanga, Kabupaten Bireuen yang terbengkalai saat Aceh masih konflik. Lalu dia mengaku membangun kembali sejumlah fasilitas yang rusak di kawasan wisata sungai itu.
Ada 15 kios dibangun di objek wisata sungai Batee Iliek itu olehnya. Lalu kios-kios itu diberikan untuk mantan kombatan dan juga inong balee (janda korban konflik, suaminya meninggal saat berperang). Mereka mulai menata hidupnya dari berjualan di objek wisata tersebut.
Mereka cuma saya minta bayar Rp 10.000 per hari, ungkapnya.
Baru kemudian paska-Aceh dipimpin oleh mantan kombatan GAM, Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar pada tahun 2008. Tgk Batee mulai bergelut dengan program pemberdayaan ekonomi yang lebih serius dan memiliki visi-misi yang jelas.
Saat itu, Tgk Batee mengaku mendapatkan bantuan modal usaha dari Pemerintah Aceh untuk membangun pemberdayaan ekonomi untuk mantan kombatan GAM. Dia pun berkesempatan untuk mengelola peternakan sapi di Cot Cut, Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar.
Namun dalam perjalanan setelah 3 tahun perjalanan, usaha tersebut gagal. Ada banyak faktor persoalan yang dihadapi hingga program pemberdayaan ekonomi bidang peternakan gagal. Sehingga dia berpikir keras kembali untuk mencari celah lain guna bisa pemberdayaan mantan kombatan.
Waktu itu karena kami baru turun gunung, bimbingan kurang karena keterbatasan ilmu, manajemen pun kacau, sehingga peternakan itu dipikir bisa suka-suka ambilnya, jadi gagal, ungkapnya.
Baru kemudian setelah mempelajari potensi ekonomi lainnya. Setelah dia membaca dan berkunjung hingga ke Sumatera Utara, Medan. Dia menemukan pemberdayaan ekonomi bidang budidaya buah naga. Karena di Aceh buah naga belum ada yang membudidayakan, padahal permintaan cukup tinggi.
Setelah belajar dari China di Medan, kami mulailah sejak 2008 budidaya buah naga hingga sekarang. Alhamdulillah hasilnya bagus dan semua yang mengelola kebun buah naga sejahtera, jelasnya.
Kebun buah naga di desa Cot Cut, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar seluas 4 hektar. Satu hektar bisa menghasilkan 1 ton buah naga setiap tahunnya dengan estimasi harga antara Rp 35.000 hingga Rp 50.000 per kilogramnya.
Kebun ini dikelola secara kelompok, saya hanya menampung buah naga untuk pasarkan, hasil panen buah naga dinikmati oleh kelompok itu sebanyak 15 orang, ulasnya.
Namun saat disinggung mengapa dia tidak mau terlibat langsung dalam kancah perpolitikan di Aceh? Padahal ada 2 Partai Lokal (Parlok) yang mayoritas dipimpin oleh mantan GAM yaitu Partai Aceh dipimpin oleh mantan Panglima GAM, Muzakir Manaf dan Partai Nasional Aceh (PNA) dipimpin mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.
Bagi Tgk Batee memiliki pandangan lain tidak terlibat langsung. Meskipun dia mengaku kecewa dengan kepemimpinan Pemerintah Aceh selama 3 tahun terakhir yang tidak jelas fokus pembangunannya.
Kalau saya masuk juga ke partai politik, siapa yang mengontrol mereka, biarkan saya menjadi penyeimbang di luar dan saya fokus pada pemberdayaan ekonomi, imbuhnya.
Melihat konstelasi politik di Aceh saat ini membuat Tgk Batee semakin gerah. Beda pendapat di tubuh Partai Aceh hingga membuat Gubernur dan Wakil Gubernur tidak harmonis telah membuat Aceh semakin terpuruk. Baik pembangunan demokrasi maupun ekonomi.
Terlebih ada sebagian kelompok yang mengaku mantan kombatan angkat senjata karena merasa kecewa pada pemerintah. Seperti kelompok Din Minimi yang tengah diburu oleh pihak kepolisian menjadi catatan kelam dalam mengelola pemerintah yang baik dan bisa mensejahterakan rakyat.
Persoalan ini tidak boleh dipandang sebelah mata, kata Tgk Batee. Adanya pemberontakan seperti ini pasti ada faktor lain yang menyebabkan itu terjadi. Persoalan kesejahteraan yang tidak merata, pembangunan yang kurang menyentuh masyarakat kecil, menjadi alasan kekerasan itu terjadi. Hingga berimplikasi investasi maupun pembangunan ekonomi di Aceh stagnan.
Kalau tidak segera diatasi, pemerintah seperti menanam bom atom di Aceh, tukasnya.
Katanya, terutama persoalan reintegrasi yang belum selesai juga akan membawa dampak negatif untuk Aceh. Seharusnya Pemerintah Aceh harus memberikan lapangan pekerjaan untuk eks kombatan, seperti yang tercantum dalam MoU Helsinki memberikan lahan seluas 2 hektar untuk mantan kombatan.
Ada sejumlah persoalan lain yang sudah sistemik dihadapi oleh Pemerintah Aceh sekarang. Hal ini terjadi, katanya, akibat pemerintah tidak memiliki skala prioritas dan tidak memiliki blue print pembangunan di Aceh. Sehingga arah pembangunan jalan sendiri-sendiri, baik dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota hingga pedesaan.
Oleh karena itu, jelasnya, untuk merubah ini semua butuh revolusi mental untuk anak-anak rakyat Aceh. Untuk merubah itu, butuh pendidikan secara dini agar bisa merubah cara pandang generasi ke depan.
Makanya saya dirikan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) di Batee Iliek, Samalanga, tukasnya.
Pendidikan PAUD dan TK miliknya bernama Peunawa Hatee Samalanga sudah 5 tahun beroperasi dan telah melahirkan alumni sebanyak 550 orang. Sekolah di sini semua gratis dan dikhususkan sekolah ini untuk keluarga mantan kombatan GAM.
Untuk umum ada juga, semua biaya gratis di sini, imbuhnya.
Tgk Batee berharap ke depan Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzaki Manaf yang tersisa 2 tahun lagi, setidaknya bisa meletakkan pondasi skala prioritas pembangunan Aceh. Sehingga ke depan, Aceh akan lebih cemerlang dan jauh lebih baik dan rakyat semua bisa sejahtera. Semoga!!(merdeka.com)
loading...
Post a Comment