MENGAWALI tulisan singkat ini, marilah kita bermunajat kepada Allah agar damai terus langgeng di bumi Aceh, semoga kita semua dianugerahkan komitmen untuk tetap menjaga perdamaian dan menebar kedamaian di bumi yang kita cintai ini. Tidak hanya itu, kita bermunajat kepada Sang Pemberi nikmat kemerdekaan kepada Republik ini agar usia 70 tahun merdeka dapat mengubah wajah Indonesia menjadi lebih baik, lebih sejahtera masyarakatnya serta lebih berwibawa para pemimpin-pemimpinya. Semoga tema yang diusung “Ayo Kerja” akan benar-benar terimplementasikan dalam kehidupan kita dalam rangka mengejar ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa lain di dunia, sehingga bangsa ini dapat duduk bersangding bahu dengan bangsa-bangsa yang telah lebih dahulu maju.
Ada yang menarik untuk diperbincangkan bertepatan dengan perayaan 70 tahun Indonesia merdeka tahun ini, yaitu pengibaran bendera Merah-Putih raksasa di puncak bukit Gunong Halimon. Gunung dengan ketinggian 1.500 dari permukaan laut itu terletak di Blang Keudah Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie. Gunong Halimon erat kaitannya dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan Hasan Tiro pada 4 Desember 1976.
Pada tahun 2000, saya pernah mengajak orang tua saya bertamasya ke Gunong Halimon, namun almarhmum Ayah saja membatalkannya dengan mengatakan: “Nyan tempat meuen rimung hitam” (Itu tempat bermain harimau hitam). Belakangan saya menyadari begitu bermaknanya Gunong Halimon dalam pandangan orang tua saya.
Bendera raksasa
Saya mengapresiasi pemikiran menggelar upacara dan pengibaran bendera raksasa di puncak Halimon. Apalagi dengan dukungan dan kerja sama masyarakat dan TNI/Polri, bendera yang dikibarkan pun berukuran raksasa yaitu 20 x 25 meter. Sembari mengenang HUT ke-70 kemerdekaan RI, serta Gunong Halimon yang pernah bersejarah bagi perjuangan GAM, mari kita cermati beberapa pesan Gunong Halimon yang saya tuangkan dalam tulisan singkat ini.
Pertama, pentingnya pendidikan dalam membangun bangsa. Pada 10 September 1977 dicanangkan berdirinya “universitas Aceh” di puncak Halimon. Beberapa fakultas dibuka waktu itu, antara lain fakultas kedokteran, administrasi masyarakat, hukum, hubungan internasional, dan akademi militer. Kuliah perdana diselenggarakan pada 20 September 1977 yang diikuti oleh 50 orang mahasiswa. Tujuan pendirian “universitas Aceh” ini adalah untuk melatih kader-kader masa depan Aceh.
Puncak Halimon adalah saksi bisu “universitas Aceh” dengan rektor pertama Hasan Tiro, yang menyadari betul tentang pentingnya pendidikan dalam membangun sebuah bangsa. Tanpa pendidikan maka cita-cita membangun bangsa hanyalah impian belaka. Pendidikan adalah kunci utama dalam membangun peradaban bangsa, apalagi dengan cita-cita mewujudkan bangsa teulebeh ateuh rueng donya (bangsa yang hebat).
Zaini Abdullah-Muzakir Manaf adalah orang yang pernah mengikuti kuliah dengan Hasan Tiro di puncak Halimon. Keduanya kini merupakan orang nomor satu yang memegang kendali pemerintahan Aceh. Sudah saatnya beliau menerjemahkan ilmu-ilmu yang diperoleh dari puncak Halimon dalam mewujudkan masyarakat Aceh yang madani, terutama dalam menata pendidikan Aceh menjadi lebih baik.
Saat itu, Hasan Tiro dikejar-kejar pemerintah Indonesia dan hidup di hutan belantara tetapi mampu mewujudkan “universitas Aceh” dengan kampus alam terbuka dengan materi kuliah kelas dunia. Hasan Tiro menyadari bahwa cita-cita perjuangan Aceh Merdeka (AM) yang diproklamirkannya tidak akan terwujud tanpa diisi oleh orang-orang yang berpendidikan, oleh sebab itu meski hidup di pengasingan dan hutan belantara pendidikan tetap diproritaskan utama.
Singkatnya, meskipun hidup susah dan melarat, namun Hasan Tiro masih menyisakan pikirannya untuk membangun pendidikan. Tentu lain halnya dengan kondisi sekarang, hidup enak di Istana megah tetapi tidak sedikit pun pikiran diproritaskan untuk kemajuan pendidikan. Pemerintah Aceh sejatinya mengikuti jejak pemikiran Hasan Tiro dalam hal pentingnya pendidikan untuk membangun peradaban bangsa, apalagi dengan kondisi pendidikan Aceh sekarang yang semakin merosot.
Kedua, mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. Masih ingat tentang panglima GAM yang paling disegani? Teungku Lah, demikian panggilan untuk Tgk Abdullah Syafii. Beliau adalah panglima GAM yang paling disegani, beliau pun adalah alumni puncak Halimon. Pesannya: “Meunyo bak saboh uroe ka tadeungo lé gata nyang bahwa lôn ka syahid, bèk tapeuseudéh dan putôh asa. Lantaran jeueb-jeueb watee lôn meulakee bak Po teuh Allah Beuneubri lôn syahid watèë Nanggroë geutanyoë ka toë bak mardéhka, meuseubab hana peurelèë sipeuë jabatan pih meunyo Nanggroë ka mardeka, nyang lon peureulee pemimpin beuamanah rakyat beuseujahtra” (Jika suatu hari nanti kau dengar aku telah tiada, jangan bersedih dan putus asa, sebab setiap waktu aku berdoa semoga Allah memanggilku saat negeri ini belum merdeka. Aku tak butuh jabatan saat negeri ini merdeka, yang kubutuhkan, para pemimpin menjaga amanah agar rakyat sejahtera) (J. Kamal Farza, Serambi, 22/1/2011).
Sebagai panglima perang, Abdullah Syafii mengimpikan pemimpin yang amanah yang mampu mensejahterakan rakyat, lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi dan golongan. Impian ini tentu sangatlah wajar, terutama impian untuk melihat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tanpa melihat siapa dan dimana, semoga impian Abdullah Syafii juga dikenang kembali oleh pemimpin Aceh yang dulunya pernah satu barisan dengan beliau, yang pernah merasakan tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit.
Ketiga, manfaatkanlah kesempatan yang diberikan Allah. Saya yakin ketika Hasan Tiro memproklamirkan “Aceh Merdeka” serta mendirikan Universitas Aceh di puncak Halimon, beliau mengharapkan bahwa Halimon akan menjadi tempat bersejarah yang akan dikenang selalu rakyat Aceh bahkan dunia. Tetapi pada 17 Agustus 2015 lalu, di tempat yang sama juga tercatat sejarah baru yang akan selalu dikenang. Apalagi sejarah tersebut diukir oleh Republik Indonesia yang pernah dibenci dan dimusuhi Hasan Tiro.
Menebar kebaikan
Roda kehidupan akan selalu berputar, sebab ini adalah Sunnatullah(ketentuan Allah). Untuk itu manfaatkan kehidupan ini untuk menjadi lebih baik. Siapa pun kita, apa pun yang dianugerahkan Allah dalam hidup kita sejatinya kita manfaatkan untuk menebar kebaikan. Kita yang diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin rakyat, hendaknya kesempatan itu betul-betul dimamfaatkan untuk memakmurkan rakyat yang kita pimpin, jangan pernah mencari keuntungan pribadi.
Jika ditelisik lebih dalam, para “alumni Halimon” yang telah berpulang ke Rahmatullah secara lahir terlihat tidak pernah mendapatkan keuntungan untuk pribadinya. Demikian pesan Halimon yang mungkin harus kembali direvitalisasi oleh kita semua, terutama orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan “universitas Aceh” dengan kampus kebanggaan puncak Halimon.
Zarkasyi Yusuf, Staf Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh. Email: kasyiaceh@gmail.com
Sumber: aceh.tribunnews.com
loading...
Post a Comment