TIDAK ada sambutan, tidak ada bendera setengah tiang, tidak ada kenangan untuk menyambut memori kelam Aceh 26 Maret 1873 di masa kini. Anda tahu, mereka kaum muslimin Aceh pergi berperang karena telah diperintahkan oleh negara. Tidakkah kita menghargai jasa-jasa perjuangan dan pengorbanan mereka? Saya tidak punya kata-kata untuk mengungkapkan pada anda tentang kesedihan atas gugurnya pejuang Aceh.
Kini Aceh tidak indah lagi tanpa kehadiran mereka. Tapi saya sangat yakin, mereka kaum musilimin Aceh yang syahid di medan perang, sekarang telah bersama Tuhan dan para malaikat-Nya. Dan bahkan surga menjadi indah dengan kehadiran mereka di sana.
Lihatlah, apa yang kita temukan di pantai Ulee Lheue, pantai Ceureumen, pantai Meugat dan pantai-pantai tempat pendaratan berlabuhnya kapal perang Belanda dan kapal-kapal Eropa? Disana kita hanya menemukan sepasang kekasih yang sedang menengak air minuman dengan tontonan sampah yang berserakan.
Seharusnya di berbagai tempat dan pantai seperti itu telah didirikan monumen-monumen bersejarah. Adalah ironis bahwa semakin lama saya menjajaki peninggalan sejarah perang Belanda di Aceh dibeberapa tempat seperti di Banda Aceh dan Aceh Besar, bahkan mencarinya di internet, semakin saya merasa kehilangan roh” perang Belanda di Aceh.
Tentu saja bukanlah roh perang sesungguhnya yang kerapkali memakan korban jiwa sedemikian besar itu, tetapi roh dalam bentuk fakta-fakta dan bukti-bukti perang baik yang original maupun buatan manusia yang direplikakan kembali. Bohong kalau saya mengatakan bahwa bukti sejarah perang Belanda di Aceh tidak ada. Bohong pula jika saya mengatakan tidak pernah melihat bukti-bukti perang tersebut. Tapi adalah benar jika saya katakan bahwa di Aceh tidak ada replika-replika perang yang maha dasyat itu.
Kebesaran dan agungnya sebuah sejarah tak lepas dari kontribusi para sejarawan, dari awal pengumpulan data hingga merekontruksi segala peristiwa masa lalu yang berkaitan erat dengan manusia, menjadi seperti yang kita ketahui sekarang. Di samping itu, peranan dan kontribusi pemerintah, akademisi, masyarakat, bahkan media massa sangat dibutuhkan untuk kepentingan sejarah. Dan bagi mereka yang mengamini sejarah sebagai pelajaran dan inspirasi yang tak lekang oleh waktu, menghormati warisan dan pembuatan sosok-sosok penting dalam sejarah menjadi keharusan.
Sejarah perang Belanda di Aceh yang termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen pada hari rabu tanggal 26 Maret 1873, tidak harus disusun rapi dalam bundelan-bundelan dokumen yang tertata rapi di museum, perpustakaan dan ruang arsip. Banyak cara agar sejarah perang Belanda di Aceh terus hidup, tetap dikenang dan dikenalkan kepada generasi terbaru yang masih muda dan anak-anak. Tujuannya jelas: generasi baru mesti mengenal betul seluk-beluk perang Belanda di Aceh dan para leluhurnya, atau.... Aceh.
Pembuatan monumen bersejarah, seperti patung prajurit perang, prasati surat perang, atau replika jalannya perang Belanda di Aceh, bisa dijadikan suatu alternatif untuk mengabadikan suatu momen dan sejarah. Dengan cara seperti itulah ingatan dan kenangan memori Aceh 1873-1942 terhadap sejarah tetap terjaga dan terjamin kelangsungannya hingga generasi-generasi yang akan datang.
Tentu saja untuk membangun monumen bersejarah tersebut, selain dana yang diperlukan, juga dibutuhkan lahan kosong dan tim arsitek yang handal demi menghidupkan kembali jejak-jejak perang Belanda di Aceh yang sangat memprihatinkan ini.
Hampir seabad setengah (1873-2015) perang Belanda di Aceh berlalu, ingatan dan kenangan tentang sejarah tersebut makin lama semakin terkikis. Bahkan kita juga tak pernah melihat dan menyaksikan adanya monumen atau replika perang yang berdiri megah dihadapan kita.
Sepengetahuan saya, selain Kerkhof, Masjid Raya Baiturrahman, dan makam-makam pahlawan, hanya ada prasasti Kohler yang dibangunkan dibawah pohon Geulumpang tepat digerbang kiri Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Selebihnya, barangkali masih bersemayam di daerah lain dan dalam mimpi serta imajinasi kita. Kita juga tidak pernah tahu dimana letak pemakaman pasukan dan pejuang Aceh yang gugur selama perang Belanda di Aceh, seperti halnya pemakaman Kerkhof.
Pada akhirnya, kita semua sadar bahwa Aceh tak pernah menghargai sejarahnya, hanya terbuai dan larut dalam euforia kejayaan masa lalu. Dengan dana yang digelontorkan sedemikian banyak itu, pemimpin kita masih buta tentang sejarah. Parahnya, pemimpin di negeri ini hanya memanfaatkan sejarah sebagai alat politik; Aceh adalah bangsa besar dengan kebesaran sejarahnya, pernah mencapai puncak kejayaannya, juga pernah dipimpin oleh 4 ratu, negeri yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang handal, serta sebagainya ��" sungguh ironis. Kepada yang terhormat; seluruh pemilik kekuasaan rakyat Aceh, hidupkan kembali momen-momen perang Belanda di Aceh untuk mengenang perjuangan 1873-1942.
Kiranya hal tersebut tidak dapat diwujudkan, satu-satunya cara agar perang Belanda di Aceh tetap hidup dan menghidupkan kembali adalah; Datanglah ke Aceh, atau tepatnya Banda Aceh dan daerah sekitarnya suatu hari nanti. Di sana kenangan-kenangan akan perang Belanda di Aceh masih dapat disaksikan secara jelas. Kerkhof, Rumah Cut Nyak Dhien, Masjid Raya Baiturrahman, Pohon Kohler, makam-makam tempo dulu, dan sebagainya, masih berdiri kokoh untuk dijadikan bukti bahwa di daerah ini memang benar pernah terjadi perang yang maha dasyat antara Belanda dan Aceh.
Datanglah ke area perkuburan Belanda yang disebut Kerkhof suatu waktu nanti. Letaknya di daerah Blower, Banda Aceh, tidak jauh dari pendopo Gubernur Aceh, yang memang agak terbentang lurus dari arah situ dan tepat dibelakang Museum Tsunami Aceh. Banyak hal menarik dapat Anda temui di kompleks pemakaman ini. Seperti kisah para prajurit semasa hidupnya sampai pada saat dikubur. Semuanya diceritakan hanya sekilas pada batu nisan, sehingga makam ini seolah-olah sedang bercerita kepada Anda tentang masa hidupnya.
Selain makam Kohler, masih terdapat banyak lagi makam-makam Jenderal Belanda dan orang terkenal lainnya di pemakaman Kerkhof ini, seperti warga setempat yang beragama Kristen dan orang-orang Tionghoa juga dikuburkan di situ. Jika ada waktu, ada baiknya anda sesekali berlibur ke Kerkhof untuk menikmati ratusan simbol yang ada di dalam sana.
Chaerol Riezal
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Sejarah, angkatan 2011, Darussalam ��" Banda Aceh ; Pengurus Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) Koordinator Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Sejarah, angkatan 2011, Darussalam ��" Banda Aceh ; Pengurus Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) Koordinator Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara
loading...
Post a Comment