AMP - Menjelang sepuluh tahun kesepakatan
damai di Aceh, nasib korban pelanggaran HAM di wilayah itu masih
terkatung-katung, karena belum terbentuknya Komisi kebenaran dan
rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Musliadi, yang saat itu berumur 22 tahun,
harus mendekam dipenjara di sebuah kota di Aceh, walaupun dia merasa
tidak melakukan kesalahan.
Dia divonis bersalah oleh pengadilan
setempat dan dihukum dua tahun enam bulan, karena dianggap membantu
Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Saya cuma masyarakat biasa,” kata
Musliadi mengenang kembali nasib sial yang menimpanya. “Demi
menyelamatkan nyawa, saya terpaksa mengaku bersalah.”
Sempat dipenjara di kota Lamno, dia kemudian dibebaskan pada 18 Agustus 2015 setelah perjanjian damai Helsinki.
Muliadi
adalah satu dari barangkali ribuan tahanan politik di Aceh yang
ditangkap tanpa alasan yang jelas. Dia adalah korban pelanggaran HAM
semasa Aceh dilanda konflik
Dan sepuluh tahun setelah perjanjian damai Helsinki, keinginannya agar kebenaran yang menimpa dirinya belum juga terlaksana.
“Kalau
Komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) dibentuk, ini merupakan
salah-satu jalan keluar agar para korban tidak dendam kepada aparat,”
kata Muliadi, yang kini menetap di kota Sigli, Aceh.
Bersama tahanan politik Aceh lainnya, ayah dua anak ini terus meneriakkan agar KKR dilaksanakan.
Mengapa belum dilaksanakan?
Pada 2013 lalu, DPR Aceh telah
mengesahkan peraturan daerah atau qanun pembentukan KKR, untuk
menyelesaikan berbagai dugaan pelanggaran HAM di Aceh.
Tetapi perda itu tidak pernah ditindaklanjuti, karena pemerintah pusat tidak merestuinya.
Alasannya, pengesahan dan pelaksanaannya seharusnya menunggu pengesahan UU KKR nasional.
Sikap pemerintah pusat ini ditolak oleh DPR Aceh dan menimbulkan kemarahan para pegiat HAM di wilayah itu.
“Pemerintah pusat tidak mempunyai political will (keinginan politik) untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Aceh,” kata Ketua LBH Banda Aceh, Mustiqal Saputra.
Menurutnya,
alasan pemerintah pusat bisa dipatahkan, karena keberadaan KKR Aceh
telah diatur dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh.
“Kelembagaannya (KKR) dapat dibentuk, walaupun mekanismenya harus sesuai UU KKR nasional,” kata Mustiqal.
Sikap
yang ditunjukkan para pegiat HAM di Aceh, rupanya, juga sesuai dengan
sikap Komisi I DPR Aceh (DPRA), yaitu, tetap akan membentuk kelembagaan
KKR, walaupun pemerintah pusat menolaknya.
“Kita kemudian
merencanakan untuk merekrut komisioner KKR,” kata Abdullah Saleh,
politisi Partai Aceh dan anggota DPR Aceh yang sejak awal terlibat dalam
pembuatan dan pengesahan KKR Aceh.
Tetapi, ungkap Abdullah, tiba-tiba saja pimpinan Komisi I DPRA mendapat surat dari pimpinan DPRA.
Isinya, agar mereka tidak melanjutkan seleksi komisioner KKR.
“Meminta untuk dihentikan dulu (perekrutan komisioner KKR),” kata Abdullah, menirukan isi surat tersebut.
Dia menduga, pimpinan DPRA mendapat “tekanan” sehingga mereka tidak mendukung pelaksanaan lebih lanjut dari Perda KKR Aceh.
Pemerintah Aceh tidak mendukung?
Abdullah Saleh meyakini tekanan itu bukan datang dari pemerintah Aceh, tetapi dari pemerintah pusat.
Pemerintah Aceh, menurutnya, sejak awal mendukung keberadaan KKR Aceh.
“Sampai
akhir kita sepakat dengan Qanun KKR. Ini menunjukkan bahwa DPRA dan
pemerintah Aceh bersepakat mendukung untuk membentuk KKR Aceh,”
tegasnya.
Namun dukungan pemerintah Aceh terhadap keberadaan KKR Aceh, diragukan oleh Mustiqal Saputra, Ketua LBH Banda Aceh.
“Ada kendala dari pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh punya persepsi berbeda soal KKR Aceh,” kata Mustiqal.
Dia
menduga kuat, pemerintah Aceh kurang mendukung KKR karena mereka
khawatir para elit eks kombatan GAM yang duduk di pemerintahan bisa
“ditarik sebagai aktor pelaku”.
“Mereka khawatir,” kata Mustiqal.
Sementara,
anggota Komnas HAM Otto Syamsudin Ishak menganggap pemerintah Aceh
tidak memiliki niat serius untuk mendukung pelaksanaan KKR Aceh.
Dia
kemudian membandingkan sikap serius pemerintah Aceh dalam
memperjuangkan masalah bagi hasil antara Aceh dan pemerintah pusat
terkait.
“Kenapa masalah ini (KKR) tidak masuk dalam paket itu.
Ini menunjukkan niat kuat tidak ada juga dari kalangan mereka,” kata
Otto.
Lagipula, lanjutnya, KKR Aceh bisa dibentuk tanpa harus menunggu pemerintah pusat.
“Dalam artian bukan hanya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Itu bisa diperjuangkan (pemerintah Aceh),” tandasnya.
Nasib KKR nasional
Sejak awal, para pegiat HAM telah meminta pemerintah Indonesia segera membentuk KKR untuk menyelesaikan persoalan dugaan pelanggaran HAM di Aceh semasa konflik.
Mereka mengatakan, para korban dan keluarga
korban pelanggaran HAM di Aceh telah menunggu janji pemerintah Indonesia
untuk merealisasikan pembentukan komisi tersebut, seperti diamanatkan
Kesepakatan damai Helsinki, 2005.
Lembaga pegiat HAM Amnesty
Internasional pernah mengkritik pemerintah Indonesia dan pemerintah
daerah Aceh yang dianggap gagal mengungkap kebenaran praktik pelanggaran
HAM di Aceh selama bertahun-tahun.
Padahal, menurut Amnesty Internasional, korban tewas selama masa konflik di Aceh berkisar antara 10.000 dan 30.000 jiwa.
Konflik di Aceh meletus sejak 1976 yang melibatkan Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia.
Puncak kekerasan itu terjadi saat operasi militer digelar di Aceh sejak 1989 hingga kesepakatan damai ditandatangani pada 2005.
KKR
Aceh nantinya akan mencari kebenaran berbagai kasus dugaan pelanggaran
HAM semenjak 1976, karena berbagai pelanggaran HAM di Aceh dimulai marak
semenjak GAM dideklarasikan pada 1976.
Sejak Mahkamah Konstitusi
membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, lebih dari empat tahun
silam, pemerintah dan DPR sejauh ini belum membuat dan mengesahkan UU
KKR yang baru.
Empat tahun laly, dokumen awal RUU disebutkan telah
diserahkan ke Sekretariat Negara, tetapi belum ada informasi tentang
tindak lanjutnya.
Indonesia memilih komisi kebenaran sebagai opsi
terbaik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, karena
penyelesaian hukum melalui peradilan sulit dilaksanakan karena terbentur
persoalan politik dan teknis.
Di sinilah kemudian muncul usulan dibentuk Komisi kebenaran di tingkat daerah, seperti disuarakan para pegiat HAM di Aceh.
loading...
Post a Comment