SEJARAH telah mencatat pada 15 Agustus 2006, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menandatangani kesepakatan damai di Helsinki Finlandia yang difasilitasi oleh Consultative Management Initiative (CMI) yang diketuai oleh Martti Ahtisaari. Hari itu menjadi tonggak sejarah berawalnya perdamaian Aceh, walaupun sebelumnya proses menunju perdamaian di Aceh sudah ditempuh sejak 2000 bersama Hendry Dunant Center (HDC).
Saat ini, tepat pada 15 Agustus 2015 usia perdamaian di Aceh telah mencapai 10 tahun, usia yang cukup panjang dalam membangun dan merajut perdamaian, konflik senjata kini berganti dengan ide-ide kontruktif dalam membangun perdamaian di Aceh. Lahirnnya UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dibentuknya Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) mengantikan Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA) adalah satu wujud komitmen pemerintah dalam menjaga perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.
Kini Aceh tidak lagi mengenal konflik senjata, tetapi konflik Aceh telah bertransformasi dari senjata ke konflik ide, konflik politik dan implementasi pembangunan. Tentunya ini juga membutuhkan energi yang cukup besar dan perhatian serius dari para pemangku kepentingan (stakeholder) baik di Aceh sendiri maupun pemerintah pusat atau bahkan masyarakat dunia internasional yang telah berupaya juga mendamaikan Aceh dalam menjaga perdamaian tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa menjaga perdamaian, tentu lebih berat dalam membuat perdamaian itu sendiri. Dan, inilah tantangan ke depan bagi Aceh dan pemerintah RI, yaitu bagaimana ke depan Aceh tetap berada dalam pangkuan ibu pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Beberapa capaian
Tak dapat dipungkiri, 10 tahun perdamaian Aceh, ada beberapa capaian yang patut menjadi catatan kita dan dapat menjadi modal bagi pembangunan Aceh masa depan. Sebagai renungan kita bersama, Aceh mendapat dana otsus yang cukup besar 2% dari plafon dana Alokasi Umum Nasional. Pemerintah Aceh serta masyarakatnya juga mendapat tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi, yang merupakan bagian dari penerimaan pemerintah Aceh yaitu bagian dari pertambangan minyak sebesar 55% (lima puluh lima persen), dan bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40% (empat puluh persen). Pemerintah juga RI menandatangani beberapa peraturan pelaksana dari UUPA yang cukup penting bagi pembangunan masa depan generasi Aceh. Di antaranya yang cukup menjadi modal pembangunan Aceh masa depan adalah PP No.3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh, Perpres No.23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Badan Pertanahan Kabupaten/Kota. Dan terakhir, yang cukup penting bagi Aceh adalah PP No.23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi di Aceh, dan sebelumnya telah duluan hadir PP No.83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang.
Beberapa peraturan tersebut jika diimplementasikan dengan baik dan didukung dengan sumber daya manusia (SDM) yang andal dengan potensi sumber daya alam (SDA) Aceh yang luar biasa, yang dilakukan dalam sebuah perencanaan pembangunan Aceh yang terintegrasi, terukur dan akuntable. Niscaya mungkin saja Aceh akan menjadi singapuranya Indonesia, dan Aceh tentu bukan lagi ancaman disintegrasi bagi Indonesia, tetapi adalah sumber devisa negara RI yang luar biasa.
Profesor Johan Galtung dari Norwegia, seorang sosiolog dan pakar perdamaian yang telah menulis berbagai literatur tentang konflik dan perdamaian mengatakan bahwa kerja sama dan saling mengerti adalah kunci perdamaian. Selanjutnya dikatakan bahwa damai ada yang berdimensi negatif dan positif.
Melihat perkembangan perdamaian di Aceh setelah 10 tahun, tentu dalam hal ini kita perlu melihat kembali apakah akar dari konflik Aceh telah teratasi? Bagaimana saat ini peran para pemangku kepentingan dalam merajut perdamaian. Damai tentu tidak hanya dirasakan oleh para pemangku kepentingan saja, namun juga perlu dirasakan oleh masyarakat di lapisan bawah dan pihak-pihak yang dulunya telah merasakan pahit-getirnya konflik di Aceh.
Dikatakan kondisi damai yang negatif jika akar persoalan konflik masih ada dan belum teratasi. Sedangkan damai yang positif adalah situasi yang mana akar konflik telah teratasi dan masing-masing pihak terus berdialog untuk merajut pembangunan perdamaian itu sendiri serta aspek human security yaitu keamanan manusia berupa kebutuhan ekonomi, pekerjaan, kehidupan sosial, kesehatan, dan pendidikan telah dicapai dengan baik. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa damai yang positif adalah capaian dari kondisi yang adil dan makmur.
Tantangan ke depan
Kondisi inilah yang masih menjadi tantangan Aceh di masa depan, sebagaimana diketahui setelah tidak ada lagi bantuan internasional untuk Aceh akibat gempa dan tsunami, pembangunan Aceh saat ini hanya bertumpu pada fiskal Anggaran Pembangunan dan Belanja Aceh (APBA). Akibat dari tidak adanya lagi NGO asing yang beroperasi di Aceh setelah rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh berakhir, pengangguran di Aceh meningkat cukup drastis, walaupun Aceh sudah mendapatkan dana otsus yang cukup besar dan dana migas.
Namun ke depan jika dana tersebut tidak dikelola secara bijaksana, terukur dan membawa dampak bagi kesejahteraan rakyat Aceh, terutama di dalam pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dikhawatirkan Aceh akan menjadi daerah miskin setelah dana otsus tersebut akan berakhir dalam 20 tahun ke depan; apakah nantinya Aceh akan kembali konflik setelah dana otsus berakhir?
Kondisi ini diperparah dengan sektor swasta yang seharusnya dapat menopang ekonomi di masyarakat belum berjalan dengan baik. Kondisi inilah yang masih membutuhkan perhatian serius dari para pemangku kepentingan baik di Aceh dan di pemerintah pusat. Menjaga stabilitas perdamaian di Aceh tentu membutuhkan kesadaran kolektif masyarakat Aceh dan komitmen para pihak dengan terus berupaya menjaga kondisi perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.
Di samping itu, para pemangku kepentingan yang terlibat di dalam pembangunan perdamaian di Aceh harus melakukan intervensi pembangunan perdamaian dengan terus melibatkan pemerintah, baik pemerintah Aceh dan pemerintah pusat secara utuh di dalam program-program pembangunan yang berperspektif terhadap penguatan perdamaian Aceh. Apalagi dalam hal ini Aceh sudah mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, sudah didukung dengan perangkat kebijakan/regulasi yang baik dan anggaran yang memadai.
Akhirnya, dalam tulisan singkat ini sebaiknya peringatan 10 tahun perdamaian Aceh perlu dilakukan dengan membangun diskusi yang positif oleh para pemangku kepentingan untuk menemukan visi Aceh ke depan pascakonflik, penyediaan lapangan kerja dan yang lebih penting adalah pembicaraan strategi dan kebijakan dalam menghadapi berakhirnya dana otsus. Dengan demikian kita berharap damai di Aceh tetap menjadi damai yang berkelanjutan. Semoga!
Bahrul Ulum, Pegiat perdamaian, alumnus Mindanaou Peace Building Institute (MPI) Filipina. Email: bahroel79@yahoo.com
Sumber: aceh.tribunnews.com
loading...
Post a Comment