DOR!! Salak senjata kembali menghentak Aceh kemarin, Kamis, 27 Agustus 2015. Satu nyawa kembali berpisah dari raga. Darah kembali tertumpah di Bumi Aceh tercinta.
Kasus-kasus penanganan tindak kriminal akhir-akhir ini seakan-akan identik dengan kekerasan. Padahal ada penjahat yang dibedil sebenarnya tidak melawan. Mereka kemungkinan besar hanya terkejut dan berupaya melarikan diri.
Contoh kasus adalah penembakan Ridwan dan Beurijuk. Dua luka yang ada di tubuh Beurijuk, salah satu target operasi kepolisian, menunjukkan pihak penegak hukum tidak main-main dengan kelompok ini. Belum lagi jika berbicara kasus Ridwan yang memiliki tujuh bekas luka dari timah panas di tubuhnya.
Ya, kita kali ini berbicara tentang penanganan kelompok Din Minimi (DM) Cs yang dilakukan oleh Polda Aceh bekerjasama dengan TNI. Kelompok ini–sejak kemunculannya dengan menenteng senjata di media–membuat polisi memasukkannya dalam daftar pencarian orang (DPO).
Penanganan yang dilakukan pun bertahap. Mulai dari pendekatan persuasif hingga ‘tembak di tempat’ bagi yang keras kepala dan tidak menyerahkan diri setelah tempo waktu yang diberikan. Konon lagi pihak yang diburu disebut-sebut telah melakukan sejumlah tindak kejahatan bersenjata. Dan mereka juga memiliki ‘logistik’ cukup untuk melawan penangkapan yang bakal dilakukan oleh kepolisian.
Jadi, tidak aneh jika polisi ‘melumpuhkan’ komplotan Din Minimi Cs dengan dua kali tembakan mematikan: satu di kepala lantas di dada.
Namun yang jadi pertanyaan adalah seberapa efektifkah penanganan hukum seperti ini? Apakah polisi di Aceh sekarang sedang mencontoh tim Detasemen Khusus atau Densus 88 dalam menangkap teroris bersenjata? Dan apakah ini tidak beresiko terhadap perdamaian Aceh yang masih seumur jagung?
Jika merujuk ke sejarah pergolakan di Seuramo Mekkah, kasus-kasus seperti ini tentunya akan menjadi fatal dan kemudian menjadi gelombang baru pemberontakan Aceh. Mungkin sejarah telah mencatat bagaimana penanganan hukum yang dilakukan oleh Kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terhadap Darul Islam pimpinan Teungku Daud Beureueh di Aceh.
Saat itu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut mendapat sorotan oleh Hasan Tiro. Sebagai putra Aceh, Hasan Tiro mengaku geram dengan pola-pola penanganan yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap anggota DI/TII di Aceh.
Alhasil tindakan penanganan hukum yang mengandalkan bedil tersebut berbuah dengan munculnya Deklarasi Republik Islam Aceh. Pelopornya tidak lain adalah Hasan Tiro yang miris melihat orang-orang Aceh ditembak tanpa proses pengadilan terhadap tindakan pelanggaran hukum yang dilakukannya.
Kemunculan Hasan Tiro lantas berbuntut panjang. Tidak hanya Republik Islam Aceh, sosok yang pernah bekerja di Kementerian Luar Negeri tersebut bahkan di kemudian hari mendeklarasikan Acheh Sumatera National Liberation Front (ASLNF) atau dikenal Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menuntut kemerdekaan dari Indonesia.
Akhirnya wadah yang didirikan oleh Hasan Tiro ini menjadi pemersatu orang-orang Aceh yang merasa dizalimi oleh hukum untuk menuntut haknya. Diantara kombatan tersebut sebenarnya tidak seluruhnya memahami ideologi yang diusung oleh Hasan Tiro dalam GAM. Namun mereka memilih bergabung lantaran dendam karena orangtuanya, saudaranya, adik atau abangnya yang ditembak mati tanpa proses pengadilan atas kesalahan-kesalahan kriminal yang dilakukan.
Nah, berpegang dari sejarah konflik tersebut, maka dua kasus teranyar dalam pola penanganan tindak kriminal di Aceh sepatutnya dipertimbangkan lagi. Terutama kasus Ridwan. Dia disebut-sebut ‘dieksekusi’ oleh polisi dalam kondisi lemah karena memang sedang sakit. Kemudian kasus Beurijuk yang didor di tempat terbuka dan disaksikan oleh puluhan orang Aceh.
Kita juga tidak 100 persen menyalahkan tindakan pihak kepolisian yang memilih ‘melumpuhkan’ tersangka dengan tembakan mematikan. Apalagi sebagai manusia biasa, polisi juga pasti merasa jiwanya terancam ketika ditugaskan oleh pimpinan untuk memburu kelompok bersenjata ini. Toh, polisi juga manusia. Punya keluarga, punya istri dan anak di rumah yang menunggu mereka.
Jadi bagaimana cara mengatasi hal ini? Sudah selayaknya mantan pimpinan DM semasa GAM, mengambil alih. Temui mereka. Ajak bicara secara baik-baik kelompok ini. Katakan pembangunan Aceh mesti dilakukan secara bertahap dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Anggap saja mereka anak nakal yang butuh perhatian dari orangtuanya. Bujuk mereka untuk turun dan bergaul kembali dengan masyarakat. Ini perlu dilakukan segera, sebelum gerakan kriminal tersebut meluas ke permasalahan lain. Rangkul kembali DM cs sebelum ada yang memanfaatkan kelompok ini di kemudian hari untuk kepentingan merusak Aceh dari dalam.
Tindakan persuasif sekali lagi perlu dilakukan oleh pucuk pimpinan Aceh saat ini untuk meredam pergerakan DM. Sebelum ini meluas. Sebelum ini menjadi kerikil dalam perdamaian Aceh mendatang. Kedepankan dialog dalam kasus ini dengan tokoh intelektual di kelompok tersebut. Kita yakin, gerakan ini akan mudah ditangani, jika pucuk pimpinan serius menyikapi bahwa ini adalah bahaya laten untuk Aceh, yang perlu diselesaikan dengan mengedepankan nilai-nilai ke-acehan dalam prosesnya. Namun dengan catatan: apa yang dihasilkan dalam pembicaraan tersebut benar-benar dilaksanakan!.
Kasus-kasus penanganan tindak kriminal akhir-akhir ini seakan-akan identik dengan kekerasan. Padahal ada penjahat yang dibedil sebenarnya tidak melawan. Mereka kemungkinan besar hanya terkejut dan berupaya melarikan diri.
Contoh kasus adalah penembakan Ridwan dan Beurijuk. Dua luka yang ada di tubuh Beurijuk, salah satu target operasi kepolisian, menunjukkan pihak penegak hukum tidak main-main dengan kelompok ini. Belum lagi jika berbicara kasus Ridwan yang memiliki tujuh bekas luka dari timah panas di tubuhnya.
Ya, kita kali ini berbicara tentang penanganan kelompok Din Minimi (DM) Cs yang dilakukan oleh Polda Aceh bekerjasama dengan TNI. Kelompok ini–sejak kemunculannya dengan menenteng senjata di media–membuat polisi memasukkannya dalam daftar pencarian orang (DPO).
Penanganan yang dilakukan pun bertahap. Mulai dari pendekatan persuasif hingga ‘tembak di tempat’ bagi yang keras kepala dan tidak menyerahkan diri setelah tempo waktu yang diberikan. Konon lagi pihak yang diburu disebut-sebut telah melakukan sejumlah tindak kejahatan bersenjata. Dan mereka juga memiliki ‘logistik’ cukup untuk melawan penangkapan yang bakal dilakukan oleh kepolisian.
Jadi, tidak aneh jika polisi ‘melumpuhkan’ komplotan Din Minimi Cs dengan dua kali tembakan mematikan: satu di kepala lantas di dada.
Namun yang jadi pertanyaan adalah seberapa efektifkah penanganan hukum seperti ini? Apakah polisi di Aceh sekarang sedang mencontoh tim Detasemen Khusus atau Densus 88 dalam menangkap teroris bersenjata? Dan apakah ini tidak beresiko terhadap perdamaian Aceh yang masih seumur jagung?
Jika merujuk ke sejarah pergolakan di Seuramo Mekkah, kasus-kasus seperti ini tentunya akan menjadi fatal dan kemudian menjadi gelombang baru pemberontakan Aceh. Mungkin sejarah telah mencatat bagaimana penanganan hukum yang dilakukan oleh Kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terhadap Darul Islam pimpinan Teungku Daud Beureueh di Aceh.
Saat itu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut mendapat sorotan oleh Hasan Tiro. Sebagai putra Aceh, Hasan Tiro mengaku geram dengan pola-pola penanganan yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap anggota DI/TII di Aceh.
Alhasil tindakan penanganan hukum yang mengandalkan bedil tersebut berbuah dengan munculnya Deklarasi Republik Islam Aceh. Pelopornya tidak lain adalah Hasan Tiro yang miris melihat orang-orang Aceh ditembak tanpa proses pengadilan terhadap tindakan pelanggaran hukum yang dilakukannya.
Kemunculan Hasan Tiro lantas berbuntut panjang. Tidak hanya Republik Islam Aceh, sosok yang pernah bekerja di Kementerian Luar Negeri tersebut bahkan di kemudian hari mendeklarasikan Acheh Sumatera National Liberation Front (ASLNF) atau dikenal Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menuntut kemerdekaan dari Indonesia.
Akhirnya wadah yang didirikan oleh Hasan Tiro ini menjadi pemersatu orang-orang Aceh yang merasa dizalimi oleh hukum untuk menuntut haknya. Diantara kombatan tersebut sebenarnya tidak seluruhnya memahami ideologi yang diusung oleh Hasan Tiro dalam GAM. Namun mereka memilih bergabung lantaran dendam karena orangtuanya, saudaranya, adik atau abangnya yang ditembak mati tanpa proses pengadilan atas kesalahan-kesalahan kriminal yang dilakukan.
Nah, berpegang dari sejarah konflik tersebut, maka dua kasus teranyar dalam pola penanganan tindak kriminal di Aceh sepatutnya dipertimbangkan lagi. Terutama kasus Ridwan. Dia disebut-sebut ‘dieksekusi’ oleh polisi dalam kondisi lemah karena memang sedang sakit. Kemudian kasus Beurijuk yang didor di tempat terbuka dan disaksikan oleh puluhan orang Aceh.
Kita juga tidak 100 persen menyalahkan tindakan pihak kepolisian yang memilih ‘melumpuhkan’ tersangka dengan tembakan mematikan. Apalagi sebagai manusia biasa, polisi juga pasti merasa jiwanya terancam ketika ditugaskan oleh pimpinan untuk memburu kelompok bersenjata ini. Toh, polisi juga manusia. Punya keluarga, punya istri dan anak di rumah yang menunggu mereka.
Jadi bagaimana cara mengatasi hal ini? Sudah selayaknya mantan pimpinan DM semasa GAM, mengambil alih. Temui mereka. Ajak bicara secara baik-baik kelompok ini. Katakan pembangunan Aceh mesti dilakukan secara bertahap dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Anggap saja mereka anak nakal yang butuh perhatian dari orangtuanya. Bujuk mereka untuk turun dan bergaul kembali dengan masyarakat. Ini perlu dilakukan segera, sebelum gerakan kriminal tersebut meluas ke permasalahan lain. Rangkul kembali DM cs sebelum ada yang memanfaatkan kelompok ini di kemudian hari untuk kepentingan merusak Aceh dari dalam.
Tindakan persuasif sekali lagi perlu dilakukan oleh pucuk pimpinan Aceh saat ini untuk meredam pergerakan DM. Sebelum ini meluas. Sebelum ini menjadi kerikil dalam perdamaian Aceh mendatang. Kedepankan dialog dalam kasus ini dengan tokoh intelektual di kelompok tersebut. Kita yakin, gerakan ini akan mudah ditangani, jika pucuk pimpinan serius menyikapi bahwa ini adalah bahaya laten untuk Aceh, yang perlu diselesaikan dengan mengedepankan nilai-nilai ke-acehan dalam prosesnya. Namun dengan catatan: apa yang dihasilkan dalam pembicaraan tersebut benar-benar dilaksanakan!.
loading...
Post a Comment