GAMPONG ini menjadi sentral perdagangan Kabupaten Aceh Besar. Lokasinya strategis dan dilintasi jalur Banda Aceh-Medan. Namanya Lambaro Kaphee (kafir). Letaknya hanya berjarak delapan kilometer dari Banda Aceh.
Lambaro Kaphee menjadi sentra perdagangan dan dinilai sebagai ibukota kedua Aceh Besar. Saban harinya, sayur dan buah dari berbagai penjuru Aceh transit di Lambaro Kaphee. Daerah ini tunduk di wilayah administratif Ingin Jaya. Banyak jalur alternatif yang bisa ditempuh menuju daerah ini. Misalnya dari Medan-Banda Aceh atau sebaliknya, dari Bandara SIM Blang Bintang, dan Lampeuneurut menuju pesisir barat Aceh.
Kondisi Lambaro Kaphee yang strategis inilah membuat daerah tersebut diperebutkan semenjak masa kesultanan Aceh. Salah satunya ketika perang Belanda di Aceh pada abad 19.
Ismail Jakub dalam bukunya Teungku Chik Di Tiro, Hidup dan Perjuangannya, menuliskan kawasan tersebut pernah dikuasai oleh Belanda pada 1880-an. Belanda membuat lini konsentrasi dengan membentengi diri di daerah yang strategis ini untuk mengamankan pusat pemerintahannya di Bandar Aceh. Teungku Chik Di Tiro yang saat itu menjadi pimpinan perang semesta telah berupaya untuk merebut kembali wilayah tersebut. Namun hasilnya gagal.
Pasukan Aceh di bawah pimpinan Teungku Chik Di Tiro kerap menyerbu tangsi-tangsi Belanda pada masa itu. Termasuk salah satunya benteng Aneuk Galong, yang letaknya tidak jauh dari Lambaro. Hal ini membuat Belanda menarik pasukannya ke Lambaro pada 1883.
Belanda turut membumihanguskan Aneuk Galong saat berpindah ke Lambaro. Mereka juga turut menghancurkan jembatan yang baru dibangun agar tidak bisa dilalui oleh pasukan Teungku Chik di Tiro. Sepeninggal Belanda, Teungku Chik Di Tiro lantas membuat benteng tidak jauh dari Aneuk Galong. Pusat pertahanan pasukan Aceh ini kemudian dinamakan dengan Kuta Bu yang artinya benteng nasi. Penamaan ini tidak terlepas dari peran daerah tersebut yang menjadi sumber logistik bagi pejuang Aceh.
Belanda memperkuat pusat pertahanan di Lambaro dengan meriam berukuran 12 centimeter. Selain itu, sebanyak dua batalyon serdadu Belanda juga disiagakan di daerah ini untuk mengantisipasi serangan pasukan Teungku Chik.
Teungku Chik Di Tiro yang paham benar tentang daerah tersebut kemudian melancarkan serangan ke benteng Lambaro. Namun pasukan-pasukan Aceh yang menyerang dari Lubok tidak mampu merebut Lambaro.
“Berkali-kali diserang dari seberang Krueng Aceh oleh barisan muslimin dari arah Lubuk, tetapi tidak jatuh juga. Maka oleh barisan sabil, dinamakannya benteng Lambaro itu dengan nama Lambaro Kaphee (Kafir),” tulis Ismail Jakub.
Lambaro Kaphee menjadi sentra perdagangan dan dinilai sebagai ibukota kedua Aceh Besar. Saban harinya, sayur dan buah dari berbagai penjuru Aceh transit di Lambaro Kaphee. Daerah ini tunduk di wilayah administratif Ingin Jaya. Banyak jalur alternatif yang bisa ditempuh menuju daerah ini. Misalnya dari Medan-Banda Aceh atau sebaliknya, dari Bandara SIM Blang Bintang, dan Lampeuneurut menuju pesisir barat Aceh.
Kondisi Lambaro Kaphee yang strategis inilah membuat daerah tersebut diperebutkan semenjak masa kesultanan Aceh. Salah satunya ketika perang Belanda di Aceh pada abad 19.
Ismail Jakub dalam bukunya Teungku Chik Di Tiro, Hidup dan Perjuangannya, menuliskan kawasan tersebut pernah dikuasai oleh Belanda pada 1880-an. Belanda membuat lini konsentrasi dengan membentengi diri di daerah yang strategis ini untuk mengamankan pusat pemerintahannya di Bandar Aceh. Teungku Chik Di Tiro yang saat itu menjadi pimpinan perang semesta telah berupaya untuk merebut kembali wilayah tersebut. Namun hasilnya gagal.
Pasukan Aceh di bawah pimpinan Teungku Chik Di Tiro kerap menyerbu tangsi-tangsi Belanda pada masa itu. Termasuk salah satunya benteng Aneuk Galong, yang letaknya tidak jauh dari Lambaro. Hal ini membuat Belanda menarik pasukannya ke Lambaro pada 1883.
Belanda turut membumihanguskan Aneuk Galong saat berpindah ke Lambaro. Mereka juga turut menghancurkan jembatan yang baru dibangun agar tidak bisa dilalui oleh pasukan Teungku Chik di Tiro. Sepeninggal Belanda, Teungku Chik Di Tiro lantas membuat benteng tidak jauh dari Aneuk Galong. Pusat pertahanan pasukan Aceh ini kemudian dinamakan dengan Kuta Bu yang artinya benteng nasi. Penamaan ini tidak terlepas dari peran daerah tersebut yang menjadi sumber logistik bagi pejuang Aceh.
Belanda memperkuat pusat pertahanan di Lambaro dengan meriam berukuran 12 centimeter. Selain itu, sebanyak dua batalyon serdadu Belanda juga disiagakan di daerah ini untuk mengantisipasi serangan pasukan Teungku Chik.
Teungku Chik Di Tiro yang paham benar tentang daerah tersebut kemudian melancarkan serangan ke benteng Lambaro. Namun pasukan-pasukan Aceh yang menyerang dari Lubok tidak mampu merebut Lambaro.
“Berkali-kali diserang dari seberang Krueng Aceh oleh barisan muslimin dari arah Lubuk, tetapi tidak jatuh juga. Maka oleh barisan sabil, dinamakannya benteng Lambaro itu dengan nama Lambaro Kaphee (Kafir),” tulis Ismail Jakub.
loading...
Post a Comment