AMP - Masih ingat dengan pernyataan Gubernur Aceh Zaini Abdullah di acara apel perdana usai Idul Fitri? Terutama tentang kekecewaan beliau. Tentang curhat Beliau atas rendahnya serapan APBA.
Semua itu sedah terjadi lebih sebulan lalu. Saat itu Beliau dengan tegas mengatakan akan melakukan evaluasi atas kinerja anak buah nya. Kekecewaan atas daya serap dan cerita evaluasi kinerja dengan mudah kita baca arahnya. Sebab soal daya serap atau kinerja jelas “luboknya.”
Sebab SKPA mana yang sepanjang sejarah Zikir terus berada di zona merah. Tidak sulit publik menganalisa arah perkataan gubernur. Tidak butuh ilmuan sekaliber Doktor politik untuk menghubungkan perkataan itu dengan kinerja SKPA ke”PU”an yang jeblok terus.
Tapi sampai kini titah Beliau di depan para bawahannya pasca Idul Fitri tidak juga terwujud. Isupun beredar luas. Bahkan kabinet baru gubernur sempat ditulis media ini. Saat ini boleh dikata gubernur sepenuhnya pemilik pemerintah Aceh. Wagub “ka lam barieh”(masuk kotak). Sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan ada hambatan.
Dulunya memang harus ada kesepakatan keduanya atas setiap penggantian pejabat. Sekarang seluruh SKPA sepenuhnya milik gubernur. Maka titah gubernur pasca Idul Fitri lalu jangan sampai seperti beliau meludah ke atas. Akan terpercik kemuka beliau sendiri. Dan itu akan merugikan nama baik beliau. Bila kemudian ucapan atau titah itu tidak terwujud maka patut diduga beliau keceplosan. Beliau keseleo lidah saat itu.
Sebab semua juga tahu siapa di kepala SKPA basah dan kayak siput itu. Tidak lain dan tidak bukan sang anak kesayangan beliau. Buktinya sang kepala adalah manusia paling istimewa. Sebab sepanjang kepemimpinannya. Dinas Pengairan, kemudian dilantik sendirian ke Dinas Bina Marga. Kemudian memimpin kedua dinas paling basah itu. Di Pengairan kemudian diganti oleh “adoe kesayangan” sang Kadis. Sepanjang itu banyak kepala SKPA lain datang dan pergi. Banyak yang terpental.
Tapi sang kadis “kesayangan ini” selamat sampai kini. Jangankan dicopot diturunkan pangkatpun tidak terjadi.
Selama ini sempat beredar banyak yang mengatakan gubernur sudah berketetapan hati untuk “menindak” sang kesayangan. Tapi nyatanya sampai kini belum ada tanda tanda.
Kita juga tidak tahu ada apa dibalik semua ini. Apakah gubernur menyesali perkataannya? Beliau telah menyakiti orang yang amat beliau sayangi. Ataukah beliau kembali merenungi sambil terus salat istikharah. Gunanya untuk memilih yang terbaik bagi Aceh. Sebab bila terus dalam ketidak pastian ini juga tidak baik. Para pejabat akan terus memikirkan nasibnya. Memikirkan antara dicopot atau mencari tumpangan. Fokus kerja menjadi urusan belakangan. Maka bila evaluasi yang pernah dititahkan tidak lagi beliau niatkan untuk dilaksanakan, ada baiknya beliau “legowo” menyampaikan ke publik.
Tentu ini akan membuat suasana nyaman di SKPA kembali nyaman. Sudah jamak terjadi di Aceh ganti kepala SKPA ganti pula bawahannya. Kepala SKPA bak panglima perang atau raja. Sesuka hatinya mengatur nasib bawahan. Aturan kepegawaian tidak berlaku di Aceh.
Lihat saja yang kemarin di Disdik Aceh. Sang Kadis Hasanuddin Darjo membabat habis pejabat di bawahnya. Hanya seorang yang tersisa. Sepertinya ini siklus yang terus dipelihara. Akibatnya peralihan itu merusak kontinuitas program. Menghambat lancarnya serapan anggaran. Perilaku aneh pejabat Aceh ini benar benar sebuah wujud pemerintah buruk. Siapa sangka orang selembut Hasanuddin Darjo juga bisa sekejam atasannya.
Kembali ke soal titah gubernur pasca Idul Fitri. Bahwa apapun ucapan itu harus dengan pembuktian. Atas hasil telaah akhir titah itu tidak dilaksanakan maka sepatutnya publik juga dikabari. Ini bukan untuk siapa siapa. Tapi untuk kebaikan gubernur juga. Agar Beliau dihargai bawahan dan dihormati. Biasalah pemerintah salah dan kemudian memperbaikinya. Gubernur bukan tuhan yang tidak pernah salah. Beliau tetaplah seorang manusia yang sering alpa.
Bila titah itu tidak berwujud dan tidak diralat maka patut di duga beliau lalai,lupa,amemori dan tidak punya sikap. Tentu publik tak sulit melihat siapa yang paling berjasa atas buruknya kinerja pemerintah. Publik tidak bodoh menilai SKPA buruk tapi disayang gubernur. Sehingga sesuka hatinya mengurus uang rakyat. Kenapa mereka berani jawabannya kembali tidak sulit dijawab sendiri oleh rakyat. Makanya dalam kasus buruknya serapan anggaran Aceh tidak mungkin disembunyikan.
Rakyat pasti menghakimi gubernur selaku pemilik otoritas. Jadi tidak akan cukup alasan yang diciptakan. Tidak cukup logika untuk meyakinkan. Dan pasti rakyat akan menvonis Gubernurlah dibalik semua kegagalan ini. Dan satu lagi ternyata kinerja tidak berbanding lurus dengan penilaian gubernur.
Anda boleh berkinerja buruk bila bisa mengambil hatinya. Maka selamatlah. Sebaik apapun kinerja anda akan terpental bila gagal menjinakkan hati beliau. Atau menjinakkan para pengabdi berlabel “penjilat” di sekeliling Beliau. Semoga tulisan ini tidak benar. Amin
loading...
Post a Comment