Halloween Costume ideas 2015
loading...

Perlukah Daerah Otonomi Baru di Aceh Utara?

AMP - Aceh Utara merupakan sebuah kabupaten di Aceh dikenal sebagai penghasil minyak bumi, kondensat dan LNG mulai diproduksi tahun 1977. Hasil tambang yang lahir dalam perut bumi Malikussaleh, sejak  itu telah memberikan kontribusi terbesar terhadap devisa negara berjumlah miliaran dollar. Aceh Utara kala itu masih berada antara Samalanga dengan Pantonlabu (dari Krueng Bate Iliek sampai Krueng Jambo Aye)

Kemudian dengan segala daya dan upaya, Aceh Utara dimekarkan menjadi dua daerah, Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Bireuen. Sementara kabupaten induk Aceh Utara kini berada antara Krueng Tuan di Sawang sampai Krueng Jambo Aye di Pantonlabu. Memiliki luas 3.237 km, 27 kecamatan, 72 mukim, 852 desa, 500 ribu lebih jumlah penduduknya.

Pemekaran tersebut, ditujukan  untuk menciptakan hasil pembangunan yang adil dan lebih merata. Setelah 14 tahun berjalan pemekaran, ternyata masih sangat  banyak meninggalkan berbagai masalah yang dihadapi oleh penduduk dan pemerintah setempat sebagai kabupaten induknya.

Masalah nyata yang dapat dilihat sekarang yaitu tingkat kemiskinan berada di atas 20 persen atau di atas rata-rata provinsi dan nasional, mutu pendidikan, mutu pelayanan kesehatan, mutu irigasi, mutu perkebunan rakyat, mutu perikanan, mutu peternakan semuanya rendah, banyaknya pengangguran, sehingga tingkat pendapatan per kapita ikut rendah, per tahun Rp4,9 juta pada 2011, tanpa hitungan Migas.

Masalah selanjutnya, infrastruktur jalan, jembatan, irigasi belum mememuhi syarat sebagai sistem infrastruktur terbaik. Termasuk jalan usaha tani dan jalan desa. Kemudian transportasi dan jaringan bisnis masyarakat dikuasai oleh agen ekonomi tertentu, sehingga harga barang hasil pertanian di bawah harga pasar.

Sisi lain, terjadinya konflik sosial, konflik politik, dan konflik ekonomi yang telah dimulai sejak tahun 1980-an dan telah melahirkan berbagai konflik lainnya yang berimbas kepada situasi keamanan yang tidak kondusif. Konflik tersebut juga melahirkan degradasi harkat & martabat, kecemburuan sosial dan penurunan nilai-nilai sosial kekerabatan.

Dalam situasi tersebut, maka muncul gerakan-gerakan rakyat yang mudah terhasut untuk menentang ketidakadilan, walaupun akhirnya gerakan tersebut belum memperoleh keberhasilan.

Dari aspek ekonomi, kawasan Aceh Utara dengan ibu kota Lhokseumawe kala itu, yang disebut sebagai kota “petro dollar” dapat dibanggakan kesuksesannya. Tapi itu hanya bom waktu yang bertahan satu dekade saja. Impian tersebut jauh dari harapan dan cita-cita, bahwa Kota Lhokseumawe akan menjadi akan menjadi Kota Singapura kedua. Artinya, adanya produksi minyak dan gas alam, ternyata tidak dapat menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang adil merata dan signifikan.
Dari aspek penyelenggaraan pemerintahan dengan berbagai persoalan dihadapi dan manajemen pemerintahan sangat rentan konflik, munculnya budaya ABS (asal bapak senang), korupsi berjamaah, politik uang, dan pejabat uang. Hal itu telah menimbulkan distorsi manajemen pemerintahan dan layanan pemerintahan apa adanya.

Dari aspek perencanaan, visi dan misi pemerintahan, masterplan kawasan atau daerah tidak dilahirkan dengan secara rasional, objektif, dan dinamis sebagai sebuah visi kawasan atau daerah yang dibanggakan untuk kemakmuran dan keadalian rakyat.

Dari sektor petensi sumber daya alam, sumber daya mineral, dan sumber daya kelautan belum mampu dikelola secara optimal. Sebagai contoh sumber daya alam pariswisata,  kawasan budaya islami, dan potensi kelautan belum tergali sama sekali. Apalagi sumber daya manusia meski memiliki potensi untuk dikembangkan tapi belum melahirkan generasi cinta dirinya, keluarganya, bangsanya, dan negaranya.

Setelah 14 tahun tiga wilayah hasil pemekaran meliputi Aceh Utara, Bireuen dan Kota Lhokseumawe, jumlah dana APBK masing-masing di atas Rp1 triliun setiap tahun, ditetapkan untuk menyelesaikan masalah. Namun, persoalan-persoalan itu belum dapat diselesaikan dalam kehidupan masyarakat sesuai cita-cita pemerintah. 

Dari segi leadership, pemilihan bupati dan walikota adalah hasil demokrasi. Pemimpin di pilih oleh rakyat selama tahun 1970-an sampai sekarang, namun belum mampu menyelasaikan berbagai masalah yang terjadi, dan bahkan muncul masalah baru dalam masyarakat.

Sejak bupati Kolonel Alibasyah, Bupati Ramli Ridwan, Karimuddin Hasyibullah, Tarmizi A Karim, dan Ilyas A Hamid, yang jelas-jelas dipilih oleh rakyat, sepeninggal mereka memimpin masih menyisakan berbagai persoalan yang tidak dapat terselesaikan.

Menelisik berbagai masalah, akankah ketiga daerah tersebut maju dan berkembang dengan gesitnya? Mungkin Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe yang menjadi harapan positif untuk maju dan berkembang, dan menyelesaikan masalahnya, karena jumlah penduduk, dan luas daerahnya ideal, serta terjangkaunya informasi berbagai masalah dihadapi rakyatnya. Sementara Kabupaten Aceh Utara, dengan banyaknya penduduk, gemuknya daerah,  jumlah desa terbanyak secara nasional, dan bergelimangnya masalah, sudah pasti akan tertinggal jauh dengan kedua daerah yang telah lebih dahulu dimekarkan.

Menjawab itu, paling kurang terdapat tiga solusi untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat Kabupaten Aceh Utara. Pertama, meningkatkan APBK dua kali lipat menjadi lebih kurang Rp3,5 triliun rupiah. Kalau solusi ini tidak mungkin, maka kedua, membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) untuk pemekaran Kabupaten  dengan membagi dua luas daerah, dari 27 kecamatan. Ketiga, beberapa kecamatan di Aceh Utara bergabung dengan Pemko Lhokseumawe.
 
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget