AMP - Putroe Neng tentu tak asing bagi
anda masyarakat Aceh khususnya masyarakat Lhokseumawe. Makam Putroe Neng yang
berlokasi di jalan Medan - Banda Aceh
Gampong Blang Pulo Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe dibaluti asap knalpot
kendaraan yang melintasi jalan besar tersebut. Makam bersejarah itu selalu
ramai, ramai kendaraan yang melalu lalang hanya melewati meninggalkan asap
kotor tebal menempel di seluruh batu nisan yang berada di taman makam Putroe Neng namun jarang dikunjungi peziarah.
Taman Makam yang hanya berukuran
20X20 meter tak hanya berisikan makam Putroe Neng, namun juga terdapat 20 makam
lainnya dan seluruh bangunan makam tersebut terancam hancur/rusak termakan
zaman.
Tidak diketahui selain makam
Putroe Neng terdapat makam siapa-siapa saja dan menurut penjaga makam tersebut,
Cut Hasan pria kelahiran 1910 makam lainnya yang terdapat di makam tersebut
diyakini makam para Teungku kyai di Aceh namun tidak diketahui siapa namanya.
Pagar yang menutupi areal makam
Putroe Neng terlihat karatan seakan menyaingi kesan tua daripada makam itu
sendiri. Makam Putroe Neng yang ceritanya melegenda pada bangunan bagian kaki
makamnya patah akibat ditendang serdadu Belanda saat zaman penjajahan dahulu.
Beberapa pengunjung lainnya yang
pernah berkunjung tidak pernah pulang dengan tangan hampa. Hampir setiap
butiran batu yang berada pada pemakaman tersebut dikantongi termasuk walikota
Lhokseumawe Munir Usman bersama istrinya pernah mengambil batu yang berada di
taman makam Putroe Neng untuk dibuatkan batu cincin dan disematkan kejarinya.
Meski banyak cerita mistik soal
pengambilan batu di makam Putroe Neng yang dapat mendatangkan petaka bagi yang mengambil/mencurinya
seperti yang diceritakan oleh penjaga makam itu namun hingga sekarang masih
banyak tangan-tangan jahil mencuri batu-batu makam tersebut sehingga batu-batu
yang usianya telah ribuan tahun hampir tidak ditemukan di makam tersebut dan
jika tidak diantisipasi segera bisa-bisa bangunan bagian kepala dan kaki makam
tersebut ikut hilang digondol maling.
Penjaga makam Putroe Neng, Cut
Hasan di usianya yang sudah menua dan sudah hampir 30 tahun lebih berprofesi
sebagai penjaga makam bersejarah di desa Blang Pulo namun belum ada penghargaan
yang diberikan pemerintah untuknya. Cut Hasan pria kelahiran tahun 1910 itu
malah sering di tipu oleh oknum-oknum pemerintah.
Pernah dia menandatangani dokumen
hingga 100 lembar banyaknya yang disodorkan oknum dari pemerintah yang katanya
untuk keperluan bantuan yang akan diberikan kepadanya dan untuk pembangunan
Taman makam Putroe Neng namun tahun berganti tahun bantuan tak kunjung datang.
Saat ini Ia digaji Rp
50.000/bulannya dan diambil setiap 3 bulan sekali dan sayangnya dia tidak dapat
mengambil 3 bulan sekali gaji kecilnya itu dengan mulus. Gaji secuil rupiah
tersebut disendat oleh pemerintah bahkan setelah setahun menanti Cut Hasan baru
dapat memperoleh uangnya itupun harus dengan menahan malu meminta-minta kepada
pemkot Lhokseumawe.
Kurangnya kesadaran dari
pemerintah untuk memberi upah yang layak terhadap penjaga makam Putroe Neng,
kakek itu meminta kepada setiap pengunjung yang hadir sedikit uang untuknya.
Kadang tanpa diminta pun para peziarah memberikan sedekah untuk kakek Cut Hasan
yang masih setia menghabiskan sisa umurnya merawat taman makam Putroe Neng.
Aceh, ternyata banyak menyimpan
wanita-wanita perkasa. Tidak hanya Syeikh Keumala Hayati yang mampu melawan
merubuhkan 100 prajurit Portugis dalam medan Pertempuran pada tahun 1600-an,
juga ada wanita perkasa lainnya yang kerap menjadi ikon pejuang wanita Indonesia,
Cut Nyak Dien yang dengan segenap jiwa raganya mengorbankan segala yang
dimilikinya agar Indonesia tidak jatuh ke tangan Penjajah, begitupun dengan Cut
Meutia. Melalui mereka Indonesia dapat bertahan, dan Aceh adalah salah satu
daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Penjajah.
Berdasarkan hasil kajian sejarah,
ternyata tidak hanya tiga orang yang telah disebutkan sebagai perempuan perkasa
Aceh yang masa lampu dikenal dengan nama Darod Donya Darussalam. Terdapat
perempuan yang dengan gagah menumbangkan lelaki perkasa, tidak hanya di medan
tempur, tapi juga di Ranjang pengantin. Sebanyak 99 laki-laki yang menjadi
suaminya telah menjadi korban keganasan peremuan ini. Ialah Putroe Neng,
perempuan perkasa ‘pemakan’ kemaluan 99 laki-laki dari suaminya.
Putroe Neng, adalah perempuan
perkasa yang diceritakan oleh Ayi dalam Novelnya yang berjudul sama ‘Putroe
Neng, Tatkala Malam Pertama Menjadi Malam Terakhir Bagi 99 Lelaki’.
Inti novel tersebut berada pada
bab paling awal bercerita tentang kegagahan seorang Panglima Perang, Nian Nio
Liang Khie yang mengubah namanya menjadi Potroe Neng setelah menikah dengan
Sultan Meurah Johan. Walaupun pada akhirnya bertekuk lutut di medan tempur,
namun tidak pernah menyerah di medan ranjang. Meurah Johan bersimbah darah oleh
senjata mematikan yang dimiliki oleh Putroe Neng, Meurah Johan adalah laki-laki
pertama yang merasakan dahsyatnya senjata pamungkas Potroe Neng. Walaupun tidak
pernah bermaksud untuk membunuh suaminya sendiri, namun senjata yang dimiliki
oleh Putroe telah memakan korban pertama, senjata itu adalah racun yang ditanam
dalam kemaluannya sendiri yang dipasang oleh neneknya Khie Nai-nai. Di atas
ranjang malam pertamanya, Sultan Meurah Johan tergeletak dengan tubuh yang
sudah membiru. Sebiru lautan lamuri di siang hari (hal 11).
Meurah Johan sendiri adalah
seorang pangeran yang telah mengalahkan pasukan yang dipimpin oleh Putroe Neng
di medan tempur.
Kekalahan ini mempertemukan
Sultan Meurah Johan dengan Laksamana Nian Nio di pelaminan. Demi menyatukan
kerajaan-kerajaan yang ada di Darud Donya Darussalam, Meurah Johan yang telah
menjadi menantu Raja Indra Saktipun menerima keinginan dari Nian Nio. Namun
malang segera menjemputnya. Meurah Johan menjadi korban pertama keganasan
kemaluan Niaon Nio yang mengandung racun mematikan. Dari sinilah kisah 99
lelaki yang menjadikan malam pertama sebagai malam terkahirnya dimulai. Bukan
keinginan Putroe Neng untuk menjadikan malam pertama menjadi malam terakhir
bagi suami-suaminya, karena hal tersebut sebagai antisipasi dan senjata ampuh
yang ditanam oleh neneknya, Khie Nai-nai, agar Putro tidak menjadi korban
keganasan perang di luar ancaman fisik lainnya. Khie Nai-nai, neneknya telah
memasukan ramuan ke dalam kemaluan Putro saat ia beranjak remaja.
Kesadaran Putroe Neng akan bahaya
racun tersebut tidak menyurutkan para pemuja kecantikan untuk menikahi Putroe.
Mereka terlalu bangga dan selalu mengatakan bahwa nanti akan bermalam bersama
Putro, namun tidak ada yang pernah mengatakan bahwa tadi malam telah bercinta
dengan Putro. Mereka semua tewas di ranjangnya sendiri, termasuk seorang Tabib
yang berniat mengobatinya (hal. 322).
Hanya Syeikh Syiah Hudamlah yang
bisa mengatakan bahwa dia telah bermalam dengan Putro karena hanya dialah yang
mampu mengeluarkan racun mematikan tersebut. Puluhan tahun menjadi guru Putroe
Neng menjadikan Syeikh mengetahui apa sebenarnya yang tertanam dalam kemaluan
Putroe. Syeikh mampu mengeluarkan racun tersebut tanpa disadari oleh Putroe
sendiri. Kekhawatiran murid-murid Syeikh yang menganggap bahwa Syeikh mencari
lubang kematian dengan menikahi Putroe tidak terbukti. Namun tidak sia-sia doa
sepanjang malam yang dipanjatkan oleh murid-murid Syeikh selama malam pertama,
doa tersebut bersambut dengan keahlian syeikh sehingga Putroe tidak kembali
memakan korban. Setelah malam pertama, Syeikh datang ke surau bersama Putro
yang membuat gembira para muridnya (hal. 360).
Membaca Novel ini kita akan
diajak penulisnya berkeliling-keliling ke wilayah kerajaan Aceh masa lampau,
terutama menyampaikan pesan tentang kearifan bangsawan Islam yang tumbuh di
Aceh. Islam bukanlah agama perang, bahkan seorang muslim akan mengulurkan
tangannya kepada nonmuslim jika benar-benar membutuhkannya seperti dilakukan
oleh kerajaan Peureulah dan Syeikh Syiah Hudam. Kearifan Islam inilah
sesungguhnya yang menjadi daya tarik bangsa lain terhadap Islam seperti
ditunjukan oleh kerajaan Indra Purba. Penulis dengan baik berhasil
menggambarkannya. Novel ini pun mengajarkan bahwa sebuah do’a akan terkabul
jika dibarengi dengan ikhtiar fisik sehingga mendapat hasil yang sempurna
seperti dilakukan oleh Murid dan guru (Syeikh Syiah Hudam) saat melewati malam
pertamanya.
Jjika salah-salah membaca, novel
ini akan dianggap sebagai sejarah Aceh pada masa lampau belaka dengan
menjadikan Putroe Neng sebagai pelengkap cerita belaka sebagai salah satu daya
tariknya.(AT/HR)
loading...
Post a Comment