Halloween Costume ideas 2015
loading...

Sejarah Putroe Neng Dan Keberadaan Makamnya

AMP - Putroe Neng tentu tak asing bagi anda masyarakat Aceh khususnya masyarakat Lhokseumawe. Makam Putroe Neng yang berlokasi di jalan Medan  - Banda Aceh Gampong Blang Pulo Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe dibaluti asap knalpot kendaraan yang melintasi jalan besar tersebut. Makam bersejarah itu selalu ramai, ramai kendaraan yang melalu lalang hanya melewati meninggalkan asap kotor tebal menempel di seluruh batu nisan yang berada di taman makam  Putroe Neng namun jarang dikunjungi peziarah.

Taman Makam yang hanya berukuran 20X20 meter tak hanya berisikan makam Putroe Neng, namun juga terdapat 20 makam lainnya dan seluruh bangunan makam tersebut terancam hancur/rusak termakan zaman.

Tidak diketahui selain makam Putroe Neng terdapat makam siapa-siapa saja dan menurut penjaga makam tersebut, Cut Hasan pria kelahiran 1910 makam lainnya yang terdapat di makam tersebut diyakini makam para Teungku kyai di Aceh namun tidak diketahui siapa namanya.

Pagar yang menutupi areal makam Putroe Neng terlihat karatan seakan menyaingi kesan tua daripada makam itu sendiri. Makam Putroe Neng yang ceritanya melegenda pada bangunan bagian kaki makamnya patah akibat ditendang serdadu Belanda saat zaman penjajahan dahulu.

Beberapa pengunjung lainnya yang pernah berkunjung tidak pernah pulang dengan tangan hampa. Hampir setiap butiran batu yang berada pada pemakaman tersebut dikantongi termasuk walikota Lhokseumawe Munir Usman bersama istrinya pernah mengambil batu yang berada di taman makam Putroe Neng untuk dibuatkan batu cincin dan disematkan kejarinya.

Meski banyak cerita mistik soal pengambilan batu di makam Putroe Neng yang dapat mendatangkan petaka bagi yang mengambil/mencurinya seperti yang diceritakan oleh penjaga makam itu namun hingga sekarang masih banyak tangan-tangan jahil mencuri batu-batu makam tersebut sehingga batu-batu yang usianya telah ribuan tahun hampir tidak ditemukan di makam tersebut dan jika tidak diantisipasi segera bisa-bisa bangunan bagian kepala dan kaki makam tersebut ikut hilang digondol maling.

Penjaga makam Putroe Neng, Cut Hasan di usianya yang sudah menua dan sudah hampir 30 tahun lebih berprofesi sebagai penjaga makam bersejarah di desa Blang Pulo namun belum ada penghargaan yang diberikan pemerintah untuknya. Cut Hasan pria kelahiran tahun 1910 itu malah sering di tipu oleh oknum-oknum pemerintah.

Pernah dia menandatangani dokumen hingga 100 lembar banyaknya yang disodorkan oknum dari pemerintah yang katanya untuk keperluan bantuan yang akan diberikan kepadanya dan untuk pembangunan Taman makam Putroe Neng namun tahun berganti tahun bantuan tak kunjung datang.

Saat ini Ia digaji Rp 50.000/bulannya dan diambil setiap 3 bulan sekali dan sayangnya dia tidak dapat mengambil 3 bulan sekali gaji kecilnya itu dengan mulus. Gaji secuil rupiah tersebut disendat oleh pemerintah bahkan setelah setahun menanti Cut Hasan baru dapat memperoleh uangnya itupun harus dengan menahan malu meminta-minta kepada pemkot Lhokseumawe.

Kurangnya kesadaran dari pemerintah untuk memberi upah yang layak terhadap penjaga makam Putroe Neng, kakek itu meminta kepada setiap pengunjung yang hadir sedikit uang untuknya. Kadang tanpa diminta pun para peziarah memberikan sedekah untuk kakek Cut Hasan yang masih setia menghabiskan sisa umurnya merawat taman makam Putroe Neng.
Aceh, ternyata banyak menyimpan wanita-wanita perkasa. Tidak hanya Syeikh Keumala Hayati yang mampu melawan merubuhkan 100 prajurit Portugis dalam medan Pertempuran pada tahun 1600-an, juga ada wanita perkasa lainnya yang kerap menjadi ikon pejuang wanita Indonesia, Cut Nyak Dien yang dengan segenap jiwa raganya mengorbankan segala yang dimilikinya agar Indonesia tidak jatuh ke tangan Penjajah, begitupun dengan Cut Meutia. Melalui mereka Indonesia dapat bertahan, dan Aceh adalah salah satu daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Penjajah.

Berdasarkan hasil kajian sejarah, ternyata tidak hanya tiga orang yang telah disebutkan sebagai perempuan perkasa Aceh yang masa lampu dikenal dengan nama Darod Donya Darussalam. Terdapat perempuan yang dengan gagah menumbangkan lelaki perkasa, tidak hanya di medan tempur, tapi juga di Ranjang pengantin. Sebanyak 99 laki-laki yang menjadi suaminya telah menjadi korban keganasan peremuan ini. Ialah Putroe Neng, perempuan perkasa ‘pemakan’ kemaluan 99 laki-laki dari suaminya.

Putroe Neng, adalah perempuan perkasa yang diceritakan oleh Ayi dalam Novelnya yang berjudul sama ‘Putroe Neng, Tatkala Malam Pertama Menjadi Malam Terakhir Bagi 99 Lelaki’.

Inti novel tersebut berada pada bab paling awal bercerita tentang kegagahan seorang Panglima Perang, Nian Nio Liang Khie yang mengubah namanya menjadi Potroe Neng setelah menikah dengan Sultan Meurah Johan. Walaupun pada akhirnya bertekuk lutut di medan tempur, namun tidak pernah menyerah di medan ranjang. Meurah Johan bersimbah darah oleh senjata mematikan yang dimiliki oleh Putroe Neng, Meurah Johan adalah laki-laki pertama yang merasakan dahsyatnya senjata pamungkas Potroe Neng. Walaupun tidak pernah bermaksud untuk membunuh suaminya sendiri, namun senjata yang dimiliki oleh Putroe telah memakan korban pertama, senjata itu adalah racun yang ditanam dalam kemaluannya sendiri yang dipasang oleh neneknya Khie Nai-nai. Di atas ranjang malam pertamanya, Sultan Meurah Johan tergeletak dengan tubuh yang sudah membiru. Sebiru lautan lamuri di siang hari (hal 11).

Meurah Johan sendiri adalah seorang pangeran yang telah mengalahkan pasukan yang dipimpin oleh Putroe Neng di medan tempur.

Kekalahan ini mempertemukan Sultan Meurah Johan dengan Laksamana Nian Nio di pelaminan. Demi menyatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Darud Donya Darussalam, Meurah Johan yang telah menjadi menantu Raja Indra Saktipun menerima keinginan dari Nian Nio. Namun malang segera menjemputnya. Meurah Johan menjadi korban pertama keganasan kemaluan Niaon Nio yang mengandung racun mematikan. Dari sinilah kisah 99 lelaki yang menjadikan malam pertama sebagai malam terkahirnya dimulai. Bukan keinginan Putroe Neng untuk menjadikan malam pertama menjadi malam terakhir bagi suami-suaminya, karena hal tersebut sebagai antisipasi dan senjata ampuh yang ditanam oleh neneknya, Khie Nai-nai, agar Putro tidak menjadi korban keganasan perang di luar ancaman fisik lainnya. Khie Nai-nai, neneknya telah memasukan ramuan ke dalam kemaluan Putro saat ia beranjak remaja.

Kesadaran Putroe Neng akan bahaya racun tersebut tidak menyurutkan para pemuja kecantikan untuk menikahi Putroe. Mereka terlalu bangga dan selalu mengatakan bahwa nanti akan bermalam bersama Putro, namun tidak ada yang pernah mengatakan bahwa tadi malam telah bercinta dengan Putro. Mereka semua tewas di ranjangnya sendiri, termasuk seorang Tabib yang berniat mengobatinya (hal. 322).

Hanya Syeikh Syiah Hudamlah yang bisa mengatakan bahwa dia telah bermalam dengan Putro karena hanya dialah yang mampu mengeluarkan racun mematikan tersebut. Puluhan tahun menjadi guru Putroe Neng menjadikan Syeikh mengetahui apa sebenarnya yang tertanam dalam kemaluan Putroe. Syeikh mampu mengeluarkan racun tersebut tanpa disadari oleh Putroe sendiri. Kekhawatiran murid-murid Syeikh yang menganggap bahwa Syeikh mencari lubang kematian dengan menikahi Putroe tidak terbukti. Namun tidak sia-sia doa sepanjang malam yang dipanjatkan oleh murid-murid Syeikh selama malam pertama, doa tersebut bersambut dengan keahlian syeikh sehingga Putroe tidak kembali memakan korban. Setelah malam pertama, Syeikh datang ke surau bersama Putro yang membuat gembira para muridnya (hal. 360).

Membaca Novel ini kita akan diajak penulisnya berkeliling-keliling ke wilayah kerajaan Aceh masa lampau, terutama menyampaikan pesan tentang kearifan bangsawan Islam yang tumbuh di Aceh. Islam bukanlah agama perang, bahkan seorang muslim akan mengulurkan tangannya kepada nonmuslim jika benar-benar membutuhkannya seperti dilakukan oleh kerajaan Peureulah dan Syeikh Syiah Hudam. Kearifan Islam inilah sesungguhnya yang menjadi daya tarik bangsa lain terhadap Islam seperti ditunjukan oleh kerajaan Indra Purba. Penulis dengan baik berhasil menggambarkannya. Novel ini pun mengajarkan bahwa sebuah do’a akan terkabul jika dibarengi dengan ikhtiar fisik sehingga mendapat hasil yang sempurna seperti dilakukan oleh Murid dan guru (Syeikh Syiah Hudam) saat melewati malam pertamanya.


Jjika salah-salah membaca, novel ini akan dianggap sebagai sejarah Aceh pada masa lampau belaka dengan menjadikan Putroe Neng sebagai pelengkap cerita belaka sebagai salah satu daya tariknya.(AT/HR)
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget