Halloween Costume ideas 2015
loading...

Perang Aceh, Ayahku Hilang Tak Tau Dimana Kuburnya

Purnama mengintip dari balik awan hitam dikegelapan malam seakan enggan menjadi saksi, cahayanya yang remang menyapu perkampungan yang jauh di pedalaman Aceh Utara. Di iringi desiran angin yang berhembus menembus tulang membawa para arwah hilang dari tanah murka. Darah kental segar mengalir dari lubang-lubang tubuhnya yang ditembus timah panas AK – 47 membasahi lantai warung kopi yang menjadi saksi bisu kejamnya sekumpulan pembunuh bersenjata laras panjang. 
 
Jam didinding warung kopi itu menjelaskan bahwa sekarang sudah pukul sebelas malam. Ketika masyarakat yang menghuni desa itu telah larut dalam tidurnya, hanya tinggal beberapa laki-laki dewasa yang sedang bercengkrama dengan rekan kerjanya sesama petani diperusahaan perkebunan didesa Uram Jalan sembari menyeruput kopi diwarung tersebut. Kopi yang mengepul serta rokok yang disulutnya seakan menjadi tameng untuk menghindari dinginnya malam itu yang kelam. 
 
Dibalik semak-semak belukar sekelebat bayangan hitam merayap mendekati para petani  yang sedang menikmati kopi, beberapa dari mereka tersontak kaget melihat orang asing seperti aparat keamanan memakai sebo dengan AK – 47, beberapa diantaranya menenteng SS – 1 yang diarahkan ke petani tersebut.
 
Keringat dingin mengalir dari tubuh petani itu, bibir yang menggagap, desiran darah naik turun ketakutan akan sesuatu yang buruk akan terjadi. Tubuh kurus dari beberapa petani yang kebanyakan berasal dari Langkat, Sumatera Utara bertambah gemetar ketika orang-orang bersenjata itu meminta kartu pengenal mereka, tanpa menjawab, dengan cepat para petani tersebut mengeluarkan kartu identitas dari dompet yang sudah mulai usang untuk diberikan kepada orang misterius itu.
 
Keheningan malam pecah dengan puluhan suara letusan senjata yang memekik bersamaan dengan petani yang jatuh tersungkur bermandikan darah dikegelapan malam. Suasana hening dan sepi berubah menjadi kepanikan yang luar biasa, masyarakat tidak ada yang berani keluar hingga seorang wanita berteriak histeris meratapi tubuh suaminya yang terbujur kaku diatas lantai warung dengan darah berceceran dimana-mana. Tiga petani tewas mengenaskan diterjang beberapa timah panas yang haus darah, lima petani lainnya mengalami luka yang cukup serius, beberapa peluru masih bersarang ditubuhnya dan harus segera dikeluarkan.
 
Bersama masyarakat lainnya korban tewas maupun yang luka-luka dilarikan segera kerumah sakit terdekat namun berjarak sekitar 30 Km dari perkampungan itu. Sebuah mobil Pick Up milik perusahaan perkebunan disulap menjadi ambulance karena tak mungkin ada ambulance didesa terpencil tersebut. Beberapa polisi berseragam maupun yang tidak berseragam sekitar pukul 12 malam tiba mengamankan lokasi kejadian, beberapa aparat keamanan juga dikerahkan untuk menjaga korban luka-luka dirumah sakit. 
 
Berharap sang ayah kembali kekampung halamannya, memberinya uang jajan sebelum berangkat ke sekolah, namun bukan uang yang dikirimkan melainkan jasad terbujur kaku dengan darah segar yang terus mengalir dari tubuhnya seakan sang darah ikut menangisi jasad tuannya. Tak tau bagaimana caranya sang ibu menjelaskan kepada anak yang ditinggalkan oleh seorang ayah. Aceh yang dianggapnya sebagai daerah serambi mekkah, daerah yang terkenal kental syariat Islamnya ternyata masih haus akan darah. 
 
Seolah-olah darah non Aceh halal di bumi rencong ini. Daerah yang menjadi daerah panutan bagi wilayah lain yang memiliki pengalaman konflik bersenjata karena Aceh berhasil damai dengan NKRI kini pupus sudah harapan itu. Aceh seakan menolak setiap kata “DAMAI”. 4 Desember merupakan hari bersejarah bagi perjuangan GAM, milad GAM jatuh pada hari itu diwarnai dengan penembakan secara brutal ditujukan pada buruh tani PT Setia Agung di desa Uram jalan, kecamatan Geuredong Pasee. Kabupaten aceh utara.
 
Aparat berseragam coklat dengan intelnya terus mencari pelaku penembakan misterius tersebut, belum lagi peristiwa tersebut terungkap, kantor Bupati Aceh Utara mendapat teror, sebuah paket batu bata yang dikemas rapi dengan plastik hitam dilengkapi bendera mujahidin yang biasa dipakai oleh teroris sukses besar membuat para pegawai negeri di kantor pemerintahan Aceh Utara itu berhamburan menjauh dari teror bom, penjinak bom pun dikerahkan dengan perlengkapan yang lengkap untuk menjinakkan batu bata yang tak akan pernah meledak.
 
Meski damai telah dikumandangkan dari Eropa Helsinki 15 Agustus 2005 enam tahun yang lalu, namun kekerasan bersenjata kerap terjadi di Aceh. Dari mulai khatib yang dipukuli, mantan kombatan yang membelot hingga rakyat kecil terutama bukan orang Aceh kerap menemui ajalnya disini dengan timah panas bersarang ditubuhnya.
 
Malam tahun baru pun tiba, puluhan ribu masyarakat Aceh berdo’a ditahun yang baru 2012 ini Aceh diberikan sejahtera, serta aman. Ratusan kembang api diletuskan diudara bumi syariat Islam ini, bersamaan dengan letusan senjata AK – 47 yang kembali menyalak. Belum lagi hilang dari ingatan kita minggu malam pada tanggal 4 Desember 2012 pukul 23.00 WIB tewasnya buruh tani PT Setya Agung ditangan orang tak dikenal. Giliran Banda Aceh dan Bireun diteror, korban yang berjatuhan merupakan pendatang dari Jawa yang mencari nafkah di tanah rencong yang mulai mengganas. 
 
Menjelang akhir tahun 2011 sekitar pukul sebelas malam penembakan kembali terjadi menewaskan seorang penjaga toko boneka di salah satu toko di Ulee Kareng, Banda Aceh, berselang beberapa jam kemudian ditempat yang berbeda di Kota Juang, Bireun dimalam yang sama timah panas menerjang pekerja penggali kabel serat optik milik perusahaan telekomunikasi yang menewaskan tiga orang, sedangkan tujuh pekerja lainnya mengalami luka-luka serius.
 
Malam berikutnya, 1 Januari 2011 suara lantang senjata api laras panjang kembali didengungkan, kali ini giliran kecamatan Langkahan Desa seurkey Blok B, lagi-lagi korban tewas dan luka-luka adalah orang Jawa, kronologis yang sama dengan kejadian tewasnya pekerja buruh tani PT Setya Agung beberapa waktu yang lalu. Beragam opini yang dikeluarkan dari mulut berbusa milik para aktifis kawakan pun mulai bermunculan, ada yang menghujat, ada yang menuding, bahkan Pangdam ikut latah dan mengklaim ini perbuatan segelintir kelompok (tapi tak pernah disebutkan siapa dalangnya), mengutip kata Naga Bonar, “Jawabanmu seperti menyuruhku melihat dimana ketiak ular, Jendral.” Bahkan ada yang memberikan apresiasi kepada Polri dalam menuntaskan tragedi berdarah ini, meskipun belum ada satupun kasus yang dipecahkan.
 
Korban tewas dan luka-luka terus bertambah namun belum satupun yang terungkap. Siapa dalangnya ? benarkah kata-kata aktivis itu ini merupakah ulah Jakarta yang telah mengirimkan intelijennya ke Aceh untuk mengacaukan suasana Aceh yang baru mencicipi udara perdamaian dengan memanfaatkan momentum Pikada, seolah-olah kekacauan yang terjadi selama ini berhubungan erat kaitannya dengan Pilkada bulan Februari nanti atau ini hanya sebuah konspirasi yang diciptakan oleh mereka yang kehilangan pendapatan ketika Aceh damai.
 
Peredaran senjata api yang menjadi pertanyaan, mengapa di Aceh setelah damai masih memiliki senjata api ? Bukankah ketika perdamaian diproklamirkan semua senjata milik kombatan GAM dimusnahkan didepan saksi dari Uni eropa. Namun mengapa sekarang masih banyak terjadi kekerasan dengan menggunakan senjata api, terutama laras panjang. Mengapa tidak terdeteksi oleh pihak kepolisian. Mengapa sangat sukar memeriksa para eks kombatan GAM yang masih menyimpan senjata api, atau barangkali aparat keamananlah yang menjual senjata itu kepada rakyat sipil, meskipun sering kali kita mendengar kapolda mengatakan” itu semua senjata rakitan.” Atau malah ini hanya akal-akalan TNI/Polri yang tergiur dengan jumlah uang jika DOM kembali dipentaskan di daerah bekas istimewa, Aceh.
Kabar baik datang dari kepolisian bagian Sumatera Utara, dalam razianya mereka berhasil menemukan dua senjata jenis FN milik dua orang warga Aceh Timur, dari hasil penyelidikan diketahui senjata itu dibawa dari negeri Jiran, Malaysia melalui pelabuhan ilegal di Belawan. Namun sangat disayangkan polisi belum dapat memastikan apakah mereka berkaitan dengan pencabutan nyawa orang Jawa yang menggantungkan nasibnya di bumi Iskandar Muda.
 
Pilkada belum pun dimulai, namun telah memakan tumbal nyawa-nyawa orang tak berdosa. Apakah arti MoU Helsinki dan UUPA bagi rakyat jelata ? Darah bertebaran dimana-mana, belum lama kita pernah melihat korban kekerasan bersenjata saat pasca DOM, kini kita dapat melihatnya kembali menjelang Pilkada 2012 yang sebelumnya menimbulkan kontroversi dan sempat ditunda berkali-kali akibat adanya salah satu partai lokal yang meminta tunda pilkada.
 
Bukan keinginan masyarakat ditunda atau tidak pilkada tersebut, karena hampir sama sekali tidak berpengaruh terhadap rakyat kecil. Siapa bilang MoU dan UUPA milik rakyat ? Slogan yang sering didengungkan oleh pejabat maupun calon kepala daerah yang haus akan kekuasaan meskipun harus mencicipi darah dari tubuh tak berdosa. Siapapun terpilih Aceh tetap akan seperti ini, Aceh tetap dalam konteks Kekerasan, sampai kapanpun Aceh adalah pusat untuk dijadikan panutan kekerasan. Wilayah manapun jika ingin meniru kekerasan maka Aceh merupakan wilayah yang cocok untuk ditiru. Syariat Islam di Aceh hanya sebuah tirai yang mudah ditiup angin, “tak ada apa-apanya, munafik,” begitulah kata orang diluar sana yang telah mengunjungi daerah serambi mekkah ini.

Penulis Herman
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget