AMP - Syahwat pemekaran Aceh Utara bagian barat dikatakan menguat pasca konsolidasi yang dilakukan dengan sejumlah tokoh. Opsi pembagian wilayah Aceh Utara dilakukan karena beberapa faktor utama, diantaranya letak geografis ibu kota adminitrasi atau pusat pelayanan pemerintah yang terlalu jauh.
Sementara alasan lain lebih kepada ketidak berhasilan atau kinerja buruk pemerintah Aceh dan Bupati Aceh Utara, seperti kemiskinan, pengangguran, mutu pendidikan rendah, hasil pertanian juga demikian dan ketidak adilan kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab negara untuk rakyatnya.
Aceh Utara dititik 5°00′LU 96°45′BT / 5°LU 96,75°BT / 5.00; 96.75, dengan luas wilayah mencapai 3.296,86 km2, jumlah penduduk 529.751 jiwa beribu kota Lhok Sukon, terdiri dari 27 Kecamatan yang didalamnya terdapat 857 Gampong.
Ketua Pemekaran Aceh Utara wilayah barat, Ahadi Arifin, mantan Rektor Unimal mengatakan hasil konsolidasi sudah enam kecamatan menyatakan bergabung. Keenam kecamatan tersebut diantaranya Sawang, Nisam, Nisam Antara, Muara Batu, Banda Baro dan Dewantara.
“mereka menyatakan pemekaran untuk kemakmuran dan keadilan” tulis Guru besar Unimal seperti yang diutarakan dalam rapat yang digelar di Balai Desa kantor Camat Muara Batu pada 20 Agustus 2015, lalu.
Bupati Aceh Utara juga disebut-sebut mendukung upaya pemekaran. Hal tersebut dikatakan hadi dalam status facebooknya, “Bupati Aceh Utara sepakat karena menurut beliau beban dan masalah Aceh Utara makin ruwet dan banyak, belum lagi menghadapi masyarakat miskin, disamping mutu pendidikan rendah, begitu juga hasil pertanian ” tulis Prof Hadi tentang kinerja buruk Bupati Aceh Utara, 23 Agustus 2015, lalu.
Profesor yang tersandung kasus indikasi plagiat tesis kawannya itu menyebutkan membagi kawasan kedalam area yang ideal adalah salah satu strategi untuk mengatasi berbagai fenomena mendasar yang dihadapi masyarakat.
Dalam beberapa pertemuan agenda sosialisasi dan konsolidasi, berbagai partai politik lokal dan nasional turut ambil bagian dalam wacana pemekaran Aceh Utara.
Usai rapat para Mukim bekerja membagikan surat dukungan kosong untuk seluruh Keuchik di Gampong-gampong agar diisi dan ditandatangani oleh seluruh perangkat Pemerintahan Gampong, Ulama, tokoh masyarakat dan cendikiawan lain.
Para Keuchik dan perangkat gampong ketika disodorkan kertas dukungan, lansung ditanda tangani sambil bertanya, untuk apa, dan sedikit bicara tentang apa oentingnya pemekaran bagi mereka dan masyarakat kecil.
“nyoe ka ken, iyue tanda tangan kakeuh tapeulaku laju, mana ada ngak jelas kek gini rapat nggak main suruh-suruh tanda tangan dukungan, padahal ini nggak penting sama sekali memuaskan kepentingan orang” kata perangkat desa di Sawang.
Beberapa kalangan yang memilih diam dan menonton permainan Ahadi Arifin mengatakan pemekaran bukan solusi, melainkan provokasi beragenda kepentingan, memanfaatkan masyarakat awam nan lugu.
“agenda itu, liat saja faktanya, katanya mencari solusi atas permasalahan masyarakat, tapi ada upaya pembagian wilayah, pastinya mengantar orang meraih kekuasaan, ada daerah baru ada bupati baru, banyak kepala dinas baru, banyak anggaran rakyat yang bakal terbuang sia-sia, dan itu artinya bukan solusi melainkan masalah baru nantinya, kalau solusi bukan gitu, kalau prolemnya jauh dengan pusat adminitrasi kan bisa ambil obsi penggabungan ke Lhokseumawe, ini baru solusi real” kata Dr yang tidak mau namanya disebut.
Syarif Hidayat, Peneliti Utama Bidang Otonomi Daerah pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, juga menyebut pemekaran adalah kepentingan, dalam sebuah opini di Kompas berjudul Pemekaran Kepentingan Elite, mengupas tentang mengungkap ”kepentingan implisit” para elite di balik upaya pembentukan daerah otonom baru untuk meminimalisir syahwat politik” para elite (elite massa ataupun penguasa) untuk ”memprovokasi” pemekaran daerah.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby, mengatakan pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten hanya menjadi “mainan” politik elite lokal dan elite pusat.
Oleh karena itu, pemekaran dinilai menjadi bencana bagi publik, tapi berkah bagi elite lokal maupun nasional.
“Berkah juga bagi elite lokal karena ada kesempatan elite tertentu untuk menjadi penguasa baru di wilayah yang dimekarkan,” kata Adjie Alfaraby, seperti yang dilansir suarapembaruan dan beritasatu, Jumat, 29 Mai 2015, lalu.
Menurutnya, kadang juga ada kolaborasi kepentingan politik antara elite lokal di kabupaten/provinsi induk dengan kabupaten/provinsi yang dimekarkan.
Di beberapa kasus, elite lokal di kabupaten/ provinsi induk menjual isu pemekaran di kelompok kecamatan/kabupaten tertentu karena ingin meraih suara maksimal di wilayah itu untuk kepentingan pragmatis Pilkada.
“Atau pemekaran diusulkan atau diperjuangkan karena untuk membagi “kue kekuasaan” di antara elite lokal. Sementara ada juga elite nasional punya kepentingan di antaranya karena ada nilai ekonomis di balik perjuangan pemekaran,” ungkapnya.
Kemudian ada juga kepentingan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam pasca pemekaran yang memungkinkan segelintir elite nasional (kombinasi kepentingan ekonomi dan politik), dan ada juga kepentingan politik pemilu dan pilkada.
Saat ini, dikatakan, alasan pemekaran lebih banyak didasarkan pada luasnya geografis daerah induk, sehingga pelayanan pemerintahan tidak maksimal. Namun demikian, menurutnya, daerah pemekaran saat ini suah cukup dan justru harus dievaluasi bukan ditambah.
Tidak maksimalnya pelayanan pemerintahan bukan karena masalah geografis semata. Tapi memang kinerja kepala daerahnya yang tidak baik. Oleh karena itu, evaluasinya juga harus bersifat komprehensif.
“Jika ada daerah yang minta dimekarkan, maka bisa juga dievaluasi kinerja bupati/gubernurnya tentang bagaimana pelayanan pemerintahannya. Ini hanya satu opsi saja, walaupun tentu msih banyak hal lain yang dipertimbangkan,” jelas Adjie.
Ditegaskan, peningkatan kualitas pelayanan pemerintahan terutama pendidikan dan kesehatan serta peningkatan kesejahteraan misalnya lapangan kerja meningkat, kemiskinan menurun merupakan dasar yang objektif untuk menilai kesuksesan pemekaran.
“Jika tidak lebih baik ya pemekarannya bisa dibilang tidak efektif. Karena sekali lagi persoalan pelayanan pemerintahan adalah faktor penting. Kadang isu pemekaran wilayah juga karena ketidakpuasan terhadap pelayanan pemerintahan daerah. Atau, kinerja kepala daerah yang buruk selain karena kepentingan politik elite lokal itu sendiri,” ucapnya.
Sumber: kompas/beritasatu/acehbaru.com
loading...
Post a Comment