AMP - Tepat pada tanggal 15 Agustus, 10 tahun lalu, Bumi Serambi Makkah memasuki babak baru. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia yang berseteru selama tiga dekade akhirnya sepakat berdamai di Helsinki, Finlandia.
Kesepakatan menjelaskan bahwa Aceh tidak jadi pisah dari Indonesia itu merupakan hikmah tak terkira dari bencana tsunami yang telah merenggut lebih 200 ribu jiwa manusia.
Saat itu, Senin,15 Agustus 2005 menjelang sore, ribuan orang berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Mereka antusias menyaksikan layar monitor yang menayangkan detik-detik peristiwa bersejarah dari Helsinki.
Layar bergambar itu menjelaskan bahwa petinggi kedua pihak tengah membubuhi tandatangan di lembaran kesepakatan bersama (MoU) untuk berdamai. Pihak GAM diwakili oleh Perdana Menterinya yakni Malik Mahmud, sedangkan pemerintah Indonesia diwakilkan oleh Hamid Awaluddin yang menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM kala itu.
Di antara keduanya, hadir serta mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, yang juga pemimpin Crisis Management Initiative (CMI), lembaga yang memediasi perdamaian kedua belah pihak. Selepas membubuhi tandatangan, Malik dan Hamid dipandu Martti langsung berjabat tangan sambil menebar senyum. Mereka dihujani blitz kamera wartawan yang mengabadikan momen penting tersebut.
Sementara di Masjid Raya Baiturrahman, tepuk tangan serta sorakan sorai beriring takbir dan shalawat menggema. Massa larut dalam luapan suka cita. Para Jamaah yang berada di masjid-masjid menggelar sujud syukur serta doa bersama menyambut damai yang telah lama diimpikan.
Atas kesepakatan itu, pihak GAM bersedia turun gunung dan menyerahkan senjata-senjatanya yang kemudian dimusnahkan seiring pemerintah menarik TNI/Polri nonorganik dari tanah Rencong. Gerilyawan GAM serta aktivis-aktivis Aceh yang sempat ditahan di sejumlah Rutan dan Lapas di Aceh, kemudian dibebaskan.
Pemerintah mencabut blokade Aceh terhadap luar negeri, sehingga bala bantuan untuk korban tsunami bebas masuk dari berbagai penjuru bumi. Selain itu, pers yang semula dikekang oleh Pemerintah Indonesia selama konflik, kembali diberi kebebasan untuk melakukan peliputan.
Penandantanganan perdamaian membawa GAM pada kesadaran untuk tidak lagi menuntut merdeka dari Indonesia dan memilih kembali bersatu dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Namun, mereka tetap berjuang melalui jalur politik untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka yakini. Perjuangan politik babak baru itu mereka mulai dengan membuat partai lokal yang tanpa senjata di tangan mereka.
Damai telah mengakhiri konflik yang mendera Aceh selama 30 tahun. Walaupun menyisakan kisah pilu, perang saudara yang telah mengorbankan puluhan ribu nyawa berikut harta benda, serta melumpuhkan sendi-sendi ekonomi warga itu tetap menjadi refleksi yang akan membawa Aceh menuju hari yang lebih cerah dari sebelumnya.
Sedikit mengingat sejarah, konflik GAM dengan RI dimulai setelah Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka (AM) di gunung Halimun, Pidie pada 4 Desember 1976. Namun jika dilihat lebih luas, konflik sudah berlangsung sejak era Kesultanan Aceh melawan Portugis pada abad 16.
Kemudian berlanjut dengan perang melawan Belanda sejak invasi pertama pada 26 Maret 1873. Setelah gagal menaklukkan Aceh dan mengalami kerugian besar, Belanda angkat kaki, Setelah itu, masuklah Jepang dan konflik masih terus berlanjut hingga Indonesia merdeka pada 1945.
Pasca-kemerdekaan, Aceh tak henti bergejolak. Perang cumbok antara ulama pro kemerdekaan Indonesia melawan kaum ulee balang yang setia pada Belanda, berlangsung di Pidie antara 1945-1946. Disusul pemberontakan Darul Islam (DI) yang menuntut agar negara Islam diwujudkan. DI saat itu dipimpin Abu Daud Beureuh, ulama kondang dari Pidie.
Pemberontakan itu merupakan respons terhadap Soekarno karena ingkar kepada rakyat Aceh yang telah mengorbankan nyawa dan hartanya kepada Republik Indonesia. Bersyukur, setelah itu perang DI dengan Pemerintah Indonesia berakhir damai.
Kemudian, Hasan Tiro kembali menggelorakan perang terhadap Indonesia yang menurutnya pemerintah tidak adil terhadap Aceh. Hasan bertekad, Aceh harus merdeka dari republik dan mampu berdiri sendiri sebagai negara berdaulat seperti era Kesultanan Aceh Darussalam.
Demi mewujudkan cita-cita itu, Hasan merekrut anak-anak muda cerdas dari Aceh seperti Husaini Hasan, Zaini Abdullah (dokter lulusan Universitas Sumatera Utara), Mochtar Hasbi (lulusan universitas di Thailand) dan lainnya untuk berjuang bersama. Setelah mendeklarasikan AM, Hasan Tiro pun jadi buruan nomor wahid Pemerintah Indonesia.
Dia terus bergerilya hingga akhirnya mengungsi ke luar negeri dan menetap di Swedia. Awalnya, perjuangan Hasan Tiro digerakkan melalui pemikiran, dan tulisan-tulisan. Setelah itu, barulah perjuangan dengan senjata dilakukan.
Hasan Tiro menyiapkan sayap militer AM Sejak 1986. Ia merekrut sekira 800 pemuda Aceh dalam beberapa tahap. Kemudian, mereka dikirim untuk mengikuti latihan militer di Libya.
Selain militer, Hasan Tiro juga membentuk pemerintahannya dengan mengangkat sejumlah menteri dari kaum intelektual Aceh yang berada di luar negeri. Saat itu, ia gencar berkampanye melawan Indonesia dari luar negeri.
Merasa ternacam, pemerintah orde baru kemudian melakukan operasi militer untuk memburu pengikut Hasan Tiro seiring Status Aceh ditingkatkan menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1989 hingga 1998 lewat operasi bersandi “jaring merah”.
DOM merupakan awal masa kelam konflik Aceh. pembunuhan, penyiksaan, penculikan, pemerkosaan, dan tindakan semena-mena aparat mewarnai hari-hari di bumi serambi mekkah. Ribuan warga tak bersalah, turut jadi korban. Usai Presiden Soeharto lengser, kuburan-kuburan massal korban DOM ditemukan di Aceh. Penemuan itu membuka tabir pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ke muka dunia.
Dari sini, kemarahan rakyat Aceh kian memuncak. Mereka yang pernah ikut latihan militer di Libya memutuskan segera pulang ke kampung halaman dan merekrut pemuda-pemuda lainnya untuk menjadi sayap militer GAM.
GAM makin eksis dan mendapat dukungan dari rakyat. Mereka menguasai kampung-kampung di Aceh. Mahasiswa dan aktivis ikut serta dalam gerakan tanpa senjata melawan kesewenangan pemerintah. Mereka menuntut referendum di Aceh dengan dua opsi yakni bergabung atau merdeka dari Indonesia. Aksi ini digawangi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang dipimpin Muhammad Nazar.
Mereka berhasil mengumpulkan dua juta rakyat Aceh dalam suatu rapat akbar yang diselenggarakan di Masjid Raya Baiturrahman untuk menyuarakan referendum Aceh kepada dunia. Di waktu yang sama, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Presiden mengirim aparat keamanan dalam jumlah besar ke Aceh. Phihak GAM pun melawan dengan senjata.
Perang terjadi di mana-mana. Bumi Sermabi Mekkah yang merindukan perdamaian semakin kelam. Korban jiwa sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Pun demikian dengan warga yang mengungsi. Korban paling banyak tentu dari masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa dan hanya bisa merindukan kedamaian yang tak kunjung datang. Atas tragedi itu, aktivis akhirnya bersuara menentang kekejaman negara dengan menggelar mogok massal, boikot pemilu, dan menggelar berbagai demonstrasi.
Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah menghadiahi Aceh sebagai daerah syariat Islam tahun 2000, untuk meredam perlawanan rakyat Aceh. Namun, hal itu tak menyelesaikan persoalan karena perang masih saja terjadi. Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian memberlakukan Darurat Militer di Aceh sejak 19 Mei 2003 yang kemudian berlanjut ke Darurat Sipil. Tujuannya, untuk menumpas habis GAM yang makin gencar melawan.
Status darurat diberlakukan di Aceh setelah gagalnya perundingan damai antara GAM dan RI di Tokyo, Jepang pada pertengahan Mei 2003. Sebelumnya, kedua pihak sempat bersedia gencatan senjata difasilitasi Henry Dunant Center, lembaga bermarkas di Swiss. Namun, perdamaian hanya berlangsung selama tiga bulan.
Darurat Militer adalah fase terburuk dalam sejarah Aceh sejak era orde baru berkuasa. Saat itu, pers dibungkam, tak diizinkan mewawancarai GAM. Jurnalis terjepit dan diiteror oleh kedua pihak. Lebih dari 10 ribu TNI maupun Polri yang dikirim ke Aceh mendapat perlawanan serius dari GAM. Baku tembak terjadi di mana-mana. Pemerintahan sempat lumpuh di sejumlah daerah. Ekonomi masyarakat terpuruk ke titik nadir.
Suasana mencekam melanda seluruh wilayah Aceh. Nyaris tak ada aktivitas di malam hari. Tak terhitung nyawa melayang, dan orang yang kehilangan suami, anak, istri, orangtua, sanak saudara, sahabat dan lainnya.
Sederet operasi militer itu ternyata tak menyelesaikan masalah. Toh nyatanya, GAM masih tetap ada. Satu-satunya jalan mengakhiri konflik adalah damai. Hal yang sangat diimpi-impikan oleh rakyat Serambi Mekkah kala itu. Tapi kedua pihak belum menurunkan ego masing-masing.
Hingga akhirnya pada Minggu pagi di 26 Desember 2004, gempa 9,2 skala richter disusul tsunami menghumbalang Aceh. Melumat sebagian besar wilayah pesisir serta merenggut lebih 200 ribu nyawa, melebihi korban perang yang dalam tiga dasawarsa terjadi.
Bencana itulah yang akhirnya menurunkan ego GAM dan RI hingga akhirnya bersepakat mengakhiri pertikaian. Damai pun bersemi mengakhiri gejolak sepanjang tiga dasawarsa di bumi Serambi Mekkah.
Berbagai pihak international mulai belajar dari penyelesaian konflik Aceh. Tapi hikmah damai belum sepenuhnya dinikmati rakyat. Karena saat ini, Aceh masih harus berperang, yakni melawan kemiskinan.(okezone.com)
Kesepakatan menjelaskan bahwa Aceh tidak jadi pisah dari Indonesia itu merupakan hikmah tak terkira dari bencana tsunami yang telah merenggut lebih 200 ribu jiwa manusia.
Saat itu, Senin,15 Agustus 2005 menjelang sore, ribuan orang berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Mereka antusias menyaksikan layar monitor yang menayangkan detik-detik peristiwa bersejarah dari Helsinki.
Layar bergambar itu menjelaskan bahwa petinggi kedua pihak tengah membubuhi tandatangan di lembaran kesepakatan bersama (MoU) untuk berdamai. Pihak GAM diwakili oleh Perdana Menterinya yakni Malik Mahmud, sedangkan pemerintah Indonesia diwakilkan oleh Hamid Awaluddin yang menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM kala itu.
Di antara keduanya, hadir serta mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, yang juga pemimpin Crisis Management Initiative (CMI), lembaga yang memediasi perdamaian kedua belah pihak. Selepas membubuhi tandatangan, Malik dan Hamid dipandu Martti langsung berjabat tangan sambil menebar senyum. Mereka dihujani blitz kamera wartawan yang mengabadikan momen penting tersebut.
Sementara di Masjid Raya Baiturrahman, tepuk tangan serta sorakan sorai beriring takbir dan shalawat menggema. Massa larut dalam luapan suka cita. Para Jamaah yang berada di masjid-masjid menggelar sujud syukur serta doa bersama menyambut damai yang telah lama diimpikan.
Atas kesepakatan itu, pihak GAM bersedia turun gunung dan menyerahkan senjata-senjatanya yang kemudian dimusnahkan seiring pemerintah menarik TNI/Polri nonorganik dari tanah Rencong. Gerilyawan GAM serta aktivis-aktivis Aceh yang sempat ditahan di sejumlah Rutan dan Lapas di Aceh, kemudian dibebaskan.
Pemerintah mencabut blokade Aceh terhadap luar negeri, sehingga bala bantuan untuk korban tsunami bebas masuk dari berbagai penjuru bumi. Selain itu, pers yang semula dikekang oleh Pemerintah Indonesia selama konflik, kembali diberi kebebasan untuk melakukan peliputan.
Penandantanganan perdamaian membawa GAM pada kesadaran untuk tidak lagi menuntut merdeka dari Indonesia dan memilih kembali bersatu dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Namun, mereka tetap berjuang melalui jalur politik untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka yakini. Perjuangan politik babak baru itu mereka mulai dengan membuat partai lokal yang tanpa senjata di tangan mereka.
Damai telah mengakhiri konflik yang mendera Aceh selama 30 tahun. Walaupun menyisakan kisah pilu, perang saudara yang telah mengorbankan puluhan ribu nyawa berikut harta benda, serta melumpuhkan sendi-sendi ekonomi warga itu tetap menjadi refleksi yang akan membawa Aceh menuju hari yang lebih cerah dari sebelumnya.
Sedikit mengingat sejarah, konflik GAM dengan RI dimulai setelah Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka (AM) di gunung Halimun, Pidie pada 4 Desember 1976. Namun jika dilihat lebih luas, konflik sudah berlangsung sejak era Kesultanan Aceh melawan Portugis pada abad 16.
Kemudian berlanjut dengan perang melawan Belanda sejak invasi pertama pada 26 Maret 1873. Setelah gagal menaklukkan Aceh dan mengalami kerugian besar, Belanda angkat kaki, Setelah itu, masuklah Jepang dan konflik masih terus berlanjut hingga Indonesia merdeka pada 1945.
Pasca-kemerdekaan, Aceh tak henti bergejolak. Perang cumbok antara ulama pro kemerdekaan Indonesia melawan kaum ulee balang yang setia pada Belanda, berlangsung di Pidie antara 1945-1946. Disusul pemberontakan Darul Islam (DI) yang menuntut agar negara Islam diwujudkan. DI saat itu dipimpin Abu Daud Beureuh, ulama kondang dari Pidie.
Pemberontakan itu merupakan respons terhadap Soekarno karena ingkar kepada rakyat Aceh yang telah mengorbankan nyawa dan hartanya kepada Republik Indonesia. Bersyukur, setelah itu perang DI dengan Pemerintah Indonesia berakhir damai.
Kemudian, Hasan Tiro kembali menggelorakan perang terhadap Indonesia yang menurutnya pemerintah tidak adil terhadap Aceh. Hasan bertekad, Aceh harus merdeka dari republik dan mampu berdiri sendiri sebagai negara berdaulat seperti era Kesultanan Aceh Darussalam.
Demi mewujudkan cita-cita itu, Hasan merekrut anak-anak muda cerdas dari Aceh seperti Husaini Hasan, Zaini Abdullah (dokter lulusan Universitas Sumatera Utara), Mochtar Hasbi (lulusan universitas di Thailand) dan lainnya untuk berjuang bersama. Setelah mendeklarasikan AM, Hasan Tiro pun jadi buruan nomor wahid Pemerintah Indonesia.
Dia terus bergerilya hingga akhirnya mengungsi ke luar negeri dan menetap di Swedia. Awalnya, perjuangan Hasan Tiro digerakkan melalui pemikiran, dan tulisan-tulisan. Setelah itu, barulah perjuangan dengan senjata dilakukan.
Hasan Tiro menyiapkan sayap militer AM Sejak 1986. Ia merekrut sekira 800 pemuda Aceh dalam beberapa tahap. Kemudian, mereka dikirim untuk mengikuti latihan militer di Libya.
Selain militer, Hasan Tiro juga membentuk pemerintahannya dengan mengangkat sejumlah menteri dari kaum intelektual Aceh yang berada di luar negeri. Saat itu, ia gencar berkampanye melawan Indonesia dari luar negeri.
Merasa ternacam, pemerintah orde baru kemudian melakukan operasi militer untuk memburu pengikut Hasan Tiro seiring Status Aceh ditingkatkan menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1989 hingga 1998 lewat operasi bersandi “jaring merah”.
DOM merupakan awal masa kelam konflik Aceh. pembunuhan, penyiksaan, penculikan, pemerkosaan, dan tindakan semena-mena aparat mewarnai hari-hari di bumi serambi mekkah. Ribuan warga tak bersalah, turut jadi korban. Usai Presiden Soeharto lengser, kuburan-kuburan massal korban DOM ditemukan di Aceh. Penemuan itu membuka tabir pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ke muka dunia.
Dari sini, kemarahan rakyat Aceh kian memuncak. Mereka yang pernah ikut latihan militer di Libya memutuskan segera pulang ke kampung halaman dan merekrut pemuda-pemuda lainnya untuk menjadi sayap militer GAM.
GAM makin eksis dan mendapat dukungan dari rakyat. Mereka menguasai kampung-kampung di Aceh. Mahasiswa dan aktivis ikut serta dalam gerakan tanpa senjata melawan kesewenangan pemerintah. Mereka menuntut referendum di Aceh dengan dua opsi yakni bergabung atau merdeka dari Indonesia. Aksi ini digawangi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang dipimpin Muhammad Nazar.
Mereka berhasil mengumpulkan dua juta rakyat Aceh dalam suatu rapat akbar yang diselenggarakan di Masjid Raya Baiturrahman untuk menyuarakan referendum Aceh kepada dunia. Di waktu yang sama, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Presiden mengirim aparat keamanan dalam jumlah besar ke Aceh. Phihak GAM pun melawan dengan senjata.
Perang terjadi di mana-mana. Bumi Sermabi Mekkah yang merindukan perdamaian semakin kelam. Korban jiwa sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Pun demikian dengan warga yang mengungsi. Korban paling banyak tentu dari masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa dan hanya bisa merindukan kedamaian yang tak kunjung datang. Atas tragedi itu, aktivis akhirnya bersuara menentang kekejaman negara dengan menggelar mogok massal, boikot pemilu, dan menggelar berbagai demonstrasi.
Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah menghadiahi Aceh sebagai daerah syariat Islam tahun 2000, untuk meredam perlawanan rakyat Aceh. Namun, hal itu tak menyelesaikan persoalan karena perang masih saja terjadi. Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian memberlakukan Darurat Militer di Aceh sejak 19 Mei 2003 yang kemudian berlanjut ke Darurat Sipil. Tujuannya, untuk menumpas habis GAM yang makin gencar melawan.
Status darurat diberlakukan di Aceh setelah gagalnya perundingan damai antara GAM dan RI di Tokyo, Jepang pada pertengahan Mei 2003. Sebelumnya, kedua pihak sempat bersedia gencatan senjata difasilitasi Henry Dunant Center, lembaga bermarkas di Swiss. Namun, perdamaian hanya berlangsung selama tiga bulan.
Darurat Militer adalah fase terburuk dalam sejarah Aceh sejak era orde baru berkuasa. Saat itu, pers dibungkam, tak diizinkan mewawancarai GAM. Jurnalis terjepit dan diiteror oleh kedua pihak. Lebih dari 10 ribu TNI maupun Polri yang dikirim ke Aceh mendapat perlawanan serius dari GAM. Baku tembak terjadi di mana-mana. Pemerintahan sempat lumpuh di sejumlah daerah. Ekonomi masyarakat terpuruk ke titik nadir.
Suasana mencekam melanda seluruh wilayah Aceh. Nyaris tak ada aktivitas di malam hari. Tak terhitung nyawa melayang, dan orang yang kehilangan suami, anak, istri, orangtua, sanak saudara, sahabat dan lainnya.
Sederet operasi militer itu ternyata tak menyelesaikan masalah. Toh nyatanya, GAM masih tetap ada. Satu-satunya jalan mengakhiri konflik adalah damai. Hal yang sangat diimpi-impikan oleh rakyat Serambi Mekkah kala itu. Tapi kedua pihak belum menurunkan ego masing-masing.
Hingga akhirnya pada Minggu pagi di 26 Desember 2004, gempa 9,2 skala richter disusul tsunami menghumbalang Aceh. Melumat sebagian besar wilayah pesisir serta merenggut lebih 200 ribu nyawa, melebihi korban perang yang dalam tiga dasawarsa terjadi.
Bencana itulah yang akhirnya menurunkan ego GAM dan RI hingga akhirnya bersepakat mengakhiri pertikaian. Damai pun bersemi mengakhiri gejolak sepanjang tiga dasawarsa di bumi Serambi Mekkah.
Berbagai pihak international mulai belajar dari penyelesaian konflik Aceh. Tapi hikmah damai belum sepenuhnya dinikmati rakyat. Karena saat ini, Aceh masih harus berperang, yakni melawan kemiskinan.(okezone.com)
loading...
Post a Comment