PERNYATAAN Ketua Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf kemarin mempertegas bahwa ZIKIR sudah plah kongsi. PA akhirnya mengaku kalah atas kekuatan invisible hand di belakang Doto Zaini. Doto Zaini yang hari ini sebagai Gubernur Aceh adalah Tuha Peuet PA alias dewan pembina partai. Dan ini kisah paling tragis dari koalisi sedarah.
Sepertinya Mualem–nama lain Muzakir Manaf–kehabisan akal dalam upaya menjaga pemerintah ini. Benarkah Gubernur yang salah? Jawabannya bisa benar, bisa tidak. Persoalan campur tangan berbagai pihak berada di balik meruncingnya hubungan kedua pihak.
Sebenarnya upaya-upaya perbaikan harus diusahakan oleh keduanya. Namun bila diteliti lebih dalam, keduanya terlihat saling memelihara provokator. Di sekeliling keduanya ada yang memanas-manasi. Kedua pucuk pimpinan ini juga mengetahui sosok-sosok di sampingnya yang tidak disukai oleh pihak lain. Tapi mereka tetap memelihara orang-orang tersebut. Semakin runcing hubungan keduanya makin melekat mereka.
Para pejabat yang haus kekuasaan melihat hal ini sebagai peluang untuk lebih menjaga kepentingannya di pemerintahan. Siapa yang bisa mengamankan jabatan mereka maka ke situlah para pejabat tersebut berpihak.
Dalam kasus ini rakyat seperti semut yang mati terinjak akibat perkelahian dua gajah. Mulusnya LPJ Gubernur 2014 menjadi bukti ternyata DPRA juga bagian dari “peunyaket”. Mereka dengan mudah menerima pertanggungjawaban itu. Padahal ada banyak hal yang ‘aneh’ dalam penggunaan anggaran 2014.
Komitmen Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) untuk mengakomodir program yang hilang di 2015 juga tidak jelas nasibnya. Padahal yang hilang adalah anggaran usulan dewan. Kenapa juga mereka dengan mudah menyerah? Terutama Fraksi PA selaku pemilik kursi terbanyak.
Ini seharusnya dibaca oleh PA. Persoalan ini meruncing karena APBA 2015 diutak atik oleh TAPA. Hal ini diduga turut melibatkan anggota dewan asal Partai Aceh. Intinya PA harus melakukan evaluasi mendalam dan menyeluruh. Permasalahan ini bukan hanya persoalan sepihak. Tapi juga internal PA harus diluruskan. Agar pesan partai tidak menjadi pepesan kosong.
Dalam hal kekisruhan ini sikap ketua umum sudah benar. Lebih baik menjadi oposan daripada ditinggalkan rakyat. PA harus mereposisi dirinya dalam kekisruhan ini. Bila di pemerintah mereka kehilangan kendali, di legislatif tidak boleh terjadi.
Sepanjang tiga tahun ini APBA gagal membangun kesejahteraan. Ini harus dilihat sebagai kesalahan kedua pihak. Bukan semata-mata pemerintah. Intinya dewan asal PA juga layak disalahkan. Mereka tidak benar-benar bekerja sesuai visi dan misi partai. Mereka menjadi amat pragmatis dalam membahas anggaran. Ini yang dimaksud Mualem sibok ngon peng grik.
Pernyataan Mualem semalam bukan hal yang mengejutkan. Namun yang harus dilihat bahwa upaya mendinginkan keduanya masih perlu dilakukan. Sebuah pemerintah tanpa dukungan politik adalah nonsense. Walaupun pucuk pimpinan PA sudah menentukan sikap, ruang dialog hendaknya tidak ditutup.
Gubernur selaku orang yang dituakan harus melihat hal ini dengan kepala dingin. Jangan malah menarik pedang dengan dada membusung. Kegagalan komunikasi politik saat ini adalah karena kesukaan beliau mendengar bisikan pembusuk. Beliau harus segera membersihkan diri dan pikirannya dari anasir busuk. Beliau harus banyak merenung. Beliau harus banyak mendengar orang baik. Bukan mendengar yang enak di kuping saja.
Para pembusuk di sekeliling kedua pemimpin ini juga harus segera berhenti. Fraksi PA harus segera berdiri tegak menjadi lokomotif untuk menggerakkan gerbong legislatif serta menjadi mitra strategis dan sederajat. Mereka juga harus sadar ada di antara mereka yang sedang mengail di air keruh ini. Dan pasti mereka mengenalnya.
Atas kejadian ini semua pihak harus mengambil sisi positif untuk mereposisi kembali fungsi masing-masing. Bila tidak sejarah akan mencatat bahwa Aceh phak luyak di tangan mereka.
portalsatu.com
portalsatu.com
loading...
Post a Comment