Halloween Costume ideas 2015
loading...

Potret Buram di Balik Sedekade Aceh Damai (2)

AMP - Sudah 10 tahun konflik berakhir. Aceh dapat kewenangan mengatur pemerintahannya sendiri sebagai daerah otonomi khusus (Otsus). Tapi kenyataannya rakyat belum sepenuhnya menikmati kesejahteraan. Aceh hanya berhasil keluar dari belenggu perang, tapi belum mampu mewujudkan sebuah kemajuan dari sisi ekonomi.
Korupsi mulai menanjak seiring melimpahnya aliran dana ke Aceh pasca-konflik. LSM Fitra tahun lalu menempatkan Aceh sebagai provinsi kedua terkorup di Indonesia setelah Sumatera Utara. Selain didera korupsi, pertumbuhan ekonomi Aceh juga minim, mutu pendidikan masih jelek, angka gizi buruk masih tinggi, kesenjangan sosial makin menjadi-jadi, politik belum stabil, berikut kriminalitas bersenjata masih saja terjadi meski reintegrasi sudah pernah dijalankan.
“10 tahun sudah MoU Helsinki berjalan, malah melahirkan problem-problem baru di masyarakat. 10 tahun MoU belum memberikan sama sekali perubahan yang bersifat monumental dan jangka panjang bagi masyarakat,” kata Presiden Mahasiswa UIN Ar Raniry, Said Fuadi Fajar Ramadhan.
Menurutnya, banyaknya kasus korupsi terjadi selepas damai, kemudian kekerasan saat Pilkada, alokasi dana aspirasi wakil rakyat yang tak berdampak bagi kesejahteraan masyarakat, adalah sebuah penjajahan yang dilakukan “orang-orang yang memanfaatkan momentum perdamaian”.
Fasilitator perdamaian Aceh, Juha Christensen menyatakan, Aceh belum berhasil menjalankan proses reintegrasi dengan baik, sehingga memunculkan gejolak seperti kriminalitas bersenjata. Hal ini karena Aceh belum memiliki perencanaan yang jelas terkait reintegrasi.
Sementara mantan Ketua Aceh Monitoring Mission, Pieter Feith menilai, reintegrasi hanya bisa dilakukan dengan pembangunan ekonomi. “Ekonomi hanya bisa dibangun dengan investasi,” ujarnya.
Pemerintah Aceh dalam beberapa tahun terakhir memang gencar menggaet investor, menghabiskan uang begitu banyak untuk ke luar negeri, tapi hasilnya mengecewakan. Menurut Pieter, investor hanya akan masuk ke suatu daerah kalau pemerintahnya bersih dari korupsi, mampu menjaga stabilitas politik serta adanya jaminan keamanan.
Dua periode beruntun Pemerintah Aceh dipegang mantan GAM. Gubernur Aceh sekarang Zaini Abdullah, merupakan Mantan Menteri Luar Negeri GAM. Wakilnya Muzakir Manaf adalah bekas Panglima GAM. Parlemen Aceh juga dikuasai Partai Aceh, partai lokal yang digawangi eks kombatan GAM. Begitu juga kabupaten/kota, mayoritas juga ditangan mereka.
Tapi kenyataannya mereka yang dulu gencar melawan Jakarta karena dinilai tak adil terhadap Aceh, juga belum mampu mewujudkan keadilan secara ekonomi bagi seluruh rakyat Aceh. Padahal kekuasaan sudah ditangan.
Lihatlah catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Selama semester I-2015, pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas tercatat turun 1,92 persen, angka paling rendah dibanding sembilan provinsi lain di Sumatera. Pertumbuhan ekonomi tanpa migas juga melambat yakni hanya 3,20 persen, atau jauh di bawah rata-rata nasional. Sementara masyarakat miskin di Aceh mencapai 881 ribu jiwa, dari lebih 4 juta populasi. Angka pengangguran juga masih cukup tinggi yakni mencapai 191 ribu orang.
Ini tentu ironi mengingat Aceh, sejak 2008 hingga sekarang sudah menikmati Rp42,2 triliun dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Kenapa uang begitu banyak tapi tak mampu membangkitkan perekonomian Aceh?
Menurut Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Prof. Samsul Rizal, Pemerintah Aceh belum memiliki blue print yang jelas dalam menggunakan dana sebanyak itu, sehingga uang yang melimpah itu mengalir begitu saja dan dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu. “Uang begitu banyak tidak tahu dibawa kemana, akibat perencanaan yang tidak fokus,” ujarnya.
Menurutnya, Gubernur Aceh harus mengevaluasi para stafnya serta pejabat eselon di pemerintahannya, yang belum mampu mempresentasikan dengan baik rencana program kerjanya. “Gubernur harus cepat melakukan evaluasi secara professional,” sebutnya.
Samsul meminta pemerintah fokus membangun infrasruktur untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Tantangan ke depan dinilai semakin berat apalagi akan masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Mutu pendidikan Aceh yang berada diperingkat 25 nasional, kata dia, juga perlu diperhatikan serius. “Bukan hanya dengan memperbanyak ruang kelas, tapi mutu SDM harus dipersiapkan.”
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Sulaiman Abda menilai, 10 tahun damai pembangunan Aceh seperti jalan di tempat, karena pemerintah tak fokus arah. Menurutnya Aceh masih terjebak pada proyek-proyek kecil yang tak langsung tersentuh kesejahteraan masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi lamban.
Sulaiman memandang, Aceh perlu sebuah perencanaan yang jelas dalam penggunaan dana begitu banyak, agar pembangunannya jelas. Seperti diketahui Aceh hanya akan mendaatkan kucuran dana otsus hingga 2028.
“Kalau kita gagal meletakkan fondasi pembangunan perekonomian, saat dana otsus itu berakhir maka akan terjadi persoalan social yang sangat parah,” tukas politikus Partai Golkar ini.
Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengakui masih banyak tantangan dihadapi Aceh sekarang. “Terutama sekali persoalan-persoalan menyangkut reintegrasi dan masalah-masalah untuk mengurangi kemiskinan,” ujarnya.
Pemerintahannya, kata Zaini, terus mengatasi berbagai persoalan itu. “Kita harus meningkatkan ekonomi masyarakat, pembangunan rumah-rumah tidak layak huni, perbaikan jalan dan irigasi. Ini semua potensi-potensi yang ada sehingga akan mempercepat pembangunan, sehingga pengurangan kemiskinan akan lebih cepat,” tukasnya.(okezone.com)
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget