KEMARIN kita memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke 70. Artinya 70 tahun sudah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memperoleh kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri usai penjajahan panjang Belanda dan pendudukan Jepang.
Sebagai bagian dari NKRI, Aceh juga turut merayakan HUT RI ke 70 tahun. Namun perayaan kali ini masih terasa hambar. Pasalnya aparat pemerintahan kerap mengimbau warganya untuk mengibarkan bendera jauh-jauh hari memasuki bulan Agustus. Belum lagi imbauan-imbauan itu sering diumumkan melalui corong meunasah atau masjid di setiap gampong yang ada di Aceh. Selain itu, personil TNI dan Polri juga masih bersusah payah patroli untuk mengingatkan warga agar mengibarkan Sang Saka.
Apa penyebabnya? Persoalannya tak lain dan tak bukan adalah kedaulatan hakiki ternyata susah kita (baca: Aceh) raih hingga saat ini. Aceh tidak pernah berhenti bergolak. Perang seakan-akanmendarahgapah di daerah ini. Sejak Belanda menancapkan kukunya di Nusantara, kemudian disusul oleh pendudukan Jepang, konflik Aceh tak pernah redam. Sebut saja kemudian pemberontakan PKI, disusul perang Cumbok, konflik Darul Islam/Tentara Islam Indonesia hingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Deretan konflik ini seakan-akan menjadi ‘maop’ untuk orang-orang Aceh. Begitu pula pemerintah Pusat yang sering menganggap Aceh adalah anak bandel, yang patut diawasi saban hari.
Jika kembali membuka kaleidoskop lama semasa konflik, ribuan pemuda Aceh tidak ‘merdeka’ untuk menyampaikan pendapat, tidak ‘merdeka’ berladang dan bercocok tanam hingga harus meninggalkan kampung halaman agar tak menjadi korban peluru nyasar.
Rasa nasionalisme masyarakat Aceh juga seringkali diragukan oleh pemerintah Pusat. Pernah suatu ketika masyarakat Aceh juga dipaksakan mengantongi Kartu Tanda Penduduk atau KTP khusus dengan background merah putih. Nasionalisme yang terkesan dipaksakan.
Hingga saat ini kecurigaan Pusat terhadap Aceh itu masih terlalu kental. Ada yang beda jika Aceh bersuara. Aceh juga seakan-akan terlarang menggunakan kata ‘merdeka’.
Sebut saja contohnya saat ada organisasi politik Aceh yang menggunakan kata Merdeka paskadamai terjadi. Organisasi tersebut langsung mendapat sorotan yang kemudian dipermasalahkan hingga tingkat kementerian. Padahal di tingkat Pusat juga pernah ada organisasi politik di era Reformasi yang menggunakan kata merdeka, seperti Partai Merdeka, misalnya.
Jika ada teriakan ‘merdeka’ yang dikeluarkan, diteriakkan, disampaikan oleh aktivis nasional maka hal itu diidentikkan sebagai nasionalisme yang hebat. Sementara jika ada aktivis Aceh yang berteriak ‘merdeka’ maka akan dianggap sebagai pemberontak.
Indonesia memang sudah merdeka, tapi Aceh belum. Minimal asumsi ini berkembang hingga perdamaian terjadi di daerah ini. Damai belum membuat masyarakat Aceh memperoleh kemerdekaan yang hakiki. Angka pengangguran dan kemiskinan sangat tinggi menyebabkan daerah ini tertinggal dari daerah lain. Aliran dana yang besar untuk Aceh setiap tahunnya justru belum menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
Di sisi lain, Provinsi Aceh juga masih sangat bergantung dengan Sumatera Utara. Setiap pasokan hasil alam, mulai telur hingga sayur masih ‘diimpor’ dari provinsi jiran. Padahal Aceh memiliki lahan yang luas dengan alam yang subur. Namun setiap hendak dikembangkan kerap berbentur di regulasi.
Ini belum lagi berbicara tentang harga minyak bumi, mulai minyak tanah hingga solar yang lumayan mahal dibandingkan di Pulau Jawa. Padahal, minyak itu juga berasal dari perut Aceh yang kemudian diboyong ke Pusat baru didistribusikan kembali ke daerah ini. Aceh hingga saat ini bisa disebut terbelenggu dan belum merdeka.
Saat Aceh memperjuangkan hak-haknya sebagai daerah merdeka di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Tanoh Rincong malah dicurigai. Ditekan dan kemudian dihalang-halangi dengan sejumlah regulasi. Sebut saja di antaranya pembagian hasil minyak bumi dan gas yang belum sesuai dengan kesepahaman Helsinki.
Padahal kemerdekaan yang hakiki baru bisa diraih jika semua persoalan ini segera dituntaskan. Mungkin pada saat itulah, mayoritas rakyat Aceh akan bersuka cita merayakan hari kemerdekaannya tanpa paksaan. Mengibarkan bendera raksasa serta mencintai negeri ini sepenuhnya.
Aceh pernah memberikan cinta yang begitu besar kepada NKRI. Warga Aceh menyumbang dana agar Presiden Soekarno bisa membeli pesawat. Tokoh Aceh juga pernah menyumbang emas yang kemudian diabadikan dalam Monumen Nasional. Aceh pernah menjadi pusat pemerintahan Indonesia saat agresi militer Belanda ke dua. Melalui Radio Rimba Raya di Aceh pula Indonesia dinyatakan belum takluk sepenuhnya terhadap Belanda pada saat-saat kemerdekaan tempo dulu.
Namun kemudian mengapa daerah istimewa ini kemudian malah diberikan luka?
Sejatinya sebuah negara merdeka adalah negara yang dicintai oleh rakyatnya dengan rasa nasionalisme bukan paksaan. Ini belum terjadi seutuhnya di Aceh. Hari ini, melalui momentum kemerdekaan Indonesia, seharusnya Pemerintah Pusat menunjukkan cintanya kepada Aceh. Ini penting, agar rakyat di daerah ini kembali bisa merasakan kemerdekaan dan mencintai Indonesia seutuhnya. Amin.
loading...
Post a Comment