MUSIM
pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 masih dua tahun lagi, namun
aromanya begitu menyengat nalar dan persepsi kita. Satu hal yang identik
dengan pilkada adalah bertaburnya “janji manis” para politisi yang
dilemparkan ke publik baik secara sadar atau tidak. Rakyat dijejali
dengan impian-impian indah, tanpa sempat mereka mencernanya. Balada “21
Janji Zikir” adalah contoh nyata di depan mata, betapa rakyat tidak
punya ruang untuk berfikir apakah janji-janji itu realistis, termasuk
juga tidak punya ruang untuk bertanya kapan janji-janji itu menjadi
nyata.
Catatan ini adalah bagian dari ikhtiar untuk menghindarkan kita dari amnesia massa terhadap keawaman di masa lalu, dan berulangnya kembali pembodohan publik. Keawaman amat dibenci oleh Allah Swt, karena itulah menuntut ilmu menjadi kewajiban. Namun lebih dari itu, kefasikan --membodohkan orang lain-- lebih dibenci oleh Allah Swt, karena ia tidak hanya merusak dirinya tetapi juga merusak orang lain.
Mengapa berjanji
Catatan ini adalah bagian dari ikhtiar untuk menghindarkan kita dari amnesia massa terhadap keawaman di masa lalu, dan berulangnya kembali pembodohan publik. Keawaman amat dibenci oleh Allah Swt, karena itulah menuntut ilmu menjadi kewajiban. Namun lebih dari itu, kefasikan --membodohkan orang lain-- lebih dibenci oleh Allah Swt, karena ia tidak hanya merusak dirinya tetapi juga merusak orang lain.
Mengapa berjanji
Janji didefenisikan sebagai pernyataan kesediaan untuk berbuat, atau pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan (Kamus Bahasa Indonesia). Janji adalah bagian dari strategi persuasi untuk meningkatkan performa diri dan mengambil hati orang lain. Janji adalah juga kontrak psikologis yang bermuatan keyakinan, harapan, dan kewajiban kedua belah pihak terhadap sesuatu yang menguntungkan mereka di kemudian hari (Rousseau, 1989). Ia juga dimediasi oleh rasa percaya (trust) yang diberikan oleh satu pihak, karena itu ia berdampak pada kewajiban pemenuhan (fulfilment) oleh pihak yang lain.
“Jika saya terpilih nanti, maka rakyat gratis berhaji” demikian si A berkampanye. “Jika saya terpilih nanti, jalan di kampong ini akan terbuat dari emas” adalah contoh janji kampanye yang lain. Lalu, rakyat menitip rasa percaya itu, melalui helai suara yang diberikan di musim pemilihan. Maka bila si A terpilih, dia telah terbebani oleh kewajiban pemenuhan atas apa yang pernah dia lontarkan saat musim pemilihan lalu.
Kontrak psikologis mengandung dimensi perseptual yang berbeda-beda bagi setiap orang. Di sana ada persepsi tentang hak, karena itu ia mengandung harapan dan tuntutan. Setiap pengabaian akan menimbulkan emosi negatif berupa marah, kecewa, sakit hati, minimal mengumpat dalam postingan-postingan di wall (dinding) facebook. Pada titik yang paling ekstrem adalah konflik terbuka dan perlawanan. Bervariasinya respons sangat tergantung pada bervariasinya cara setiap orang dalam memaknai janji itu (Kahneman, 1998). Ingatkah kita bahwa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) 1962-1953 salah satunya dipicu oleh Soekarno yang tidak menepati janjinya?
Akan halnya politik, dunia kepartaian adalah dunia transaksi yang kasat mata. Hal ini mengisyaratkan terjadinya pertukaran antara kontribusi dan konsesi secara seimbang, kewajibandan benefit (hak dan hek) ditransaksikan dan perbarui dari waktu ke waktu (Gouldner, 1960). Pada level partai transaksi ini terjadi antara pejabat/pengurus partai vis a vis konstituen/basis pemilih.
Logikanya sangat linear, semakin pemilih mendapat benefit, maka semakin setia pemilih pada partai tersebut. Tanpa benefit apa pun, maka dengan serta merta akan terjadi penarikan dukungan (Feldman, 1999). Ini merupakan hukum alam, bukan karena rakyat yang sudah pintar mengadili, tetapi bagi pemberi janji pilihannya hanyalah menunaikannya demi marwah dirinya dan partainya.
Dalam Islam janji malah didefenisikan secara lebih tegas. Satu ungkapan yang paling popular dalam Bahasa Arab menyebutkan al-wa’du dain (janji adalah utang). “Sekali berjanji maka anda sudah berutang”. Dalam semantik Arab, kata janji ditulis dengan tiga huruf (wa-'a-da) yang salah satu artinya adalah tempat atau waktu kembali. Dalam Bahasa Aceh kita sebut dengan meuriwang/meugisa. Si penerima janji akan terus kembali ingatannya pada subjek yang dijanjikan hingga janji itu terpenuhi, baru case-nya ditutup. Karena itulah si pemberi janji dituntut untuk kembali mengingat apakah segala yang pernah dijanjikan sudah ditunaikan.
Dari akar kata yang sama, wa-‘a-da, juga berarti ancaman bermaknakan bahwa setiap janji yang dikeluarkan bisa menjadi bumerang untuk diri sendiri bila tidak mampu ia penuhi. Selain kata wa-‘a-da, Alquran juga menggunakan istilah ‘a-qa-da (yang berarti ikatan kontrak atau akad), a-ha-da (yang berarti amanah). Allah menegaskan kewajiban untuk menepati janji (QS. Al-Maidah: 1) karena sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawaban (QS. Al-Isra: 34) di dunia dan akhirat.
Pemimpin dan janji
Sayyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar membagi janji ke dalam tiga bagian yaitu janji kepada Allah, kepada diri sendiri, dan kepada sesama manusia. Maka berhati-hatilah dalam berjanji, karena setiap kata yang keluar tidak hanya mengikat diri dengan Sang Khalik, tapi juga dengan diri sendiri dan orang lain. Mengingkari janji hukumnya haram, sekalipun terhadap orang kafir, lebih-lebih terhadap sesama Muslim.
Satu yang sering kita lupa, hingga kita menjadi permissive-bahwa janji adalah manifestasi dari kepribadian. Kepribadian seseorang bisa terbaca dengan mudah dari setiap janji yang dilontarkannya; amanahkah dia atau munafikkah dia? Nabi Muhammad saw dengan tegas menyatakan bahwa ciri-ciri orang munafik itu ada tiga: Bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia ingkari dan bila dipercaya ia khianat (Shahih Muslim).
Akan halnya Pilkada 2017 nanti, kita tentu ingin menyerahkan “bahtera” Aceh kepada pemimpin yang amanah. Pemimpin yang amanah tidak berdusta, selalu menepati janji dan tidak mengkhianati suara yang kita titipkan dalam masa pemilu. Amanah adalah kondisi psikologis di mana hasrat dipertaruhkan untuk mencapai harapan yang positif melalui transaksi dengan orang lain. Dalam amanah terdapat tiga komponen penting: saling ketergantungan, harapan pada satu pihak, dan potensi kerentanan pada pihak lainnya (Rousseau, 1998). Pesan pentingnya adalah jangan memberi harapan-harapan palsu, hingga membuat orang lain berharap, lalu hubungan silaturahmi pun rusak.
Sebagai khatimah, rakyat akan menghukum pemimpin yang tidak cakap satu kali yaitu dengan tidak memilihnya lagi; tetapi rakyat akan menghukum pemimpin yang tidak cakap dan “pembual” janji dua kali, yaitu dengan tidak memilihnya lagi dan menjadikannya contoh buruk sejarah perjalanan bangsa. Bila pun pada akhirnya rakyat masih senang dipimpin oleh pendusta dan tukang janji, maka ada paradigma lain yang dapat kita jelaskan dalam waktu yang lain.
Selama nafas belum naik hingga ke tenggorokan, masih ada waktu untuk menunaikan pekerjaan-pekerjaan yang tertunda. Selalu ada rahmat Allah Swt, bagi hamba-Nya yang menyadari kesilapan lalu berikhtiar memperbaiki diri. Maka tunaikan apa yang mesti ditunaikan, dan peliharalah lisan dari menambah janji baru atas tumpukan janji-janji lama yang belum terbayar. Wallaahu a‘lamu bis-shawab.
Penulis: Fajran Zain, Analis Politik The Aceh Institute. Email: fjzain@yahoo.com (Dikutip dari Serambinews.com Senin 10 Agustus 2015)
loading...
Post a Comment