PERANG Aceh atau Perang Aceh dengan Belanda, itulah yang selama ini
seringkali kita dengar bukan? Dalam buku-buku sejarah, artikel, opini,
acara seminar, atau apapun yang terkait dengan itu, jika sedang
membicarakan sejarah Aceh, pastilah ada pembicaraan tentang Aceh pada
masa perang dengan Belanda. Kemudian pembicaraan tersebut yang
dikategorikan salah satu dalam babak sejarah Aceh ini disebut sebagai
Perang Aceh.
Penyebutan Perang Aceh sudah menjadi senjata andalan (kata-kata) tersendiri bagi kita. Ketika tanggal salah satu peristiwa dalam sejarah perang itu tiba, entah itu tentang Sultan Alaiddin Mahmud Syah, Panglima Polim, Tengku Chik Ditiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan sebagainya, sebutan Perang Aceh tak pernah lekas dalam ingatan kita. Anggapan tersebut bisa saja benar. Namun, pengecualian tersebesar bagi mereka yang tak paham cerita tentang jalannya perang tersebut, sekalipun perang itu terjadi di Aceh.
Tak bisa dipungkiri lagi bahwa penyebutan tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Berulang kali saya menahan diri dan berpaling agar tidak mendengar dan ikut dalam penyebutan perang Aceh. Tapi akhirnya saya tak tahan juga.
Semenjak kuliah di jurusan Pendidikan Sejarah Unsyiah Banda Aceh, sudah empat tahun yang lalu saya meninggalkan penyebutan 'Perang Aceh'. Semula karena memang tidak paham saya menyebutnya sebagai 'Perang Aceh', namun berkat pengetahun, jarak dan waktu mulai perlahan menghilangkan ingatan tentang penyebutan Perang Aceh. Bahkan saya juga sempat mengkritisi kalangan mahasiswa sejarah tentang sebutan perang Aceh.
Anda tahu, memang begitulah seharusnya (saya lebih senang menyebutnya sebagai Perang Belanda di Aceh atau perang Fisabilillah). Apa yang kita sebut selama ini (perang Aceh) sudah jamak dilakukan oleh masyarakat Aceh dan Indonesia, bahkan dunia. Yang saya heran dan menganggapnya pembodohan adalah masyarakat Aceh yang mengetahui seluk beluk perang tersebut masih menyebut perang Aceh. Perbedaan mendasar antara perang Aceh dengan perang Belanda di Aceh adalah dapat dilihat dari ultimatum perang.
142 tahun silam atau tepatnya 26 Maret 1873 yang lalu, siapa yang menyangka bahwa di Aceh akan terjadi peperangan yang maha dasyat dengan perputaran uang dan memakan korban jiwa yang sedemikian besar ? Tidak pernah ada yang menyangka. Berawal dari nafsu yang tak mampu lagi dibendung, dari situlah kisah perang dimulai. Dan jika ditarik lebih jauh lagi yaitu sebelum angka 1873, terdapat ada banyak alasan mengapa perang itu terjadi.
Melalui surat menyurat, diancamnya hubungan diplomatik serta dicaploknya beberapa daerah di Aceh, akhirnya perang tersebut meletus. Selain perjanjian Traktat London (1824) dan Traktat Sumatera (1871) yang dijadikan acuan sebab akibat terjadinya perang Belanda versus Aceh, beberapa alasan lainnya menyatakan bahwa perang tersebut meletus disebabkan karena, Belanda merasa janggal apabila wilayah Aceh yang letaknya cukup strategis sekaligus merupakan gerbang masuk ke Nusantara tidak dikuasai seluruhnya dan takut di ambil alih oleh pihak asing.
Sebelum pernyataan atau ultimatum perang itu dicetuskan, pihak Belanda terlebih dahulu melakukan surat-menyurat dengan Kerajaan Aceh. Surat-menyurat tersebut termaktub di Kapal Perang Citadel van Antwerpen pada tanggal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30 Maret dan 01-02 April tahun 1873. Kedua belah pihak saling membalas surat-surat tersebut.
Belanda sebagai pihak pertama yang melayangkan dakwaan, kerapkali menggunakan bahasa provokatif yang ditujukan kepada Aceh. Rincinya, kesimpulan dari isi surat tersebut adalah agar Aceh dapat mengakui kedaulatan dan tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, Belanda dengan kekuasaan yang ia punya mengeluarkan ultimatum perang kepada kerajaan Aceh.
Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama pemerintah, menyatakan PERANG kepada Sultan Aceh. Dengan pernyataan ini setiap orang diperingatkan terhadap beradanya mereka di bawah akibat perang dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam perang, demikianlah bunyi pengkalan surat pernyataan perang Belanda kepada Aceh, termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen yang berlabuh di Aceh Besar, pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 yang tertanda Komisaris Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen.
Pernyataan perang yang dilayangkan Belanda pada 26 Maret 1873 disikapi dengan serius oleh Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Alaiddin Mahmd Syah. Setelah menerima laporan terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kapala/Badan Intelijen Negara), Sultan langsung mengadakan musyawarah/rapat akbar bersama seluruh pejabat dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri menghadapi perang Belanda. Artinya, dalam rapat akbar tersebut telah diambil satu keputusan bulat bahwa Aceh akan melakukan perang total jika tetap Belanda menyerang Aceh.
Tidak ada putusan lain yang kita ambil, kecuali menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihad, demikian titah Sultan. Segenap lapisan masyarakat juga diserukan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan dari setiap serangan. Berkatalah Sultan: "Udep merdeka, mate syahid, langet sihet awan peutimang, bumoe reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna."
Sementara itu, pasukan Belanda telah memasuki wilayah Aceh melalui pantai Ceureumen dan Meugat. Pihak Belanda dengan kekuatan penuh telah berada di pantai Ulee Lheue, dengan 3.200 serdadu yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Belanda siap mengeksekusi pernyataan perang yang ditujukan kepada Aceh. Kekuatan Belanda dalam ekspedisi pertama ini terdiri dari berbagai pasukan, seperti Satu Detasemen Cavaleri, Bataliyon Kesatuan Barisan Madura, barisan meriam, barisan Genie, staf tatausaha dan pemandu kesehatan. Mayor Jenderal Kohler, yang dibantu oleh Kolonel C.E van Daalen dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku kepala staf, siap menyerang dan menduduki Kerajaan Aceh. Dalam hal ini, Kerajaan Aceh tidak melakukan penyerang sebagaimana dilakukan pasukan Belanda, kecuali Belanda benar-benar menyerang Aceh secara total.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perang tersebut bukanlah Perang Aceh melainkan Perang Belanda di Aceh, mengingat yang menyatakan perang adalah Belanda, bukan Aceh. Lalu, mengapa sampai saat ini kita masih menyebutnya sebagai Perang Aceh”? Dasar sejarah apakah yang kita pegang sehingga kita berani mengklaim itu sebagai 'Perang Aceh'? Apakah Aceh juga perang menyerang negeri Belanda? dan, apakah Sultan Aceh saat bersamaan juga melayangkan surat pernyataan perang sebagaimana yang didalilkan Belanda?
Sebutan untuk Perang Aceh sama sekali tidak pantas sebagaimana yang dikatakan selama ini. Perang Aceh, sama halnya dengan penyebutan bagi perang Padri, perang Diponerogo, dan sebagainya. Fakta di atas agaknya sudah cukup untuk membuktikan bahwa perang tersebut bukan perang Aceh melainkan perang Belanda. Jadi, sangat naif sekali kalau dikatakan memori Aceh 1873-1942 sebagai Perang Aceh sekalipun perang tersebut terjadi di Aceh.
Ini sangat jelas a-historis! Membalikkan fakta dan sejarah Aceh. Tak lebih dari konspirasi politik sejarah yang sesat dan menyesatkan. Dengan segala hormat, hentikan sebutan yang selama ini kita sebut sebagai Perang Aceh, apalagi menganggap biasa-biasa saja, sepele dan sudah terlanjur. [***] Bersambung
Chaerol Riezal
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Sejarah, angkatan 2011, Darussalam - Banda Aceh; Pengurus Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) Koordinator Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara
Penyebutan Perang Aceh sudah menjadi senjata andalan (kata-kata) tersendiri bagi kita. Ketika tanggal salah satu peristiwa dalam sejarah perang itu tiba, entah itu tentang Sultan Alaiddin Mahmud Syah, Panglima Polim, Tengku Chik Ditiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan sebagainya, sebutan Perang Aceh tak pernah lekas dalam ingatan kita. Anggapan tersebut bisa saja benar. Namun, pengecualian tersebesar bagi mereka yang tak paham cerita tentang jalannya perang tersebut, sekalipun perang itu terjadi di Aceh.
Tak bisa dipungkiri lagi bahwa penyebutan tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Berulang kali saya menahan diri dan berpaling agar tidak mendengar dan ikut dalam penyebutan perang Aceh. Tapi akhirnya saya tak tahan juga.
Semenjak kuliah di jurusan Pendidikan Sejarah Unsyiah Banda Aceh, sudah empat tahun yang lalu saya meninggalkan penyebutan 'Perang Aceh'. Semula karena memang tidak paham saya menyebutnya sebagai 'Perang Aceh', namun berkat pengetahun, jarak dan waktu mulai perlahan menghilangkan ingatan tentang penyebutan Perang Aceh. Bahkan saya juga sempat mengkritisi kalangan mahasiswa sejarah tentang sebutan perang Aceh.
Anda tahu, memang begitulah seharusnya (saya lebih senang menyebutnya sebagai Perang Belanda di Aceh atau perang Fisabilillah). Apa yang kita sebut selama ini (perang Aceh) sudah jamak dilakukan oleh masyarakat Aceh dan Indonesia, bahkan dunia. Yang saya heran dan menganggapnya pembodohan adalah masyarakat Aceh yang mengetahui seluk beluk perang tersebut masih menyebut perang Aceh. Perbedaan mendasar antara perang Aceh dengan perang Belanda di Aceh adalah dapat dilihat dari ultimatum perang.
142 tahun silam atau tepatnya 26 Maret 1873 yang lalu, siapa yang menyangka bahwa di Aceh akan terjadi peperangan yang maha dasyat dengan perputaran uang dan memakan korban jiwa yang sedemikian besar ? Tidak pernah ada yang menyangka. Berawal dari nafsu yang tak mampu lagi dibendung, dari situlah kisah perang dimulai. Dan jika ditarik lebih jauh lagi yaitu sebelum angka 1873, terdapat ada banyak alasan mengapa perang itu terjadi.
Melalui surat menyurat, diancamnya hubungan diplomatik serta dicaploknya beberapa daerah di Aceh, akhirnya perang tersebut meletus. Selain perjanjian Traktat London (1824) dan Traktat Sumatera (1871) yang dijadikan acuan sebab akibat terjadinya perang Belanda versus Aceh, beberapa alasan lainnya menyatakan bahwa perang tersebut meletus disebabkan karena, Belanda merasa janggal apabila wilayah Aceh yang letaknya cukup strategis sekaligus merupakan gerbang masuk ke Nusantara tidak dikuasai seluruhnya dan takut di ambil alih oleh pihak asing.
Sebelum pernyataan atau ultimatum perang itu dicetuskan, pihak Belanda terlebih dahulu melakukan surat-menyurat dengan Kerajaan Aceh. Surat-menyurat tersebut termaktub di Kapal Perang Citadel van Antwerpen pada tanggal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30 Maret dan 01-02 April tahun 1873. Kedua belah pihak saling membalas surat-surat tersebut.
Belanda sebagai pihak pertama yang melayangkan dakwaan, kerapkali menggunakan bahasa provokatif yang ditujukan kepada Aceh. Rincinya, kesimpulan dari isi surat tersebut adalah agar Aceh dapat mengakui kedaulatan dan tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, Belanda dengan kekuasaan yang ia punya mengeluarkan ultimatum perang kepada kerajaan Aceh.
Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama pemerintah, menyatakan PERANG kepada Sultan Aceh. Dengan pernyataan ini setiap orang diperingatkan terhadap beradanya mereka di bawah akibat perang dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam perang, demikianlah bunyi pengkalan surat pernyataan perang Belanda kepada Aceh, termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen yang berlabuh di Aceh Besar, pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 yang tertanda Komisaris Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen.
Pernyataan perang yang dilayangkan Belanda pada 26 Maret 1873 disikapi dengan serius oleh Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Alaiddin Mahmd Syah. Setelah menerima laporan terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kapala/Badan Intelijen Negara), Sultan langsung mengadakan musyawarah/rapat akbar bersama seluruh pejabat dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri menghadapi perang Belanda. Artinya, dalam rapat akbar tersebut telah diambil satu keputusan bulat bahwa Aceh akan melakukan perang total jika tetap Belanda menyerang Aceh.
Tidak ada putusan lain yang kita ambil, kecuali menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihad, demikian titah Sultan. Segenap lapisan masyarakat juga diserukan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan dari setiap serangan. Berkatalah Sultan: "Udep merdeka, mate syahid, langet sihet awan peutimang, bumoe reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna."
Sementara itu, pasukan Belanda telah memasuki wilayah Aceh melalui pantai Ceureumen dan Meugat. Pihak Belanda dengan kekuatan penuh telah berada di pantai Ulee Lheue, dengan 3.200 serdadu yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Belanda siap mengeksekusi pernyataan perang yang ditujukan kepada Aceh. Kekuatan Belanda dalam ekspedisi pertama ini terdiri dari berbagai pasukan, seperti Satu Detasemen Cavaleri, Bataliyon Kesatuan Barisan Madura, barisan meriam, barisan Genie, staf tatausaha dan pemandu kesehatan. Mayor Jenderal Kohler, yang dibantu oleh Kolonel C.E van Daalen dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku kepala staf, siap menyerang dan menduduki Kerajaan Aceh. Dalam hal ini, Kerajaan Aceh tidak melakukan penyerang sebagaimana dilakukan pasukan Belanda, kecuali Belanda benar-benar menyerang Aceh secara total.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perang tersebut bukanlah Perang Aceh melainkan Perang Belanda di Aceh, mengingat yang menyatakan perang adalah Belanda, bukan Aceh. Lalu, mengapa sampai saat ini kita masih menyebutnya sebagai Perang Aceh”? Dasar sejarah apakah yang kita pegang sehingga kita berani mengklaim itu sebagai 'Perang Aceh'? Apakah Aceh juga perang menyerang negeri Belanda? dan, apakah Sultan Aceh saat bersamaan juga melayangkan surat pernyataan perang sebagaimana yang didalilkan Belanda?
Sebutan untuk Perang Aceh sama sekali tidak pantas sebagaimana yang dikatakan selama ini. Perang Aceh, sama halnya dengan penyebutan bagi perang Padri, perang Diponerogo, dan sebagainya. Fakta di atas agaknya sudah cukup untuk membuktikan bahwa perang tersebut bukan perang Aceh melainkan perang Belanda. Jadi, sangat naif sekali kalau dikatakan memori Aceh 1873-1942 sebagai Perang Aceh sekalipun perang tersebut terjadi di Aceh.
Ini sangat jelas a-historis! Membalikkan fakta dan sejarah Aceh. Tak lebih dari konspirasi politik sejarah yang sesat dan menyesatkan. Dengan segala hormat, hentikan sebutan yang selama ini kita sebut sebagai Perang Aceh, apalagi menganggap biasa-biasa saja, sepele dan sudah terlanjur. [***] Bersambung
Chaerol Riezal
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Sejarah, angkatan 2011, Darussalam - Banda Aceh; Pengurus Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) Koordinator Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara
Sumber: rmol.co
loading...
Post a Comment