Hanya dua bulan sebelum pergolakan yang
kemudian disebut sejarah sebagai Darul Islam-pecah pada 21 September
1953, Boyd R. Compton berkunjung ke rumah Daud Beureueh di Beureuneun,
Pidie. Compton, peneliti dari Amerika Serikat itu, bisa menangkap
kegundahan hati si empunya rumah. Compton mencatat sebuah isyarat yang
dilemparkan Beureueh, bekas Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah
Karo. Isyarat itu: pemberontakan bersenjata segera meletus di Aceh. “Kami di Aceh ini punya impian,”
ujar Beureueh seperti dikutip Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi
Liberal. “Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda ketika
Aceh menjadi Negara Islam,” ujar Beureueh.
Beureueh merasa Jakarta menusuknya dari
belakang. Pada masa revolusi, dia adalah barisan “kaum republik” yang
mengganyang kolonial Belanda dari Aceh. Kini, Jakarta pula yang
menyakiti hatinya. Jakarta, misalnya, membubarkan Divisi X TNI di Aceh
yang terkenal heroik itu. Lalu, pada 23 Januari 1951, status provinsi
bagi Aceh dicabut pula oleh kabinet Natsir. Aceh dipaksa lebur dalam
Provinsi Sumatera Utara.
Ketegangan kian memuncak ketika isu
“daftar hitam” dikeluarkan oleh kabinet Sukiman. Di Jawa, daftar itu
dipakai untuk menjerat anggota PKI. Tapi, di Aceh, sejumlah tokoh
mendadak masuk daftar. Mereka ditangkap serta dijebloskan ke bui.
Padahal, mereka ulama yang punya jasa mengusir Belanda. “Kita tak bisa
lagi bekerja dengan pemerintah tukang tipu,” ujar Beureueh.
Kebenciannya kepada Sukarno menyala. Meski
begitu, dia tetap menghadap Sukarno di Jakarta. Tujuannya satu:
mempertegas nasib Aceh. Dia juga menagih janji Sukarno pada awal
kemerdekaan untuk memberikan status otonom bagi Aceh. Jawaban Sukarno
membuatnya patah arang: “Apa boleh buat. Negara baru, tentara baru. Apa
yang terjadi tak bisa dibantah lagi.” Jawaban Sukarno itu dikutip oleh
Mansoer Ismail, sekretaris pribadi Beureueh yang masih hidup dan kini
berusia 103 tahun.
Menurut Mansoer, Beureueh pun memukul gong pemberontakan itu, 21 September 1953, setelah kongres ulama di Titeue, satu kecamatan di Pidie. Di sana dia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia,
mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata
dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI pun balik gagang menjadi
Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah proklamasi itu, mereka
menguasai sebagian besar daerah Pidie, dan bertahan di Garot.
Jakarta tak kalah cepat. Dari Sumatera
Timur (kini masuk wilayah Sumatera Utara), pasukan pemerintah yang
dipimpin Kolonel Simbolon turun ke Garot. Pertempuran pecah. Garot, kota
kecil itu, akhirnya jatuh ke tangan TNI. Sejak itu, Beureueh
menjalankan taktik gerilya. Posisinya makin kuat karena sejumlah tokoh
militer masa revolusi di Aceh, seperti Hasan Ali, Hasan Saleh, Husin
al-Mujahid, Ilyas Leube, segera bergabung. Juga sejumlah pejabat sipil
setingkat bupati bahkan turut serta dalam kabinet Darul Islam itu. Dari
Pidie, pengaruhnya kian luas hingga meliputi seluruh daerah Aceh.
Berkali-kali pula TII menyerang tentara pemerintah. Yang tragis adalah
buntut kontak senjata di perbatasan Aceh Barat dan Aceh Besar.
Saat itu, satu truk TNI yang membawa drum
minyak plus 16 serdadu dihajar peluru pemberontak. Kendaraan berat itu
meledak. Semuanya tewas terbakar. Tentu saja aksi itu membuat TNI marah
besar. Hari itu, 26 Februari 1954, pasukan TNI dari Batalion 142 asal
Sumatera Barat memburu para pemberontak Darul Islam di kawasan Lhok Nga,
Aceh Besar. Mungkin karena sasaran tak ditemukan di Desa Cot Jeumpa,
mereka lalu jadi murka. Sekitar 25 petani tak bersalah di kampung itu
ditembak mati. Dua hari kemudian, pembantaian berlanjut ke desa
tetangga, Pulot. Serdadu TNI rupanya telah gelap mata. Mereka menghajar
64 nelayan di kampung miskin itu sampai tewas. “Termasuk orang tua dan
anak-anak,” ujar Ahmad Chatib Amarullah, yang akrab dipanggil Acha,
wartawan senior Aceh. Acha, kini berusia 73 tahun, masih ingat betul
detail peristiwa itu. Dia mencatat, aksi brutal itu baru disiarkan
sepekan kemudian di harian Peristiwa edisi 3 Maret.
Di koran lokal miliknya itu, Acha memuat
berita tersebut dengan judul Banjir Darah di Tanah Rencong. Berita itu
juga sampai dikutip oleh koran nasional dan asing, semisal Indonesia
Raya dan New York Times. Gara-gara itu pula parlemen sempat guncang.
“Warga Aceh di Jakarta protes keras ke Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo
agar mengirim misi ke Aceh untuk kasus itu,” ujarnya.
Namun, Ali Sastroamijoyo tetap berkeras
bahwa pemberontakan Beureueh memang harus ditumpas. Dia makin yakin
setelah Tangse dan Takengon, dua basis pasukan pemberontak, jatuh ke
tangan pemerintah. Tapi, sampai kabinet Ali jatuh di tahun 1955,
perlawanan di Aceh masih terus berlanjut. Beureueh tak mundur setapak
pun. Gerilya diteruskan, pasukannya itu terus berpindah-pindah tempat.
“Tapi paling sering kami bermarkas di hutan Lueng Putu,” ujar Mansoer.
Di hutan belantara itu, Beureueh hidup di sebuah bilik yang disebutnya “rumah kulit“-karena
seluruh dinding dan lantainya terbuat dari kulit pohon. Memang, tak ada
lagi pertempuran besar. Meski begitu, Aceh kerap disebut daerah sangat
rawan “gangguan keamanan”. Sementara itu, Jakarta dalam percobaan
demokrasi liberal. Pertikaian antar-partai politik begitu panas. Kabinet
sering kali jatuh dan kekuasaan politik pun bongkar-pasang. Dalam
situasi begitu, soal Aceh timbul tenggelam.
Akhirnya Sukarno dan Hatta memang
mengirim kurir khusus pada Juni 1955 untuk berbicara dengan para
pemberontak. Hasilnya nihil. Perubahan terjadi pada 1956, ketika
Komandan Daerah Militer Aceh, Kolonel Sjamaun Gaharu, mencetuskan
konsepsi Prinsipil Bijaksana. Artinya, selain operasi militer, tetap
dijalin kontak dengan pemberontak untuk mencari jalan damai. Kontak itu
tak banyak membuahkan hasil secara politik, kecuali kesepakatan yang
disebut Ikrar Lamteh pada 8 April 1957. Isinya, semacam gencatan senjata
kedua belah pihak. Selain itu, ada kesepakatan antara pemerintah lokal
dan pemberontak untuk mengutamakan kepentingan rakyat dan daerah Aceh di
atas kepentingan kelompok.
Gencatan senjata ini sempat berjalan
sampai 1959. Dan momentum itu pun menjadi titik balik pemberontakan. Di
masa itulah Perdana Menteri Djuanda mengunjungi Aceh. Dia sempat bertemu
dengan Hasan Saleh, Panglima DI/TII. Bersama Hasan Saleh, hadir juga
Hasan Ali, Perdana Menteri Negara Bagian Aceh Negara Islam Indonesia.
Dalam buku Mengapa Aceh Bergolak, Hasan Saleh mengisahkan saat dia
bertemu Djuanda. Dia tetap menuntut kepada Djuanda agar Negara Bagian
Aceh dijadikan saja bagian dari Republik Indonesia. Tuntutan berbau
federalisme itu ditolak oleh Djuanda. Alasannya, Indonesia telah
berbentuk kesatuan. Tak ada tempat buat negara bagian. Meski begitu,
Hasan Saleh setuju mencari jalan keluar secara damai. Rupanya, pandangan
damai itu tak sejalan dengan Beureueh, sang Wali Negara Bagian Aceh.
Dia meminta Hasan Ali membatalkan gencatan senjata dan mulai lagi
serangan gerilya besar-besaran. Saat itu, seperti diakui Hasan Saleh,
pengaruh Beureueh masih cukup kuat. Dia juga dibantu oleh Angkatan
Kepolisian Aceh yang membelot ke DI/TII dengan 300 pucuk senjata. Itu
belum terhitung bantuan dari Kompi Sidikalang pimpinan Ibrahim Saleh.
Didera perang selama dua dasawarsa,
sebagian tokoh pemberontak itu tampaknya telah letih. Hasan Saleh malah
setuju agar pemberontakan Aceh diakhiri saja. Baginya, sebagian tuntutan
DI/TII Aceh toh bisa dipenuhi Pusat. Diam-diam, dia bersepakat dengan
Kepala Staf Angkatan Darat TNI, Jenderal A.H. Nasution, bahwa tak ada
lagi pemberontakan di Aceh. Karena tahu Beureueh pasti tak setuju dengan
jalan damai itu, Nasution berpesan kepada Hasan Saleh. “Kekanglah Daud
Beureueh agar dia tak bergerak lagi,” ucap Nasution seperti dikutip
Hasan Saleh.
Dari situ, Hasan Saleh melakukan manuver
yang kelak dikutuk habis oleh sang Wali. Dia dipecat sebagai panglima.
Sebagai “pengkhianat”, darahnya dinyatakan halal. Dosanya tergolong
gawat: dia membentuk Dewan Revolusi Negara Bagian Aceh-Negara Islam
Indonesia pada 26 Mei 1959. Saat itu, Dewan Revolusi menabalkan Teungku
Husin al-Mujahid jadi wali negara. Sementara itu, Hasan Saleh duduk
sebagai panglima perang. Sebagian besar tokoh penting Darul Islam Aceh
ternyata berpihak ke dewan ini. Yang menyakitkan Beureueh, para pelaku
adalah kawan-kawannya sendiri. Kelompok Dewan Revolusi inilah yang
berunding dengan Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi, yang lantas memutuskan
Aceh sebagai daerah istimewa. Sebagian tentara pemberontak, seperti
yang disepakati dalam perjanjian, bergabung dalam divisi khusus yang
menjadi bagian dari Komando Daerah Militer Aceh.
Surutkah Beureueh? M. Nur El Ibrahimy,
menantu Beureueh, mengatakan apa yang terjadi dengan Dewan Revolusi
bukanlah sebuah kudeta, melainkan sebentuk “split”. Artinya, kelompok
DI/TII terbelah dua: faksi Hasan Saleh dan Daud Beureueh. Buktinya, di
Aceh tetap saja ada pergolakan setelah tahun 1959 itu. Terutama di
sejumlah daerah yang masih setia pada Beureueh, umpamanya Aceh Timur,
Aceh Tengah, Tanah Alas, Aceh Utara, dan Aceh Barat. Sementara itu, di
tengah perseteruan politik, sebagian orang terus mengupayakan damai.
Lagu-lagu damai diciptakan. Isinya
mengajak perang berhenti. Yang sangat kondang dan banyak dinyanyikan
rakyat adalah lagu Aman, ciptaan Ceh Daman Dewantara, seniman
tradisional asal Gayo. Dia dikenal cukup dekat dengan Teungku Ilyas
Leube, tangan kanan Beureueh yang sangat setia. Lagu itu mungkin juga
pucuk dari gunung harapan. Seperti pesan kuat pada liriknya itu: “Dengan
jari sepuluh, saya sampaikan permintaan rakyat/ Kepada Tuan yang sedang
bertikai/ Sirih dan tikar telah kami gelar/ Agar Tuan berdua duduk
bersama”. Begitu arti lirik yang aslinya dalam bahasa Gayo itu. Rupanya,
lagu itu sangat mengena di hati sebagian besar rakyat di pedesaan. “Air
mata sampai tumpah menyanyikan lagu itu,” ujar Daman, yang sekarang
telah berusia 75 tahun.
Gencatan senjata memang berakhir pada
1959, dengan diterimanya proposal daerah istimewa bagi Aceh. Tapi
Beureueh masih tetap berkelana di hutan. Di ujung masa pemberontakannya,
Beureueh bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia, bersama PRRI
dan Permesta. Bersama itu pula sejak 1961 nama Negara Bagian Aceh/NII
diubah menjadi Republik Islam Aceh (RIA). Hasan Ali menjabat perdana
menteri dalam RIA itu. Belakangan, Ali juga turut meninggalkan Beureueh,
dan menganjurkan sang Teungku segera turun gunung. Pemerintahan Aceh
memang belum kuat. Saat itu Sjamaun Gaharu digantikan Kolonel Mohammad
Jasin menjadi Komandan Daerah Militer Aceh. Jasin pula yang mendekati
Daud Beureueh dengan rasa hormat, dan terus-menerus menyerukan agar
pemimpin pemberontak itu mau turun gunung. Sejak 1961, surat menyurat
keduanya terus berlangsung. Bahkan Jasin berani bertemu langsung dengan
Beureueh, untuk berdialog empat mata, di sebuah tempat rahasia.
Pada hari-hari terakhir di hutan,
Beureueh praktis hanya ditemani delapan tokoh, semisal Teungku Ilyas
Leube, Hasballah, Amin Negara, Amin Basyah, dan Baihaqi. Posisi mereka
kian terjepit lantaran semua daerah basis telah diambil alih oleh Hasan
Saleh. Menurut Mansoer, “Pengkhianatan membuat kami tak bisa bergerak
bebas lagi.” Mereka kian sulit melakukan perlawanan. Setahun kemudian,
dengan bujukan Jasin, akhirnya Beureueh luluh. Dia bersedia turun
gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh
Teungku Ilyas Leube.
Tapi, soal turun gunung ini, Mansoer
memberi catatan keras. “Abu Beureueh sebenarnya belum puas karena
perjuangannya belum membuahkan hasil,” ujarnya. Bagi Beureueh, Jakarta
tetap dinilainya sebagai penipu. Soalnya, kesejahteraan rakyat Aceh
belum terwujud, meski telah ada status daerah istimewa. Ekonomi masih
morat-marit, meski banyak sumber daya alam ditemukan pada awal 1970.
Mungkin itu sebabnya Aceh kembali bergolak, empat belas tahun setelah
Beureueh turun gunung.
Panggung itu lalu diisi oleh tokoh yang
pernah menjadi pengikut Beureueh: Hasan Tiro, yang memulai Gerakan Aceh
Merdeka pada Desember 1976. Beureueh memang tak terlibat lagi. Tapi
sejumlah rekannya, semisal Teungku Ilyas Leube, memilih bergabung dengan
kelompok Hasan Tiro, yang ternyata punya fantasi politik sama:
“mengembalikan kegemilangan Aceh zaman Iskandar Muda”. Sampai meninggal
di tahun 1987, Beureueh tak pernah memberi komentar terbuka bagi gerakan
Tiro itu. Mungkin dia setuju, atau kecewa dengan fantasi politik itu.
Sebab, seperti kata Mansoer: “Dalam pidatonya, Hasan Tiro tak pernah
menyebut akan mendirikan negara Islam.”
************
Diplomasi Tanpa Todongan Bedil
Aceh 7 Maret 1961. Sepucuk surat
mahapenting meluncur dari markas penguasa militer tertinggi di Aceh.
Pada bagian luar amplop tertulis alamat yang dituju, yaitu Teungku
Muhammad Daud Beureueh, pemimpin gerakan DI/TII Aceh. Surat yang dikirim
lewat kurir khusus itu diawali dengan kalimat nan indah: “Bahwa
inilah warkatul ikhlas, yang datang dari M. Jasin, Kolonel Infanteri,
Panglima Kodam Iskandar Muda. Dan mudah-mudahan Ayahanda Teungku dan
keluarga dalam keadaan sehat walafiat. Amin ya rabbal alamin.”
Boleh jadi gaya bahasa Jasin
terbilang aneh. Meski seorang panglima militer, Jasin sama sekali tak
mengedepankan tekanan. Dalam surat itu Jasin bahkan menawarkan
keberangkatan ke tanah suci Mekah kepada Teungku Daud Beureueh dan
keluarga. Jasin sengaja memilih jurus sopan itu. Soalnya, Teungku Daud
adalah ulama Aceh yang paling disegani pada zaman itu. Ia tak takut
ancaman dan tekanan. Teungku Daud justru akan “takluk” pada orang-orang
yang bersikap sopan dan rendah hati. Meski tak kenal secara pribadi,
“Saya sengaja menyebut Teungku Daud sebagai ‘ayahanda’,” ujar Jasin.
Bukan hanya itu, sebenarnya. Sejak
beberapa waktu sebelumnya, segera setelah Jenderal A.H. Nasution
menugasinya menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh pada November
1960, Jasin telah menyebarkan selebaran lewat pesawat udara, berisi
permintaan agar tak seorang prajurit pun dari Kodam yang mengeluarkan
atau menembakkan senjata ke arah pasukan DI/TII. “Saya tak ingin
menggunakan peluru untuk menyelesaikan pemberontakan di Aceh,” katanya.
Jasin tak menutup kemungkinan ada prajurit Kodam yang kecewa. Tapi,
“Mereka harus mengikuti komando dan perintah panglima,” ujarnya.
Jasin yakin pada laporan dan analisis
intelijen bahwa masalah DI/TII di Aceh bisa diselesaikan secara damai.
Caranya terbukti efektif. Ribuan pasukan DI/TII Aceh pun turun gunung
dan menyerahkan diri. Beberapa tokoh seperti Sulaiman Gading, R.
Sulaiman, dan Wahab Ibrahim bahkan menghentikan aktivitas pemberontakan.
Jasin mengirimkan surat untuk Teungku Daud Beureueh yang masih memimpin
belasan ribu pasukan di kawasan pegunungan sesudah itu.
Gayung pun bersambut. Teungku Daud segera
membalas surat Jasin. Dalam suratnya, Teungku Daud menyebut Kolonel
Jasin dengan predikat “anakanda”. Tak tanggung-tanggung, pemimpin
pemberontakan DI/TII Aceh itu menulis empat halaman penuh kertas folio.
Isinya seputar alasan pemberontakan di wilayah Aceh, yakni upaya
penegakan “hukum Allah dan Rasul” dan akibat kekecewaan rakyat Aceh
terhadap sikap Jakarta. Teungku Daud kemudian mengirim utusan pribadi,
A.R. Hasjim, untuk menemui Kolonel Jasin di Kutaraja, Banda Aceh.
Pendekatan Jasin tak sia-sia. Setelah melalui beberapa kali
korespondensi, Teungku Daud bersedia bertemu dengan Jasin.
Seperti mendapat durian runtuh, Jasin pun
bergegas. Ia mengajak lima orang ulama dan 20 pasukan pengawal berjalan
menyusuri hutan di selatan Lhok Seumawe. Agar tak mengesankan
permusuhan, Jasin sengaja hanya mengajak sedikit pasukan. Padahal,
Letkol Nya Adam Kamil, Kepala Staf Kodam Iskandar Muda, sempat
menyiapkan 200 pasukan bersenjata lengkap. Tak cuma itu, Jasin juga
memerintahkan pasukannya menggantungkan senjata di bahu. “Moncong
senapan harus mengarah ke tanah sebagai tanda persahabatan,” kata Jasin.
Meski telah mendapat lampu hijau dari
Teungku Daud Beureueh, perjalanan menuju markas DI/TII bukan tanpa
risiko. Selama sekitar empat jam perjalanan di hutan, rombongan Jasin
beberapa kali “dicegat” oleh ratusan pasukan DI/TII. Jasin sempat
terheran-heran dengan persenjataan yang dimiliki pasukan pemberontak
itu. Saat itu pasukan DI/TII setidaknya menenteng empat bazoka. Padahal,
ujar Jasin, “Saat itu TNI belum memiliki bazoka. Kita tidak punya uang
untuk membelinya.” Jasin tiba di sebuah bukit yang dipenuhi pasukan
DI/TII. Teungku Daud Beureueh, yang telah menunggu, langsung turun dari
gubuk panggungnya.
Tanpa banyak bicara, Teungku Daud dan
Jasin berpelukan cukup lama. Mereka terlihat seperti ayah dan anak yang
telah lama berpisah jalan. Ini adalah pertemuan pertama Teungku Daud
dengan pejabat militer setelah delapan tahun mengibarkan pemberontakan
DI/TII di Aceh. Teungku Daud mengajak Jasin naik ke gubuknya. Sambil
minum kopi panas, mereka bicara empat mata selama satu jam. Saat itu
Teungku Daud mengulang alasan pemberontakan seperti yang pernah ditulis
dalam suratnya. Jasin menanggapinya dengan takzim.
Setelah “curhat” selesai, Jasin mengajak
Teungku Daud mengakhiri pemberontakan secara damai. Tawaran ini
membuahkan hasil yang luar biasa. Pada 9 Mei 1962, Teungku Daud beserta
ribuan pasukannya turun gunung. Mereka menghentikan pemberontakan dan
berikrar untuk kembali ke pangkuan RI. Ini adalah akhir dari sembilan
tahun pemberontakan DI/TII Aceh yang diperkirakan merenggut sekitar
seribu nyawa.
Jasin, yang pada zaman Presiden Soeharto
sempat menjabat Sekjen Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik tapi
kemudian mengundurkan diri dan belakangan ikut dalam kelompok Petisi
50, menyatakan tak tahu apakah cara yang ia pakai bisa juga digunakan
untuk mengatasi Gerakan Aceh Merdeka. “Mungkin saja kondisinya berbeda,”
katanya.
Meski berhasil, tak semua orang setuju
dengan gaya pendekatan Jasin kepada Teungku Daud Beureueh. M. Nur El
Ibrahimy, menantu Teungku Daud yang juga menulis buku tentang mertuanya
itu, menyebut tawaran untuk menunaikan ibadah haji sebagai sogokan yang
terlalu dini. “Sebenarnya tawaran seperti itu tidaklah sopan. Teungku
Daud bukanlah orang yang silau dengan fasilitas dan kemewahan,” ujar
Ibrahimy.
Jasin, kini 82 tahun dan menghabiskan
sebagian besar hari-harinya di atas kursi roda setelah stroke
menghantamnya dua tahun lalu, mengakui Teungku Daud adalah tokoh yang
sederhana. Jasin beberapa kali mengunjungi Teungku Daud, sesudah
“penyerahan diri” itu di Kampung Beureunen, Pidie. “Saya melihatnya
bekerja menggali parit bersama rakyat biasa. Setelah bekerja, beliau
mengajak saya dan rakyat makan bersama,” kata Jasin, yang menambahkan
bahwa Teungku Daud pun menampik tawaran jip Willys dan rumah darinya.
*Sumber Majalah Tempo 18 Agustus 2003
loading...
Post a Comment