Bedug sebagai alat komunikasi ibadah | Sumber: Tropenmuseum |
| Oleh Ridwan Hd. |
Beberapa hari sebelum masuk puasa Ramadhan di tahun 1950, Mohmmad Roem menelpon Mohammad Natsir. Tokoh yang populer dari Perjanjian Roem - Royen ini ingin menanyakan waktu mulai berpuasa. Sebagai pengikut Ru�yatul Hilal, Roem biasa mengikuti suara bedug sebagai informasi telah masuk bulan puasa ataupun menanti hari lebaran. Tetapi, sejak tinggal di daerah Merdeka Barat, Jakarta, karena sebagai pejabat negara dan tidak hidup dilingkungan perkampungan lagi, suara bedug jarang terdengar. Teman-teman dilingkungannya juga lebih banyak mengikuti metode hisab.
Natsir menjawab bahwa puasa akan masuk dua hari lagi. Mendengar jawaban itu, lekas Roem mengatakan kepada istirnya, �Kita lusa mulai puasa.�
�Bagaimana kau tahu?� tanya istri Roem yang dijawabnya kalau tahu dari Natsir. �Dari bedug sampai ke Natsir. Sayang tidak dua puluh tahun lebih dulu kau telpon Natsir.� kata istrinya lanjut. �Kenapa komentar kau begitu?� balas Roem.
�Saya tidak perlu lagi bikin ketupat dengan mendadak.� ucap istri Roem yang dikisahkannya di buku Bunga Rampai Sejarah jilid 2.
Sekitar tahun 1930 hingga 1940an, Roem tinggal di wilayah yang ramai dengan suara bedug. Suara bedug memiliki peranan penting dalam informasi waktu-waktu masuknya kegiatan ibadah, seperti masuk waktu sholat, hingga bedug sebagai informasi munculnya hilal ketika masuk Ramadhan atau Syawal.
Bagi penganut Ru�yatul Hilal seperti Roem, malam hari ke 29 Ramadhan adalah hari yang mendebarkan, �apakah esok hari kita sudah berlebaran, atau harus mencukupkan puasa tiga puluh hari.� tulisnya.
Kadang-kadang isyarat bedug itu datangnya terlambat. Susasana sudah tenang, dapur sudah gelap, dan orang-orang sudah akan beristirahat, tiba-tiba suara bedug terdengar kalau besok lebaran. Para ibu tiba-tiba langsung sibuk. Warung yang tadinya sudah tutup, dibuka lagi. Dapur kembali mengepul. Suara takbiran di masjid juga terdengar semalaman. Kalau suara bedug tidak terdengar, maka artinya besok masih berpuasa satu hari lagi.
Berbeda dengan para pengikut Muhammadiyah yang menggunakan hisab, mereka tak perlu bergantung keputusan lebarannya kepada bedug. Maka sering kali adanya perbedaan hari pertama puasa atau lebaran antara pengikut Ru�yatul Hilal yang notabene dari kalangan tradisional, dan pengikut hisab yang kebanyakan orang Muhammadiyah.
"Begitulah penulis di tahun 1950 beralih dari pengikut ru'yat menjadi pengikut hisab, dan penulis tidak merasa murtad." tulis Roem kemudian. Inilah sebab istri Roem sampai berkomentar: "tidak dua puluh tahun lebih dulu kau telpon Natsir."
"Begitulah penulis di tahun 1950 beralih dari pengikut ru'yat menjadi pengikut hisab, dan penulis tidak merasa murtad." tulis Roem kemudian. Inilah sebab istri Roem sampai berkomentar: "tidak dua puluh tahun lebih dulu kau telpon Natsir."
Mengapa Kita Tidak Dapat Bersatu?
Pernah suatu kali sekitar 1930an, Roem berdiskusi dengan kawannyanya dari Muahmmadiyah yang baru saja selesai Sholat Ied Idul Fitri. Roem yang masih berpuasa mengucapkan, �Selamat Hari Raya Idul Fitri�.
�Terimakasih.� balas kawan Roem yang tidak disebutkan namanya dalam tulisannya itu. �Besok saya akan mengucapkan yang sama kepada saudara.�
Roem yang masih berpuasa berkomentar, �Kalau begitu puasa saya haram karena hari ini sudah bulan baru.�
�Tidak begitu,� kata kawannya, �Kalau saya masih berpuasa maka haramlah puasa saya karena saya menganut paham hisab. Bagi saudara larangan itu besok berlaku. Ini haru saudara masih wajib berpuasa.�
�Dengan tafsiran itu ajaran menjadi terang, berhubung dengan adanya kemungkinan perbedaan jatuhnya bulan baru.� kata Roem.
Kawannya itu menanggapi, �Begitulah. Soalnya bukan menentukan bulan baru semata-mata. Berpuasa bulan Ramadhan tidak selamanya 30 hari, sedang agama membolehkan kita menentukan bulan Ramadhan itu, baik secara Ru�yat maupun hisab.�
�Mengapa kita tidak dapat bersatu?� tanya Roem.
�Bersatu yang bagaimana?� kawannya itu lalu menjelaskan panjang, �Yang begini ini tidak terjadi tiap tahun. Sering penetapan dengan 2 cara itu sama hasilnya. Tapi kalau hasilnya berlainan, itu hanya hari yang ke 30. Dan kita sudah bersatu 29 hari lamanya. Pengikut Ru�yat dan hisab bersatu menjalankan ibadah puasa berdasarkan syariat yang sama. Hanya satu hari yang tidak sama, karena apa? Karena Agama Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk memilih diantara dua cara itu. Puasa tidak selamanya 30 hari. Nabi sendiri berpuasa lebih banyak jumlah bulan yang ke 29 hari daripada yang 30 hari. Yang kita berbeda itu pada hari ke 30. Dan berpesta serta sembahyang Id sunnah, sedang berpuasa wajib. Mengapa kita lebih suka melihat adanya perpecahan? Mengapa tidak seperti yang dikatakan Nabi, bahwa perbedaan paham itu rahmat Tuhan.�
�Tidak dapat dipersatukan?�
�Perbedaan paham itu sudah berjalan berabad-abad.�
Masalah perbedaan hari lebaran itu juga, dalam tulisan Roem ini, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan libur lebaran dua hari. Tujuannya, agar ketika terjadi perbedaan hari lebaran, kedua penganut ru�yat dan hisab bisa mendapatkan libur.[]
loading...
Post a Comment