Puasa (shaum,
shiyam) lazimnya dipahami sebagai menahan diri dari makan dan minum dalam
jangka waktu tertentu, sejak terbit fajar hingga masuk waktu salat magrib. Ada
puasa wajib, yaitu puasa sebulan penuh pada bulan ramadan, termasuk juga puasa
wajib adalah puasa karena nazar; dan puasa sunat, yaitu puasa selain ramadan
dan nazar.
Banyak sudah
yang membahas kelebihan ibadah puasa ini bagi kesehatan jasmani dan ruhani.
Dalam kaitanya dengan bulan ramadan, juga sudah banyak yang membahas berbagai
keutamaan, hikmah dan faidah-faidahnya, yang selayaknya diketahui oleh semua
orang yang menjalankan ibadah puasa setiap tahunnya.
Namun kali
ini, penulis tergerak untuk melihat salah satu pesan dari ayat yang menjadi
dalil kewajiban puasa (QS. Al-Baqarah: 183), yaitu kesadaran akan perjalanan
sejarah umat manusia. Ternyata, ibadah puasa bukanlah kewajiban baru dalam
agama Islam, tapi ibadah yang sebelumnya telah diwajibkan kepada umat-umat dan
nabi-nabi terdahulu sepanjang sejarah umat manusia. Jika kita sepakat bahwa
Nabi Adam adalah manusia dan nabi yang pertama di dalam Islam, maka sejarah
Islam adalah sejarah umat manusia itu sendiri.
Keimanan
dalam konteks ayat puasa, sepertinya tidak hanya dibatasi pada kepercayaan
kepada Allah, rasul, malaikat, kitab, hari akhir dan takdir, tapi juga mencakup
kesadaran akan peristiwa masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang yang
masih penuh misteri. Sepertinya, rangkaian puasa dan ibadah dalam bulan ramadan
khususnya, dan pada bulan-bulan yang lain tidak akan ‘mengena’ bila tidak
disertai oleh kesadaran dan pengetahuan akan sejarah. Boleh jadi itu adalah
pengetahuan akan sejarah pensyariatan ibadah secara khusus, maupun terkait
dengan sejarah sosial umat-umat terdahulu yang juga mendapat taklif
untuk menjadi hamba Allah yang muttaqin.
Sebagai
‘kebenaran terakhir’ dari rangkaian syariat agama samawi, ajaran Islam memang
sangat identik dengan ibadah bersejarah. Selain puasa, ada ibadah haji yang
telah dimulai pada masa Nabi Ibrahim AS, ibadah qurban yang telah dimulai pada
masa Nabi Adam AS, demikian pula hanya dengan salat, zakat, dan hukum-hukum
syariat lain yang formulanya bisa berbeda-beda untuk setiap umat para nabi.
Bahkan, dalam
kurun awal syariat Nabi Muhammad SAW setiap ibadah dan hukum memiliki momentum
sejarahnya sendiri. Katakanlah misalnya ibadah salat menjadi suatu kewajiban
pada tahun kedua sebelum hijrah, puasa diwajibkan pada tahun kedua setelah
hijrah, haji dan zakat diwajibkan pada tahun keenam hijrah.
Khusus bulan
ramadan misalnya, juga memiliki momentum bersejarahnya sendiri. Al-Quran
diwahyukan pertama sekali pada bulan ramadan tahun pertama kenabian Muhammad
SAW, dan Perang Badar yang terjadi pada bulan ramadan tahun kedua hijrah.
Lalu
kesadaran sejarah seperti apa yang diperlukan untuk menyempurnakan iman dan
mencapai tujuan akhir ibadah kepada Allah SWT? Apakah pengetahuan sejarah di
atas sudah memadai? Sejujurnya yang bisa penulis tawarkan bukanlah jawaban
pasti, melainkan serpihan-serpihan renungan yang mungkin bermanfaat untuk
kembali kita renungkan di setiap waktu luang.
Benar bahwa
secara material, kita perlu memiliki pengetahuan sejarah masa lalu, baik
sejarah pribadi seperti nasab keluarga, maupun sejarah yang lebih luas seperti
sejarah masyarakat, sejarah bangsa, sejarah agama, sejarah jatuh bangunnya
sebuah peradaban umat manusia. Tanpa pengetahuan akan materi sejarah tersebut,
kita tidak bisa belajar untuk menjadi lebih baik di masa kini, apa lagi di masa
yang akan datang. Namun problemnya adalah, jangankan masa depan, sejarah masa
lalu juga kerap menjadi misteri bagi kita hari ini. Ada keterputusan sejarah
yang menyebabkan kita kesulitan mengidentfikasikan diri sebagai pribadi,
sebagai manusia, sebagai umat Islam. Mungkin itulah sebabnya kenapa kondisi
kita hari ini terpuruk, mundur, terbelakang, karena kita kehilangan ‘sejarah’
itu.
Bahkan Nabi
Muhammad SAW yang diutus dalam jarak ratusan tahun sejak Nabi terakhir, Nabi
Isa As, dibekali Allah dengan pengetahuan akan nabi-nabi terdahulu untuk
dikuatkan hatinya, sehingga mampu menjalankan amanah risalah dengan baik (QS.
Hud: 120). Rasulullah SAW juga ‘diperlihatkan’ oleh Allah ‘masa depan’ umatnya
sehingga beliau lebih termotivasi dalam menjalankan dakwahnya. Mungkin ini
hikmahnya Nabi SAW diutus dari kalangan bangsa Arab yang sengat peduli dengan
sejarah, mereka memiliki tradisi tutur tentang nasab dan peristiwa-peristiwa
masa lalu, di samping kelebihan-kelebihan lain yang merupakan anugrah Allah
kepada mereka sebagai penolong pertama bagi risalah Nabi Muhammad SAW.
Mungkin anda
merasakan bahwa berat sekali kalau kita harus menggali kembali sejarah masa
lalu. Dengan segala kelemahan kita, keterbatasan waktu, kesibukan pekerjaan,
kewajiban ibadah dan muamalah lainnya kita tidak akan mungkin melakukannya, ini
hanya sebuah utopia saja.
Benar,
kelemahan dan kekeurangan adalah salah satu atribut yang melekat dengan
manusia. Justru di situlah kunci masuknya. Sejarah ini, peradaban ini, agama
ini telah dibangun oleh manusia-manusia lemah, namun memiliki kekuatan jiwa dan
ruhani yang luar biasa. Dalam konteks itulah saya melihat kenapa ayat puasa
menggandeng ungkapan iman, puasa, dan sejarah (allazina minmqablikum). Supaya
kita bisa melatih kekuatan jiwa dan ruhani untuk dapat menjadi lebih kuat dari
sekedar manusia pada umumya. Supaya kita bisa membangun sejarah baru yang lebih
gemilang, supaya kita bisa mewariskan sebab-sebab keberuntungan, kesejahteraan,
dan keselamatan dunia akhirat bagi generasi yang akan datang. Bukankah Allah
menjajikan bahwa bumi ini akan diwarisi oleh orang-orang yang shaleh (QS.
Al-Anbiya: 105)?
Muttaqin
berarti adalah orang-orang luar biasa, yakni orang lemah yang menjadi kuat
karena kekuatan ruhaninya, sehingga mampu beramal shaleh, tentu saja
kesahalihan yang luar biasa, bukan kesahalihan yang biasa-biasa saja yang mampu
dilakukan oleh orang kebanyakan. Kenapa mereka bisa? Karena kekuatan ruhani
(takwa) melampaui sarana-sarana lahiriah yang dipahami oleh manusia biasa.
Takwa adalah sebaik-baik bekal yang mampu menyelamatkan ‘orang miskin’ untuk
naik haji (QS. Al-Baqarah:197), yang memperkuat para sahabat dalam perang
badar, yang menjadi ransum bagi pasukan muslim menaklukkan Benteng Konstantinopel.
Dalam konteks
takwa inilah saya bisa memahami ungkapan “doa adalah senjata orang mukmin,”
bukan sekedar panah, peluru meriam dan senjata canggih lainnya yang dapat
diciptkan manusia.
Lalu dari
mana kita akan memulai? Lagi-lagi saya tidak bisa memberikan jawaban yang
pasti. Tapi marilah kita memulainya dengan memintakan ampunan bagi orang-orang
terdahulu, berterimakasih atas jasa-jasa dan peran mereka di segala bidang,
memaklumi kekurangan dan kelemahan mereka. Mari mendoakan anak-anak kita dan
generasi mendatang diberikan kebaikan oleh Allah di dunia dan di akhirat. Dan tentunya
yang paling penting adalah melaksanakan ibadah di bulan ramadan ini dengan
sungguh-sungguh sehingga kita bisa menjadi lebih kuat dalam menjalankan peran
kita sebagai ‘pelaku sejarah’. Wabillahi tufiq walhidayah.
Banda Aceh, 5 Juni 2016
Dikutip: http://abadiaceh.blogspot.co.id
loading...
Post a Comment