Sebuah mural ekspresi kemerdekaan yang di foto tahun 1945 | Fotografer: John Florea, sumber: Time Life |
| Oleh Ridwa Hd. |
Sore hari pada 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, yang meminta kesediannya untuk bicara dengan opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Opsir itu ingin mengemukakan suatu hal yang sangat penting. Hatta mempersilakan datang.
Sore hari pada 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, yang meminta kesediannya untuk bicara dengan opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Opsir itu ingin mengemukakan suatu hal yang sangat penting. Hatta mempersilakan datang.
Opsir sebagai utusan Kaigun menyampaikan aspirasi keberatan dari wakil-wakil umat Protestan dan Katolik di wilayah Indonesia Timur atas kalimat pembukaan Undang-undang Dasar yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Opsir itu menyampaikan jika wakil-wakil itu merasa di diskriminasi. Jika kalimat tersebut ditetapkan juga, mereka memilih berdiri di luar Republik Indonesia.
�Itu bukan suatu diskriminasi,� kata Hatta kepada opsir itu yang diceritakannya di buku Untukmu Negeriku. �Sebab, penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-undang Dasar, Mr. Maramis (beragama Kristen) yang ikut serta dalam panitia sembilan tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menandatanganinya.�
Opsir itu tetap menjelaskan bahwa apa yang disampaikan sudah menjadi pendirian para pemipin kristen dan katolik di daerah kekuasaan Angkatan Laut Jepang wilayah Indonesia Timur. Ancaman disintegrasi rupanya menakuti Hatta. Selama ini ia sudah berjuang mati-matian untuk bisa membuat negeri ini bersatu. Lalu Hatta meminta kepada opsir agar bersabar dan akan menyampaikan usulan itu kepada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI) keesokan harinya.
Usul opsir itu disampaikan oleh Hatta pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945. Keributan pun terjadi. Kelompok Islam tidak terima dikarenakan Dasar Negara Pancasila sudah disepakati bersama pada 22 Juni 1945. �Memang pintar pihak minoritas non-Muslim itu. Pintar untuk memanfaatkan kesempatan moment psychologis.� komentar Kasman mengenai kejadian ini di buku Hidup itu Berjuang Kasman Singodemidjo 75 Tahun.
Mohammad Hatta mengusulkan formulasi baru pada sila pertama menjadi �Ketuhanan yang Maha Esa�. Ia menafsirkan kata Tuhan sebagai Allah, Tuhannya umat Islam. Demi menjaga persatuan untuk menghadapi penjajahan kembali, beberapa tokoh golongan Islam mengambil sikap mengalah dan menyetujui rancangan baru tersebut. Tidak dengan Ki Bagus Hadikusomo yang tetap ngotot mempertahankan Piagam Jakarta.
Kasman yang ikut sebagai anggota tambahan sidang PPKI, sebenarnya ingin tetap mempertahankan hasil kesepakatan Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Karena baginya Piagam Jakarta adalah wajar dan sangat logis bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Situasi yang genting dan waktu yang berjalan begitu cepat, ia memutuskan ikut mengalah untuk sementara.
Para tokoh Islam juga berupaya meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo tetapi tidak berhasil. Soekarno akhinya meminta batuan Kasman. Selain sesama orang Muhammadiyah, Kasman memang cukup dekat dengan Ki Bagus Hadikusumo. Dengan berpegang pada janji Soekarno akan dibahas kembali persoalan dasar negara 6 bulan kemudian di sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Kasman memutuskan ikut membantu meyakinkan Ketua Muhammadiyah itu agar bisa melihat kenyataan bahwa kondisi saat itu sedang darurat.
�Kiyai, tidakkah bijaksana, jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka ....� begitu usaha lobi Kasman. Ki Bagus Hadikusumo pun luluh.
Setelah berkompromi secara bulat dan sikap toleransi para tokoh Islam, disepakati hasil rumusan Pancasila pada kesepaktan Piagam Jakarta di pasal 1 berubah dari �Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya� menjadi �Ketuhanan Yang Maha Esa�. Butir Pancasila hasil kesepakatan dari Panitia Sembilan dan sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 itu yang dipakai hingga sekarang.
Sejak Soekarno memperkenalkan lima sila yang diberi nama Panca Sila pada 1 Juni 1945, masih belum disepakati sebagai dasar negara (baca juga: Sambutan Tepuk Tangan Ide Pancasila). Abdul Kahar Muzakkir, dalam pidatonya di Majelis Konstituante pada 1957, menceritakan kronologis pelaksaan sidang BPUPKI. Dengan jujur ia menjelaskan, bahwa dari 60 orang peserta sidang BPUPKI yang mewakili kelompok Islam hanya 25% saja. Kemudian yang memilih dasar negara kebangsaan sebanyak 45 suara dan memilih dasar Islam sebanyak 15 suara.
�Badan Penyelidik sesudah mengadakan rapat-rapatnya pada bulan Juni 1945 itu, memang belum begitu bulat pendapatnya tentang dasar negara,� ucap Muzakkir dalam sidang itu yang dirangkum di buku Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957. �Terbukti ketika ada kesempatan kebanyakan anggota-anggota Badan Penyelidik berkumpul di Jakarta pada 22 Juni 1945, maka Bung Karno mengundang mereka berapat di ruangan Hokokai (Kementrian Keuangan sekarang).�
Dalam rapat itu, Soekarno mengusulkan dibentuk panitia kecil yang diberi nama Panitia Sembilan. Angota Panitia Sembilan adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, A. A. Maramis, Mohammad Yamin, Wahid Hasyim, A. Subarjo, Abikoesno, dan A. Kahar Muzakkir. Sebuah perbandingan yang adil dimana kelompok Islam berjumlah 4 orang, begitu juga kelompok kebangsaan 4 orang. Sedangkan Soekarno sebagai penengah dan pimpinan sidang.
Pada rapat 22 Juni 1945 itu, usulan lima sila soekarno yang terdiri dari: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa, disempurnakan oleh Panitia Sembilan.
Setelah rapat hingga jam 20.00 bertempat di kediaman Bung Karno di Jalan Pengangsaan Timur No. 56, Jakarta, disepakati rumusan lima sila yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hasil rumusan Pancasila ini disepakati dengan nama Piagam Jakarta oleh Mohammad Yamin.
Kronologis jalannya sudang BPUPKI hingga PPKI juga diceritakan oleh Mohammad Yamin dalam buku Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945. Hasil rumusan Panitia Sembilan memang banyak penolakan dari kelompok kebangsaan di Sidang BPUPKI tahap ke 2. Tetapi Soekarno dengan tegas mengatakan, �Kalau kalimat ini tidak dimasukan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam.� Begitu juga anggota yang lain yang masih mempersoalkan sila pertama, lagi-lagi Soekarno dengan tegas bawah anak kalimat itu merupakan, �Kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan, yang hanya didapat dengan susah payah.�
Rupanya penolakan sila pertama tak hanya datang dari kelompok kebangsaan, dari kalangan Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo juga tak sepakat dengan anak kalimat pasal satu: ... bagi pemeluk-pemeluknya. Ia meminta agar kalimat terakhir itu dihapus saja, tak perlu menggunakan kalimat Bagi pemeluk-pemeluknya.
Sekali lagi Soekarno mengingatkan sidang, bahwa anak kalimat itu adalah hasil kompromi antara dua pihak, �pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi Panitia memegang teguh kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muhammad Yamin �Jakarta Charter� yang disertai perkataan anggota yang terhormat Sukiman �Gentelman�s Agreement�, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.� jelas Soekarno. Setelah mendengar pidato Abikoesno dari kelompok Islam, akhirnya sidang secara bulat sepakat dasar negara yang akan ditetapkan sesuai rumusan Panitia Sembilan.
�Dengan penegasan itu, belumlah berarti bahwa Islam dijadikan dasar negara,� kata Muzakkir kemudian di dalam pidato Majelis Konstituante pada 1957. �banyak sedikitnya dapat sekedar memberi jaminan bagi berlakunya hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya.�
loading...
Post a Comment