Uang keping bergambar Khalifah Abdul al Malik dari Dinasti Bani Umayyah | Foto: commons.wikimedia.ord |
| Oleh Rofi'ulmuiz |
Bagian dari periode terburuk dalam sejarah peradaban Islam adalah terbunuhnya Khalifah Ali bin abi Thalib dan diangkatnya Muawiyyah bin Abu Sofyan menjadi pelanjut kekhalifahan. Tak hanya pelanjut, ia juga menempatkan kekhalifahan Islam dengan sistem monarki. Banyak kalangan menilai, keputusan Muawiyyah itu dianggap sebagai bentuk kudeta, atau gila kekuasaan, yang menyebabkan konflik panjang antara Bani Umayyah dengan para ahlul baitatau keluarga Nabi, dikenal juga dengan Bani Abbas, sehingga sejarah Islam penuh dengan cerita perang saudara. Tak sedikit sejarawan menempatkan Bani Umayah sebagai antagonis. Terhadap masalah ini, Abdussyafi dalam mukadimah Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyahmenuliskan, �Periode dari sejarah umat Islam masih membutuhkan kajian dan penelitian intensif yang penuh kesadaran.�
Dinasti Umayyah seringkali menjadi sorotan para cendikiawan kontemporer, sebagian besar tulisannya cenderung bersifat menghakimi. Dalam hal ini mereka mempergunakan berbagai riwayat yang dikemukakan musuh-musuh Bani Umayyah atau pendapat dari pakar sejarah yang cenderung memihak golongan tertentu. Akibatnya, sejarah para khalifah dan kepala daerah Bani Umayyah penuh dengan kepalsuan, berbagai penyimpangan, dan jauh dari sejarah yang hakiki.
Sayyid Quthub , seorang kolumnis muslim ternama yang menelurkan banyak buku tentang pergerakan Islam, tak luput ikut bersuara mengenai Bani Umayyah dalam buku Al Adalah Al Ijtima�iyyah. �Pun, Bani Umayyah di era Islam adalah Bani Umayyah di era Jahiliyyah. Mereka tidak hanya sebagai zhalim dan penjahat, keyakinan dan keikhlasan mereka dalam beragama meragukan!� ungkapnya.
Kolumnis kontemporer yang juga berkomentar negatif tentang Bani Umayyah adalah Mahmud Abbas Al-Aqqad. �Kalaulah sejarah ditulis dengan benar, tentulah julukan yang disematkan pada dirinya (Muawiyah bin Abu Sufyan) hanyalah mufarriqul jama�ah (pemecah belah persatuan),� umpatnya.
Dari pernyataan itu, Abdussyafi, mencoba membantah. Ia berkata, �Dalam berbagai sumber sejarah bersepakat dan ini pun diakui oleh mereka yang memusuhi Bani Umayyah, bahwa karakter yang paling menonjol dari seorang Muawiyah bin Abu Sufyan adalah sabar, toleran, dan dermawan. Diakui juga oleh berbagai sumber sejarah bahwa periode kekhalifahannya merupakan periode amul jama�ah (tahun persatuan),�
Citra negatif tersebut tentunya tidak tanpa faktor yang melatar belakanginya. Ada beberapa faktor yang saling mendukung dalam menciptakan citra negatif dan mencemarkan nama baik mereka, sehingga periode Bani Umayyah dicap dengan berbagai sebutan kegelapan dan keburukan.
Pertama, sebagian besar Bani Umayyah pada awalnya (pra-Islam) mutlak menentang kedatangan risalah Muhammad Rosululloh SAW, bahkan mengusung bendera perlawanan dan menabuh genderang perang serta melancarkan berbagai serangan terhadapnya selama lebih dari dua puluh tahun. Bani Umayyah bersedia masuk Islam ketika peristiwa Fathu Makkah.
Kedua, Bani Umayyah terlibat dalam konfrontasi politik dengan Ahlu Bait sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, sehingga emosional sebagian besar umat Islam cenderung memihak Ahlu Bait demi memandang kedudukan merak dikalangan umat Islam.
Ketiga, beberapa kesalahan fatal yang dilakukan sebagian khalifah Bani Umayyah, seperti menyerang dua kota suci umat Islam-Makkah dan Madinah-yang mengguncang emosional umat Islam dan gaungnya senantiasa mewarnai jiwa dan aneka tulisan mereka.
Keempat, banyaknya kelompok yang memusuhi Bani Umayyah, seperti Syiah, Khawarij, dan para pendengki mereka yang tamak dalam memperoleh kekuasaan yang menjerumuskan mereka dalam pertemuparan sengit.
Kelima, provokasi dan informasi-informasi negatif itu senantiasa menyebar dalam pembicaraan masyarakat hingga masa pembukuan.
�Meskipun sebagian Bani Umayyah sangat memusuhi Islam pada awalnya,� lanjut Abdussyafi. �Ketika masuk Islam pada Fathu Makkahmereka memperlihatkan aneka kebaikan dengan berbagai penaklukan mereka. Mereka juga memperlihatkan peran signifikan dalam mengibarkan bendera tauhid. Mereka memperlihatkan rasa cinta pada agama Allah dan perjuangan di jalan-Nya yang layak diapresiasi. Bahkan Rosululloh SAW sendiri mengamanatkan berbagai tugas besar nan penting kepada mereka. Begitu juga dengan keberhasilan yang dicapai ketiga khulafaur rasyidin sepeninggal beliau.�
�Benarkah bahwa keislaman Bani Umayyah tidak berpengaruh positif terhadap etika dan prilaku mereka, sehingga dikatakan masih bagian dari masyarakat jahiliyah? Apakah semua itu tidak diketahui Rosululloh SAW ketika beliau merasa senang dengan keislaman dan kedekatan mereka?� tanya Abdussyafi kepada para kritikus yang hanya menampakkan sisi negatifnya saja, �Sampai-sampai beliau (Rosululloh) melimpahkan kepada mereka berbagai tugas penting berkaitan dengan perkembangan pemerintahan dan stabiitas keamanan. Bahkan, dalam hal yang berkaitan dengan akidah, beliau mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pencatat wahyu!� jelasnya kemudian.
Maka tak lain lagi, Bani Umayyah yang menyatakan dirinya masuk Islam dialah termasuk dari sahabat nabi yang pernah berjuang bersama dengan beliau. Imam Ahmad bin Hambal dalam Fadha�il Ash Shahabahberpendapat bahwa seluruh sahabat Rosulullah SAW memiliki karakter lurus (udul) berdasarkan kesaksian dan pengakuan Allah dan Rosul-Nya bagi mereka. Sangat banyak ayat Al Quran dan hadist Rosululloh SAW yang menyebutkan tentang mereka dan kelurusan mereka.
Sejalan dengan yang disampaikan Imam Ahmad, Ibnu Hajar berkata, �Hanya saja, seandainya tidak ada satu keterangan pun dari Allah dan Rosul-Nya tentang mereka, tetap saja sikap dan prilaku mereka, seperti hijrah, jihad, perjuangan menyebarkan dakwah Islam, saling memberi nasehat dalam agama, kuatnya keimanan dan keyakinan, memastikan kelurusan serta kebersihan jiwa mereka. Seluruh sahabat merupakan manusia terbaik jika dibandingkan dengan setiap generasi sesudah mereka.�
Masih dalam pembahasan mengenai keutamaan sahabat nabi, Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As Sunnah membedakan antara al adalah (kelurusan) dan al ishmah (kemaksuman). Dalam hal ini beliau menyampaikan bahwa kaidah utama dalam masalah ini menyatakan bahwa tidak meyakini ada orang yang maksum selain Rosululloh SAW. Para Khulafaur Rasyidin boleh jadi melakukan kesalahan.
Sebagai contoh, seorang sahabat dalam hal ini Hathib bin Abu Balta�ah. Dia mengirimkan surat kepada kaum Quraisy yang isinya memberitahukan kepada mereka ihwal pergerakan Rosululloh SAW untuk menaklukkan kota Makkah. Kendati itu merupakan kesalahan fatal yang hukumannya adalah hukuman mati dalam undang-undang kemiliteran, tetapi Rosululloh SAW memaklumi alasannya dan beliau memaafkannya.
loading...
Post a Comment