Halloween Costume ideas 2015
loading...

Belanda Melanggar Kedaulatan Aceh Karena Perjanjian Siak

AMP -- Perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Kerajaan Aceh dan Belanda pada tahun 1957 menimbulkan harapan harapan baru bagi Aceh. Melalui perjanjian ini Aceh berharap hubungan antara kedua negara ini di masa yang akan datang dapat menjadi lebih baik. Selain itu, kedua negara terutama akan menjalin persahabatan yang hakiki untuk kepentingan kedua bangsa. Tetapi, belum setahun perjanjian tersebut berjalan, Belanda kembali memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Aceh. Dalam suatu kemelut yang terjadi antara keluarga Kerajaan Siak, Belanda mengambil kesempatan untuk campur tangan yang berakhir dengan ditandatanganinya suatu perjanjian dengan Siak yang kemudian dikenal dengan Siak Tractaat pada tahun 1858.

Dengan perjanjian ini, Sultan Siak meletakkan kerajaannya di bawah kedaulatan Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda mengakui (pasal 2, ayat e) kekuasaan Siak berlaku atas kesultanan-kesultanan Deli, Serdang, dan Asahan. Siak Tractaat oleh Belanda dipergunakan sebagai usaha untuk menarik Sultan-sultan Deli, Serdang, dan Asahan secara terus terang mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka, yang berarti bahwa mereka dengan sendirinya mengakui "kemaharajaan Belanda". Tindakan Belanda tersebut oleh Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah dianggap melanggar kedaulatan Aceh karena Aceh mempunyai hak-hak tertentu (meskipun tidak di seluruh Siak) di perbatasan bagian utara, yaitu Deli, Serdang, dan Asahan yang merupakan daerah taklukan Kerajaan Aceh. Jadi, tindakan Belanda membuat Siak Tractaat selain bertentangan dengan jiwa Perjanjian London 1824 yang mengakui kemerdekaan Aceh, juga merupakan suatu sikap permusuhan yang bertentangan dengan Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan antara Kerajaan Aceh dengan Belanda tahun 1857. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Belanda berjanji akan menegakkan perdamaian, mempererat persahabatan, dan mengembangkan pengertian yang baik dengan Kerajaan Aceh.

(Mengenai perjanjian tersebut baca juga Perjanjian perdamaian dan persahabatan Aceh dengan Belanda dan mengenai isi perjanjian baca di Perjanjian Aceh dan Belanda masa Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah)

Dalam bulan Oktober 1861, Baron Sloet de Beele, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengirimkan suatu perutusan di bawah pimpinan Kapten Brutol de la Riviers yang beranggotakan Asisten Residen H. A. Mess kepada Sultan Aceh untuk memberitahukan pengangkatannya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, menggantikan C. Pahud. Perutusan tersebut diterima dengan baik oleh Sultan.

Pada waktu perutusan tersebut hendak kembali ke Batavia, Sultan menyerahkan sepucuk surat yang dialamatkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam surat tersebut selain basa-basi diplomatik mengenai kesediaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda memperkenalkan dirinya, Sultan melahirkan rasa gusarnya berkenaan dengan pelanggaran kedaulatan Aceh yang dilakukan oleh Belanda dengan ditandatanganinya Siak Tractaat 1858. Untuk menjaga agar hal ini jangan sampai menyebabkan perselisihan antara kedua negara menjadi lebih tajam, Sultan meminta agar segera diadakan perundingan untuk mengatur perbatasan yang jelas antara Kerajaan Aceh beserta daerah taklukannya dan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.

Belanda Melanggar Perbatasan Aceh

Pada tanggal 28 Desember 1862, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menulis surat kepada Sultan Aceh. Isinya, menyatakan persetujuan atas usul Sultan dan meminta kepadanya mengirimkan wakil-wakil kepada Residen Riau untuk berunding. Residen Riau, Schiff, pada waktu itu selain ditugaskan untuk sementara menjalankan urusan pemerintahan di Siak, diserahi pula tugas untuk memimpin operasi politik terhadap Aceh. Mungkin karena suatu maksud tertentu, surat Gubernur Jenderal tersebut baru dikirim kepada Sultan Aceh pada bulan September 1863 atau hampir setahun kemudian. Akan tetapi, sebelum menulis surat kepada Sultan Aceh, Gubernur Jenderal telah menulis surat kepada Residen Riau bertanggal 2 Maret 1862. Isinya, perintah untuk mengusahakan agar kekuasaan Belanda berlaku di daerah-daerah pesisir Sumatera Timur yang oleh Sultan Aceh masih dianggap berada di bawah kedaulatan Aceh.

Untuk melaksanakan perintah Gubernur Jenderal itu, Residen Riau datang ke Deli, Serdang, dan Asahan guna membujuk kepala-kepala daerah tersebut agar secara terus terang mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka. Dari ketiga kepala daerah tersebut, hanya Sultan Deli yang dengan sepenuh hati tunduk di bawah kehendak Belanda. Jadi, sejak pertengahan 1862, Belanda menempatkan pasukannya di Deli, Langkat, dan Batu Bara.

Tindakan Belanda dijawab oleh Sultan Aceh dengan mengirimkan beberapa kapal armadanya yang berpangkalan di Pulau Kampai, Pangkalan Susu. Dalam bulan Mei 1863, bendera Belanda yang telah berkibar di Batu Bara diturunkan dan bentengnya dihancurkan. Kedaulatan Aceh di sana tegak kembali seperti semula.

Inggris yang sejak semula tidak senang melihat cara-cara Belanda memperluas wilayah kekuasaannya di Sumatera Timur, juga mengenai pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukannya berulang kali terhadap Aceh sejak tahun 1862, kembali memberi peringatan kepada Belanda. Akan tetapi, peringatan Inggris itu tidak dihiraukan oleh Belanda.

Perjanjian Siak bagi Belanda merupakan jalan pintas menuju daerah Aceh. Maksudnya, sebelum perjanjian itu ditandatangani jalan menuju ke Aceh agak panjang karena ada kerajaan di daerah pesisir Sumatera Timur yang merupakan daerah taklukan Kerajaan Aceh. Namun, sesudah adanya perjanjian tersebut, dengan bujuk rayu (Deli) dan dengan kekerasan (Serdang dan Asahan) kerajaan-kerajaan itu satu demi satu dikuasai oleh Belanda. Paling tidak, Perjanjian Siak telah menghantarkan Belanda langsung ke perbatasan Aceh sebelah timur. Kini Aceh dikepung dari dua jurusan, yaitu dari barat tempat operasi politik bermarkas di Padang di bawah pimpinan Gubernur Sumatera Barat, van Swieten, dan dari timur tempat ekspansi politik dikendalikan di Riau oleh Residen Riau, Schiff.


Sumber tulisan di atas dapat dilihat pada buku H. M. Nur El Ibrahimy, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993, halaman 44-47.

http://teukumukhlis.blogspot.co.id
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget