AMP - Rumah itu terlihat kusam, dinding papan dan atap rumbia sudah dimakan usia. Banyak lubang besar yang sudah menganga. Dari lubang-lubang itu, siang hari, cahaya matahari menyilaukan seisi rumah.
Rumah ukuran kecil itu tidak mempunyai satu kamar pun. Di dalam hanya tampak lemari tua yang pintunya entah kemana. Sementara dua tempat tidur dari batang pinang beralaskan tikar. Rumah itu hanya ditopang kayu-kayu tua, termasuk batang pinang agar tidak roboh diterpa angin.
Kala melihat ke dapurnya. Itupun lebih parah lagi, dindingnya hanya dibuat dengan batangan bamboo yang telah dibelah-belah. Tampak rak piring, itupun sudah berkaratan sedangkan tempat memasak jangan ditanyak lagi. Hanya kelihatan tungku dan dangdangan yang hitam pekat dengan dikelilingi debu hasil memasak dengan kayu.
Ya, rumah itu terletak di Gampong Cot Petisah, Kecamatan Seunudon, Kabupaten Aceh Utara. Rumah yang hanya berjarak seratusan meter dari kediaman Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Tengku Muharuddin.
Rumah itu milik Salmawati, 39 tahun. Rumah yang dia huni selama ini tidak layak di sebut hunian. Rumah itu pantas disebut “Geurupoh”.
Sebab, atap rumbia itu sudah pada berlubang, dinding untuk penahan angin masuk sudah pada lapuk, pintu hanya bermodalkan kayu usang alakadar dan miris lantainya pun masih bergelombang, Ya, gelombang itu akibat tidak disemennya lantai alias masih tanah, namun bagi Salmawati dan keluarganya itu lebih dari hotel bintang lima yang selama ini jadi hunian para pejabat dan konglomerat.
“Nyo rumoh ata gekubah le ureng chik long. Leuh menikah long ngen suami 17 thon ulikot ka tinggai disinoe. Awai geut bacut, cuma nyue katuha teuma hana ngon meugantoe,” kata Salmawati saat dikunjungi portalsatu.com, Sabtu 8 Oktober 2016.
Salmawati menceritakan Kala hujan turun, air dengan mudah membanjiri gubuk yang masih beralaskan tanah tersebut. “Kalau hujan deras, air hujan masuk dari atas rumah. Ya, saya hanya bisa menampungnya dengan ember. Kalau lantai pastinya becek gak karuan,” celoteh Salmawati sembari menggendong anaknya yang kecil.
SWalmawati tinggal di gubuk tersebut sudah lebih 17 tahun lamanya. Sebelumnya, rumah yang ditempati keluarganya tersebut merupakan peninggalan orang tuanya. Namun hinnga kini rumah tersebut tak mampu direhapnya.
“Long ureueng hana. Suami (Abdul Rahman) geujak meukat sira sagai. Nyan pih atra gop. Oh na lagot berarti na peng. Meuhan lagee haba nyan sit,” kata ibu 4 anak ini.
Dengan keterebatasannya itu, Salmawati juga kembali diuji oleh yang maha kuasa. Anak bungsunya, Aisyah yang berusia 2 tahun itu mengalami penyakit jantung.
“Mumang tat long, peng hana. Rumoh lagenyoe rupa. Aneuk pih yang tuloet keunong peunyaket jantong. Hana lon tuoh peugah le. Yang jeut long saba ngen meudoa sagai uro malam,” tambah Salmawati dengan mata berkaca-kaca.
Salmawati menyebutkan anaknya itu ketahuan sakit sejak umur setahun. Beberapa bulan kemudian dia memeriksa anaknya ke Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh hasil bantuan swadaya masyarakat namun dari pihak Rumah Sakit siminta untuk melakukan pengobatan rutin.
Kata Salma, kalau pengobatan sudah ditanggung pemerintah tapi akomodasi atau biayanya untuk ke sana tak ada apalagi harus menginap.
“Bek lam an lon jak u Banda dan jak peugot rumoh, meu ngon bloe breueh pih karap hana,” sebut Salmawati.
Hal yang sama juga diceritakan oleh Abdul Rahman, 50 tahun, (suami Salmawati). Dia mengatakan tak bisa berbuat apa-apa atas cobaan yang sedang ditimpanya. Dia hanya pedagang garam, itupun katanya punya orang lain.
“Long meukat sira, nyan atra gob pih. Nyoe na lagot 50 kilo na lon teume peng 50 ribee meunyoe hana ya diyup nyan na raseki,” kata Abdul Rahman.
Rahman menceritakan dirinya mau bekerja sebagai apapun untuk mendapatkan rezeki yang halal. Dirinya mengaku pernah melamar menjadi tukang kebersihan di Panton Labu tapi tidak beruntung begitupun sempat dia pergi ke hutan untuk membuka lahan. Disana dia juga ditolak karena tidak mahir.
“Ho yang lon jak galom na raseki. Teuma na blang ata ureueng chik ma aneuk mit nyan pih hana ie. Han jeuet tajak,” imbuh Abdul Rahman dengan wajah bingung.
Abdul Rahman dan Salmawati pun sebatas mengetahui jika dirinya adalah salah satu warga yang hidup di bekas “daerah koflik”. Di mana derah basis kombatan berlalu lalang.
Akan tetapi, keluarga tersebut, tidak mau berlarut dengan sandiwara yang sedang dimainkan oleh penguasa. Walaupun dengan kondisi gubuknya rusak dan kondisi daerahnya yang bergelimangan anggaran mereka tetap tegar untuk menjalani sisa-sisa hidupnya.
“Sekarang yang perlu saya dan keluarga perbuat hanya beribadah, jika memang pemerintah tidak membantu. Biarlah Allah yang membantu saya kelak,” tutur Abdul Rahman.
Kondisi ini jika dilihat sangat berbanding terbalik dengan semangat Pemerintah Aceh Utara yang ingin mensejahterakan masyakarat.
Menurut data yang dikutip pada Web http://www.acehutara.go.id/, Selama Bupati Muhammad Thaib yang berkuasa tercatat 2.493 unit rumah miskin telah dibangun atau direhap. Dengan data demikian dan kondisi rumah Salmawati yang begitu miris, patut dipertanyakan, ke mana pembangunan rumah 2.493 unit itu dibuat. Apakah tepat sasaran atau tidak?[portalsatu.com]
Rumah ukuran kecil itu tidak mempunyai satu kamar pun. Di dalam hanya tampak lemari tua yang pintunya entah kemana. Sementara dua tempat tidur dari batang pinang beralaskan tikar. Rumah itu hanya ditopang kayu-kayu tua, termasuk batang pinang agar tidak roboh diterpa angin.
Kala melihat ke dapurnya. Itupun lebih parah lagi, dindingnya hanya dibuat dengan batangan bamboo yang telah dibelah-belah. Tampak rak piring, itupun sudah berkaratan sedangkan tempat memasak jangan ditanyak lagi. Hanya kelihatan tungku dan dangdangan yang hitam pekat dengan dikelilingi debu hasil memasak dengan kayu.
Ya, rumah itu terletak di Gampong Cot Petisah, Kecamatan Seunudon, Kabupaten Aceh Utara. Rumah yang hanya berjarak seratusan meter dari kediaman Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Tengku Muharuddin.
Rumah itu milik Salmawati, 39 tahun. Rumah yang dia huni selama ini tidak layak di sebut hunian. Rumah itu pantas disebut “Geurupoh”.
Sebab, atap rumbia itu sudah pada berlubang, dinding untuk penahan angin masuk sudah pada lapuk, pintu hanya bermodalkan kayu usang alakadar dan miris lantainya pun masih bergelombang, Ya, gelombang itu akibat tidak disemennya lantai alias masih tanah, namun bagi Salmawati dan keluarganya itu lebih dari hotel bintang lima yang selama ini jadi hunian para pejabat dan konglomerat.
“Nyo rumoh ata gekubah le ureng chik long. Leuh menikah long ngen suami 17 thon ulikot ka tinggai disinoe. Awai geut bacut, cuma nyue katuha teuma hana ngon meugantoe,” kata Salmawati saat dikunjungi portalsatu.com, Sabtu 8 Oktober 2016.
Salmawati menceritakan Kala hujan turun, air dengan mudah membanjiri gubuk yang masih beralaskan tanah tersebut. “Kalau hujan deras, air hujan masuk dari atas rumah. Ya, saya hanya bisa menampungnya dengan ember. Kalau lantai pastinya becek gak karuan,” celoteh Salmawati sembari menggendong anaknya yang kecil.
SWalmawati tinggal di gubuk tersebut sudah lebih 17 tahun lamanya. Sebelumnya, rumah yang ditempati keluarganya tersebut merupakan peninggalan orang tuanya. Namun hinnga kini rumah tersebut tak mampu direhapnya.
“Long ureueng hana. Suami (Abdul Rahman) geujak meukat sira sagai. Nyan pih atra gop. Oh na lagot berarti na peng. Meuhan lagee haba nyan sit,” kata ibu 4 anak ini.
Dengan keterebatasannya itu, Salmawati juga kembali diuji oleh yang maha kuasa. Anak bungsunya, Aisyah yang berusia 2 tahun itu mengalami penyakit jantung.
“Mumang tat long, peng hana. Rumoh lagenyoe rupa. Aneuk pih yang tuloet keunong peunyaket jantong. Hana lon tuoh peugah le. Yang jeut long saba ngen meudoa sagai uro malam,” tambah Salmawati dengan mata berkaca-kaca.
Salmawati menyebutkan anaknya itu ketahuan sakit sejak umur setahun. Beberapa bulan kemudian dia memeriksa anaknya ke Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh hasil bantuan swadaya masyarakat namun dari pihak Rumah Sakit siminta untuk melakukan pengobatan rutin.
Kata Salma, kalau pengobatan sudah ditanggung pemerintah tapi akomodasi atau biayanya untuk ke sana tak ada apalagi harus menginap.
“Bek lam an lon jak u Banda dan jak peugot rumoh, meu ngon bloe breueh pih karap hana,” sebut Salmawati.
Hal yang sama juga diceritakan oleh Abdul Rahman, 50 tahun, (suami Salmawati). Dia mengatakan tak bisa berbuat apa-apa atas cobaan yang sedang ditimpanya. Dia hanya pedagang garam, itupun katanya punya orang lain.
“Long meukat sira, nyan atra gob pih. Nyoe na lagot 50 kilo na lon teume peng 50 ribee meunyoe hana ya diyup nyan na raseki,” kata Abdul Rahman.
Rahman menceritakan dirinya mau bekerja sebagai apapun untuk mendapatkan rezeki yang halal. Dirinya mengaku pernah melamar menjadi tukang kebersihan di Panton Labu tapi tidak beruntung begitupun sempat dia pergi ke hutan untuk membuka lahan. Disana dia juga ditolak karena tidak mahir.
“Ho yang lon jak galom na raseki. Teuma na blang ata ureueng chik ma aneuk mit nyan pih hana ie. Han jeuet tajak,” imbuh Abdul Rahman dengan wajah bingung.
Abdul Rahman dan Salmawati pun sebatas mengetahui jika dirinya adalah salah satu warga yang hidup di bekas “daerah koflik”. Di mana derah basis kombatan berlalu lalang.
Akan tetapi, keluarga tersebut, tidak mau berlarut dengan sandiwara yang sedang dimainkan oleh penguasa. Walaupun dengan kondisi gubuknya rusak dan kondisi daerahnya yang bergelimangan anggaran mereka tetap tegar untuk menjalani sisa-sisa hidupnya.
“Sekarang yang perlu saya dan keluarga perbuat hanya beribadah, jika memang pemerintah tidak membantu. Biarlah Allah yang membantu saya kelak,” tutur Abdul Rahman.
Kondisi ini jika dilihat sangat berbanding terbalik dengan semangat Pemerintah Aceh Utara yang ingin mensejahterakan masyakarat.
Menurut data yang dikutip pada Web http://www.acehutara.go.id/, Selama Bupati Muhammad Thaib yang berkuasa tercatat 2.493 unit rumah miskin telah dibangun atau direhap. Dengan data demikian dan kondisi rumah Salmawati yang begitu miris, patut dipertanyakan, ke mana pembangunan rumah 2.493 unit itu dibuat. Apakah tepat sasaran atau tidak?[portalsatu.com]
loading...
Post a Comment