AMP - Suasana sidang paripurna pembahasan rancangan Qanun Aceh tentang Kehutanan, Qanun Aceh tentang Pilkada, Qanun Aceh tentang Retribusi dan Qanun Aceh tentang Zakat, Infak dan Sedekah, diwarnai aksi meninggalkan ruang sidang. Dua anggota dewan meminta seluruh kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh keluar dari ruang sidang.
Adalah Nur Zahri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dari Fraksi Partai Aceh, yang keberatan. Dia menilai kehadiran kepala SKPA di ruangan itu tidak berarti karena di saat bersamaan, Gubernur Aceh dan wakilnya tidak hadir. Protes ini disampaikan tak lama setelah Ketua DPR Aceh T Muharuddin membuka rapat kedua membahas pergantian antar waktu.
“Selaku anggota dewan, saya meminta ketua untuk mengusir pihak eksekutif yang ada dalam ruangan ini. Kalau pimpinan tidak tegas, saya yang akan keluar dari ruangan ini," ujar Zahri.
Hal serupa juga disampaikan Tgk Muhammad Harun. “Ini aneh, pada saat pengesahan qanun, pihak eksekutif tidak hadir. Saya minta agar sidang dihentikan saja. Jika tidak, saya yang akan keluar dari rapat.”
Namun permintaan ini ditolak Muharuddin. Secara tegas dia mengatakan ketidakhadiran gubernur dan wakil gubernur tidak mengubah substansi sidang tersebut. Kehadiran kepala SKPA dinilai cukup untuk mewakili pihak eksekutif. Karena itu, dia meminta ketidakhadiran gubernur dan wakilnya tidak disikapi berlebihan, apalagi sampai menunda jalannya persidangan dan mengusir pihak eksekutif.
"Lembaga ini (harusnya) lebih terhormat lebih dewasa. Tampakkan kenegarawanan kita. Tunjukkan marwah lembaga ini. Jangan ikut-ikutan, apakah kita mau (bersikap) kekanak-kenakan? Kita serahkan kepada forum, apakah sidang ini (perlu) kita lanjutkan (atau tidak)," kata Muharuddin.
Gayung bersambut. Mayoritas anggota dewan sepakat untuk melanjutkan jalannya persidangan. Namun tidak bagi Zahri dan Harun. Sadar keinginan mereka ditolak, tak lama kemudian, keduanya meninggalkan ruangan sidang.(AJNN)
Adalah Nur Zahri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dari Fraksi Partai Aceh, yang keberatan. Dia menilai kehadiran kepala SKPA di ruangan itu tidak berarti karena di saat bersamaan, Gubernur Aceh dan wakilnya tidak hadir. Protes ini disampaikan tak lama setelah Ketua DPR Aceh T Muharuddin membuka rapat kedua membahas pergantian antar waktu.
“Selaku anggota dewan, saya meminta ketua untuk mengusir pihak eksekutif yang ada dalam ruangan ini. Kalau pimpinan tidak tegas, saya yang akan keluar dari ruangan ini," ujar Zahri.
Hal serupa juga disampaikan Tgk Muhammad Harun. “Ini aneh, pada saat pengesahan qanun, pihak eksekutif tidak hadir. Saya minta agar sidang dihentikan saja. Jika tidak, saya yang akan keluar dari rapat.”
Namun permintaan ini ditolak Muharuddin. Secara tegas dia mengatakan ketidakhadiran gubernur dan wakil gubernur tidak mengubah substansi sidang tersebut. Kehadiran kepala SKPA dinilai cukup untuk mewakili pihak eksekutif. Karena itu, dia meminta ketidakhadiran gubernur dan wakilnya tidak disikapi berlebihan, apalagi sampai menunda jalannya persidangan dan mengusir pihak eksekutif.
"Lembaga ini (harusnya) lebih terhormat lebih dewasa. Tampakkan kenegarawanan kita. Tunjukkan marwah lembaga ini. Jangan ikut-ikutan, apakah kita mau (bersikap) kekanak-kenakan? Kita serahkan kepada forum, apakah sidang ini (perlu) kita lanjutkan (atau tidak)," kata Muharuddin.
Gayung bersambut. Mayoritas anggota dewan sepakat untuk melanjutkan jalannya persidangan. Namun tidak bagi Zahri dan Harun. Sadar keinginan mereka ditolak, tak lama kemudian, keduanya meninggalkan ruangan sidang.(AJNN)
loading...

Post a Comment