Sangkira keubit geutanyöe bangsa teuleubeh
Sabé-sabé Aceh han tameuangga
Mbông, pernahkah mendengar kata ‘mbông’? Itu kata yang dapat dimaknai sebagai sikap memuji-muji diri secara berlebihan yang terkadang bertentangan dengan fakta.
Pada masyarakat awam, mbông perilaku egosentrik (hanya memperhatikan diri sendiri) dan hanya untuk bahan candaan. Namun, apabila menjalar pada prinsip yang merasuk masyarakat kelas menengah dan kolektif (secara bersama), maka mbông itu menjadi ego. Orang yang berlaku demikian disebut egois.
Mbông ini dapat terjadi karena beberapa hal, di antaranya, karena terlalu percaya diri, dan sebaliknya, karena rasa rendah diri. Perbedaan antara percaya diri dan rendah diri itu tipis, setipis kulit ari (kulit luar di badan).
Aceh, disebabkan sejarahnya yang gemilang, sama seperti orang Eropa dan sebagian Asia, memiliki mbông yang besar. Mbông orang Eropa, misalnya, orang Prancis, Jerman, Turki, dan lainnya serta mbong orang Asia seperti Jepang dan Cina, tidak mahu belajar Bahasa Inggris karena bahasa mereka lebih bagus, katanya.
Bangsa-bangsa yang berada dalam garis depan peradaban di suatu zaman, memakai mbong untuk jati dirinya. Namun, bangsa-bangsa yang berada di garis belakang peradaban di suatu zaman akan memakai mbong untuk hal yang tidak ada gunanya, dan akan mengikuti bangsa lain dalam hal jati diri, karena ketidakpercayaan diri, inferioriti complex.
Apa yang dibanggakan sehingga menjadi mbông oleh bangsa di garis depan peradaban itu memiliki bukti, sementara mbong dari bangsa di garis belakang peradaban hanya kata-kata. Baiklah, kita tidak bicara Inggris, Prancis, Jerman, dan Turki di sini. Mereka memang bangsa di depan peradaban sekarang.
Marilah kita lihat kampung kecil kita, Aceh. Di kampung yang diyakini pernah menjadi kekuatan maritim (kelautan) terbesar di Asia Tenggara--Samudra Pasai dan Aceh Darussalam—ini, punya mbông sebesar orang di garis depan peradaban sekarang. Nanti kita lihat, apakah itu untuk jati diri atau karena tidak percaya diri.
Salah satu mbông Aceh yang tengah dipertahankan sekarang adalah bendera bintang bulan. Setelah MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, walaupun sudah ada dalam perjanjian dan turunannya di UUPA, pemerintahan Irwandi-Nazar tidak memperjuangkannya.
Setelah Zaini-Zakir jadi gubernur dan wakil gubernur Aceh, barulah DPR Aceh mensahkan bendera itu untuk Aceh, namun, hanya berani mensahkan, takut mengibarkannya. Entah itu karena mereka takut pada mendagri atau itu hanya bahan dagangan politik yang dilelang menjelang pemilu.
Lalu, di mana mbôngnya? Itu di sana. Sudah jelas terlihat bahwa DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) dan Gubernur Aceh gagal mengibarkan bendera Aceh setelah bertahun-tahun mensahkannya, masih berani bicara ‘kami perjuangkan bendera’.
Sudah jelas mereka diplomat yang gagal masih menganggap diri politikus. Ditambah APBA (Anggaran Pendapatan Belanja Aceh) telat disahkan dan telat dicairkan, dan diperparah lagi dengan terjadinya pembodohan oleh mereka, yakni, sebagian besar dana otsus itu terbuang ke tong sampah yang bernama kantong mereka. Masih juga mereka dan para pekerja di pemerintah lainnya tidak malu.
Alangkah baiknya, DPRA atau gubernur meminta maaf pada rakyat Aceh karena gagal mengibarkan bendera bintang bulan. Kalau di negara yang berada di garis depan peradaban, kegagalan sebesar itu telah membuat banyak penjabatnya mundur dari jabatan.
Namun karena mbông—yang bertolak dari rendah diri--takut terlihat gagal dan takut terlihat tidak mampu, mereka mencari-cari alasan, persis alasan bodoh pejabat PLN tentang mereka sering memadamkan listrik tanpa pemberitahuan. Jangankan mengundur diri, meminta maaf pun tidak, hal itu menandakan bahwa para penjabat tersebut menempatkan Aceh di garis belakang peradaban saat ini.
Bendera Aceh itu telah gagal dikibarkan, gagal diperjuangkan. Maka, perjuangkan saja hal lain yang kira-kira besar kemungkinan berhasil, bèk abéh watèë ngon peubulat bola sèntè di DPRA dan kantor Gubernur. Undur diri saja, itu lebih baik, biarkan pejabat DPRA dan gubernur atau wakilnya periode depan yang memperjuangkan bendera Aceh lagi.
Mbông, seperti mbông DPRA dan Gubernur Aceh itu adalah mbông yang tidak lagi lucu, bahkan ironis, yang muncul dari rasa rendah diri. Itu seperti mbông para pelaut di tengah badai, sebuah mbông yang berakhir pada kehancuran orang banyak. Mbông dan bendera Aceh, kalau dapat dinilai secara terpisah, akan segera dapat diselesaikan.
Alangkah lebih baik, Aceh meniru gaya Taiwan dalam memerdekakan negaranya dari jajahan Tiongkok. Mereka terus membangun diri dan menunggu waktu yang tepat untuk muncul sebagai bangsa merdeka. Namun penjabat di Aceh belum memahami keadaan, bahwa senjata sudah dipotong-potong, itu kemudian mengantarkan beberapa orang—termasuk sebagian meraka-- ke jabatan propinsi dan kabupaten/kota, masih berpikir punya kesempatan self goverment (pemerintahan sendiri).
Sesungguhnya, otonomi khusus atau apa pun itu namanya yang ditabalkan untuk Aceh hanyalah nama, sementara di propinsi lain, tanpa disebut pun itu sudah lama berlaku, tanpa perang, dan tanpa mbông. Mereka tidak berpakaian dengan mbông yang lahir dari rasa rendah diri.
Tentang bendera lagi. Alangkah baiknya para pihak di Aceh atau lainnya, jangan memperlihatkan kebodohannya dengan mengusulkan bendera Aceh gaya lain, sebab bendera Aceh itu telah disahkan beberapa tahun lalu.
Jangan jadi pahlawan kesiangan seperti angota DPRA dan Gubernur yang mensahkan bendera Aceh tapi takut mengibarkannya. Buanglah mbông rendah diri itu, lihatlah sekeliling. Jangan bicara mimpi lagi di media-media, tetapi lakukanlah sesuatu yang berguna secara ikhlas. Selamat berjuang![] Banda Aceh, 8 Mei 2016.
*Thayeb Loh Angen, penulis novel Teuntra Atom dan novel Aceh 2025.
Sabé-sabé Aceh han tameuangga
Mbông, pernahkah mendengar kata ‘mbông’? Itu kata yang dapat dimaknai sebagai sikap memuji-muji diri secara berlebihan yang terkadang bertentangan dengan fakta.
Pada masyarakat awam, mbông perilaku egosentrik (hanya memperhatikan diri sendiri) dan hanya untuk bahan candaan. Namun, apabila menjalar pada prinsip yang merasuk masyarakat kelas menengah dan kolektif (secara bersama), maka mbông itu menjadi ego. Orang yang berlaku demikian disebut egois.
Mbông ini dapat terjadi karena beberapa hal, di antaranya, karena terlalu percaya diri, dan sebaliknya, karena rasa rendah diri. Perbedaan antara percaya diri dan rendah diri itu tipis, setipis kulit ari (kulit luar di badan).
Aceh, disebabkan sejarahnya yang gemilang, sama seperti orang Eropa dan sebagian Asia, memiliki mbông yang besar. Mbông orang Eropa, misalnya, orang Prancis, Jerman, Turki, dan lainnya serta mbong orang Asia seperti Jepang dan Cina, tidak mahu belajar Bahasa Inggris karena bahasa mereka lebih bagus, katanya.
Bangsa-bangsa yang berada dalam garis depan peradaban di suatu zaman, memakai mbong untuk jati dirinya. Namun, bangsa-bangsa yang berada di garis belakang peradaban di suatu zaman akan memakai mbong untuk hal yang tidak ada gunanya, dan akan mengikuti bangsa lain dalam hal jati diri, karena ketidakpercayaan diri, inferioriti complex.
Apa yang dibanggakan sehingga menjadi mbông oleh bangsa di garis depan peradaban itu memiliki bukti, sementara mbong dari bangsa di garis belakang peradaban hanya kata-kata. Baiklah, kita tidak bicara Inggris, Prancis, Jerman, dan Turki di sini. Mereka memang bangsa di depan peradaban sekarang.
Marilah kita lihat kampung kecil kita, Aceh. Di kampung yang diyakini pernah menjadi kekuatan maritim (kelautan) terbesar di Asia Tenggara--Samudra Pasai dan Aceh Darussalam—ini, punya mbông sebesar orang di garis depan peradaban sekarang. Nanti kita lihat, apakah itu untuk jati diri atau karena tidak percaya diri.
Salah satu mbông Aceh yang tengah dipertahankan sekarang adalah bendera bintang bulan. Setelah MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, walaupun sudah ada dalam perjanjian dan turunannya di UUPA, pemerintahan Irwandi-Nazar tidak memperjuangkannya.
Setelah Zaini-Zakir jadi gubernur dan wakil gubernur Aceh, barulah DPR Aceh mensahkan bendera itu untuk Aceh, namun, hanya berani mensahkan, takut mengibarkannya. Entah itu karena mereka takut pada mendagri atau itu hanya bahan dagangan politik yang dilelang menjelang pemilu.
Lalu, di mana mbôngnya? Itu di sana. Sudah jelas terlihat bahwa DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) dan Gubernur Aceh gagal mengibarkan bendera Aceh setelah bertahun-tahun mensahkannya, masih berani bicara ‘kami perjuangkan bendera’.
Sudah jelas mereka diplomat yang gagal masih menganggap diri politikus. Ditambah APBA (Anggaran Pendapatan Belanja Aceh) telat disahkan dan telat dicairkan, dan diperparah lagi dengan terjadinya pembodohan oleh mereka, yakni, sebagian besar dana otsus itu terbuang ke tong sampah yang bernama kantong mereka. Masih juga mereka dan para pekerja di pemerintah lainnya tidak malu.
Alangkah baiknya, DPRA atau gubernur meminta maaf pada rakyat Aceh karena gagal mengibarkan bendera bintang bulan. Kalau di negara yang berada di garis depan peradaban, kegagalan sebesar itu telah membuat banyak penjabatnya mundur dari jabatan.
Namun karena mbông—yang bertolak dari rendah diri--takut terlihat gagal dan takut terlihat tidak mampu, mereka mencari-cari alasan, persis alasan bodoh pejabat PLN tentang mereka sering memadamkan listrik tanpa pemberitahuan. Jangankan mengundur diri, meminta maaf pun tidak, hal itu menandakan bahwa para penjabat tersebut menempatkan Aceh di garis belakang peradaban saat ini.
Bendera Aceh itu telah gagal dikibarkan, gagal diperjuangkan. Maka, perjuangkan saja hal lain yang kira-kira besar kemungkinan berhasil, bèk abéh watèë ngon peubulat bola sèntè di DPRA dan kantor Gubernur. Undur diri saja, itu lebih baik, biarkan pejabat DPRA dan gubernur atau wakilnya periode depan yang memperjuangkan bendera Aceh lagi.
Mbông, seperti mbông DPRA dan Gubernur Aceh itu adalah mbông yang tidak lagi lucu, bahkan ironis, yang muncul dari rasa rendah diri. Itu seperti mbông para pelaut di tengah badai, sebuah mbông yang berakhir pada kehancuran orang banyak. Mbông dan bendera Aceh, kalau dapat dinilai secara terpisah, akan segera dapat diselesaikan.
Alangkah lebih baik, Aceh meniru gaya Taiwan dalam memerdekakan negaranya dari jajahan Tiongkok. Mereka terus membangun diri dan menunggu waktu yang tepat untuk muncul sebagai bangsa merdeka. Namun penjabat di Aceh belum memahami keadaan, bahwa senjata sudah dipotong-potong, itu kemudian mengantarkan beberapa orang—termasuk sebagian meraka-- ke jabatan propinsi dan kabupaten/kota, masih berpikir punya kesempatan self goverment (pemerintahan sendiri).
Sesungguhnya, otonomi khusus atau apa pun itu namanya yang ditabalkan untuk Aceh hanyalah nama, sementara di propinsi lain, tanpa disebut pun itu sudah lama berlaku, tanpa perang, dan tanpa mbông. Mereka tidak berpakaian dengan mbông yang lahir dari rasa rendah diri.
Tentang bendera lagi. Alangkah baiknya para pihak di Aceh atau lainnya, jangan memperlihatkan kebodohannya dengan mengusulkan bendera Aceh gaya lain, sebab bendera Aceh itu telah disahkan beberapa tahun lalu.
Jangan jadi pahlawan kesiangan seperti angota DPRA dan Gubernur yang mensahkan bendera Aceh tapi takut mengibarkannya. Buanglah mbông rendah diri itu, lihatlah sekeliling. Jangan bicara mimpi lagi di media-media, tetapi lakukanlah sesuatu yang berguna secara ikhlas. Selamat berjuang![] Banda Aceh, 8 Mei 2016.
*Thayeb Loh Angen, penulis novel Teuntra Atom dan novel Aceh 2025.
Dikutip dari portalsatu.com
loading...
Post a Comment