![]() |
| Sebuah dekorasi di Vietnam jelang kongres Partai Komunis di negara itu. |
#TrenSosial: Ketakutan terhadap
simbol-simbol komunis dinilai sebagai ketakutan yang tidak perlu, yang
bersumber dari ketidaktahuan, kata sejumlah pemerhati.
Kata kunci
palu arit ramai diributkan pengguna media sosial sejak akhir pekan lalu
dan telah digunakan 23.000 kali di Twitter sejak Minggu (08/05).
Ada
banyak pro kontra di dalamnya terutama terkait tindakan polisi yang
menangkap orang-orang yang dianggap menggunakan atribut Partai Komunis
Indonesia. Satu pengguna misalnya mengatakan pengguna atribut harus
ditindak tegas. "Jangan sampai generasi muda sekedar ikuti tren dan
apalagi dengan motif terselubung."
Lainnya mengatakan, "kalau kita
ketakutan dengan bendera ISIS, lalu apa justifikasinya menertawakan
yang takut terhadap bendera Palu Arit?"
Palu arit, yang
melambangkan kaum pekerja industri dan petani, muncul dalam Revolusi
Rusia pada 1917 dan terus digunakan (serta dimodifikasi) sebagai lambang
komunisme di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Itu menjadi
salah satu simbol komunisme yang terkuat, selain simbol bintang merah,
senapan (gerakan kiri di Arfika), dan jangkar (di Jerman Timur), kata
sejarawan.
Diajarkan di kampus
Saras
Dewi, dosen filsafat di Universitas Indonesia, menganggap bahwa
ketakutan terhadap palu arit adalah sebuah "ketakutan yang datang dari
banyak ketidaktahuan."
Komunisme dan simbol-simbolnya - dipengaruhi oleh
kuatnya doktrin rezim Orde Baru - dipersepsikan sebagai hal yang tabu
dan terlarang. Namun, tak banyak orang yang menggali jauh dari persepsi
itu dan memahami sejarahnya.
"Banyak yang tidak paham juga
komunisme itu apa. Saya merasa sikap paranoid terhadap komunisme dan
apapun yang diasosiasikan kepadanya adalah histeria yang berangkat dari
ketidaktahuan," kata Saras.
Mahasiswa di kampus, ujarnya, sudah
sejak lama belajar tentang marxisme-komunisme di dalam mata kuliahnya.
Namun, mempelajari itu tidak membuat mahasiswa terpacu untuk membuat
gerakan komunis yang anti-pancasila.
"Dosen-dosen di sini sudah
mengajar Marxisme selama 20 tahun, biasa-biasa saja, kita justru lebih
takut jika membuat diskusi terkait itu, kami digeruduk massa. Malah itu
yang menurut saya mengancam demokrasi," katanya kepada BBC Indonesia.
Secara
hukum, mempelajari komunisme diperbolehkan dalam konteks pendidikan,
tetapi dilarang jika ada upaya penyebaran paham itu di lingkungan
masyarakat.
'Ketinggalan jaman'
Gubernur
Lembaga Ketahanan Nasional Letjen Agus Widjoyo dalam wawancara kepada
BBC mengatakan persoalan terkait komunisme dan peristiwa 1965 cukup
pelik, apalagi ditambah dengan adanya desas-desus terkait upaya eks PKI
untuk melakukan acara besar
"Kalau misalnya masih kelihatan
atribut-atribut dari nostalgia, kebersamaan dalam organisasi PKI, ini
menumbuhkan kecurigaan. Penggambaran lambang-lambang komunisme, Partai
Komunis, ini menimbulkan ketidakpercayaan," katanya Agus.
Presiden
Joko Widodo sebelumnya menyatakan kalau benar ada upaya menghidupkan
lagi PKI, pemerintah akan mengambil tindakan hukum.
Namun seberapa
nyata ancaman itu? Saras Dewi meragukannya. "Lebih baik kita
mengkhawatirkan hal-hal yang lebih mengancam, seperti korupsi misalnya
dan bagaimana lembaga yang memerangi itu sedang dilemahkan. Itu ancaman
yang lebih riil buat saya, ketimbang gerakan komunisme. Saya rasa
sebagai ideologi dan struktur, (komunisme di Indonesia) itu tidak ada.
Apa yang perlu dikhawatirkan?"
Sementara itu, sejarawan dan penulis Andi Achdian
mengatakan kehebohan palu arit tak ubahnya sebagai sebuah "kekhawatiran
yang tidak perlu, tetapi dibuat perlu."
"Kesannya memang seperti
propaganda hitam, awal-awalnya ada tuntutan pemulihan hak-hak korban
1965, tapi isu tentang hak asasi manusia ini dibelokan jadi isu komunis.
Walau saya tidak bisa buktikan tapi munculnya bersamaan, dan
kisah-kisah anekdotal yang diangkat tidak kontekstual, jadi absurd,"
katanya.
Andi menilai peluang munculnya gerakan komunis selalu ada, tetapi di Indonesia tampaknya tidak bergerak ke arah sana.
"Dunia
sekarang tidak sama dengan tahun 1960-an tetapi polisi masih berpikir
tahun 1960. Potensi dari gerakan yang bercita-cita pada keadilan sosial
bisa macam-macam bentuknya, tidak hanya dengan komunisme."
"Itu
yang saya kira ketinggalan zaman, apa yang muncul di Indonesia dengan
palu aritnya. Orang sudah berpikir dengan dunia yang global. Gerakan
sudah bergerak jauh di luar imajinasi negara sendiri untuk melihat
sumber ancaman."(BBC)
loading...

Post a Comment