AMP - Eskalasi ketegangan di Papua dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan. Ini karena ada indikasi berkembangnya sebuah skenario besar untuk memisahkan Papua dari Indonesia.
Jika keliru ditangani, bukan tak mungkin eskalasi itu akan kian berdarah-darah dan membuka peluang masuknya tangan-tangan asing melakukan intervensi.
Tragedi penembakan di Paniai pada 8 Desember 2014 lalu membuktikan hal ini. Permintaan OHCHR PBB agar pemerintah Indonesia memfasilitasi tim investigasi independen untuk mengusut tragedi penembakan di Paniai adalah bentuk intervensi halus. Pasalnya, OHCHR PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan negara-negara besar, termasuk dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Metode intervensi dari luar dengan penekanan pada eskalasi ketegangan di dalam negeri juga pernah terjadi di Kosovo. Hasilnya Kosovo Merdeka dan lepas dari Serbia. Pada 17 Februari 2008 Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya dan pada 8 Oktober 2008 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi A/RES/63/3 untuk menanggapi permintaan Serbia. Resolusi ini mendorong Majelis Umum PBB untuk meminta pertimbangan kepada International Court of Justice (ICJ) mengenai kesesuaian deklarasi kemerdekaan Kosovo dengan hukum internasional.
Maka pada tahun 2010, ICJ menyatakan bahwa kemerdekaan Kosovo tidak menyalahi hukum internasional. Sejak saat itu, pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Kosovo semakin bertambah. Dan pada akhirnya, Agustus 2014 Republik Kosovo diakui oleh 110 negara.
Skenario yang dijalankan oleh Kosovo pertama-tama dilakukan dengan menggalang dukungan melalui lembaga internasional. Kata kunci yang digunakan adalah self-determination. Saat itu kata kunci ini jadi terminologi populer yang digunakan para pemberontak untuk merebut simpati.
Seakan memahami perkembangan global, Kosovo menunggangi Kosmopolitanisme moral yang semakin berkembang. Gagasan utamanya, bahwa self-determination adalah hak segala bangsa. Dengan menunggangi arus deras semacam ini, siapa pun tak dapat menolak kemerdekaan Kosovo, karena memang hak segala bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Belakangan, gagasan self-determination telah berkembang menjadi hak asasi manusia dan menjadi dasar hukum internasional. Dalam “Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and People” pada tahun 1960, Majelis Umum PBB menyatakan bahwa “Penaklukan rakyat oleh bangsa asing, dominasi, dan eksploitasi, adalah bentuk penyangkalan terhadap hak asasi manusia, dan bertentangan dengan Piagam PBB, serta merupakan penghalang bagi terciptanya kerjasama dan perdamaian dunia”.
Prinsip self-determination kemudian memperoleh status quasi konstitusional di Majelis Umum PBB dan diperkuat praktiknya oleh banyak negara. Self-determination menjadi hak asasi manusia dan dasar bagi hukum internasional. Sejak saat itu, banyak wilayah koloni mendapatkan kebebasan dan kemerdekaannya.
Merebut Perhatian Internasional
Cara yang sama juga terjadi dengan skenario yang diterapkan di Papua. Perjuangan merebut perhatian internasional menguat sejak tahun 2012 ketika Republik Federal Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaannya. Republik Federal Papua Barat (Federal Republic of West Papua) kemudian mendaftarkan proklamasi kemerdekaan mereka kepada Dewan Keamanan PBB pada Februari 2012 untuk mendapatkan pengakuan internasional. Sejak saat itu, para pendukung Papua Merdeka mulai menggunakan strategi diplomasi untuk merebut simpati internasional.
Dalam strateginya, bisa kita lihat sepak terjang Benny Wenda sejak tahun 2012 yang mulai mendekat ke AS dan melakukan upaya internasionalisasi masalah Papua. Keberlanjutan dari pendekatan tersebut kemudian adalah pada Februari 2013, Benny Wenda memulai “Freedom Tour” ke Amerika Serikat, Selandia Baru, Australia, Papua New Guinea, dan Vanuatu. Tujuan utamanya adalah untuk mem-framing isu self-determination.
Pada saat yang bersamaan, Benny Wenda dan Filep Karma masuk dalam nominasi peraih Nobel Perdamaian. Meskipun ada 250 lebih nominasi, masuknya nama Benny Wenda dan Filep Karma dipastikan mampu menarik perhatian komunitas internasional.
“Freedom Tour” merupakan kelanjutan dari kampanye “Free West Papua” yang telah dimulai oleh Wenda sejak tahun 2004 dari pengasingannya di Oxford, Inggris. Saat itu pesan utama dalam kampanyenya adalah masalah pelanggaran HAM di Papua. Dengan dukungan pemerintah lokal Oxford, Benny Wenda berhasil membuka kantor pusat “Free West Papua” di Oxford pada tahun 2013.
Pada bulan Mei 2013, Benny Wenda melanjutkan kampanye internasionalnya untuk pembebasan Papua. Benny berbicara di Sydney Opera House dalam acara TEDx, yang notabene adalah acara talkshow bonafide yang memiliki jangkauan dan pengaruh cukup signifikan.
Salah satu titik balik menguatnya misi menarik simpati internasional adalah pada 15 Agustus 2013 ketika konvoi tiga kapal Freedom Flotilla West Papua yang diawaki 15 aktivis Aborigin dan Papua berlayar dari Chairns, Australia, menuju Merauke, Papua, yang memunculkan beragam reaksi keras.
Menko Polhukam saat itu, Djoko Suyanto, menginstruksikan Panglima TNI untuk mengantisipasi kedatangan Freedom Flotilla. Pada saat yang sama Perdana Menteri Papua New Guinea Peter O’Neill juga menolak kedatangan konvoy kapal Freedom Flotilla di wilayahnya. Akibatnya, Freedom Flotilla terkatung-katung di laut.
Simpati rakyat Papua pun menguat. Sekitar 2.000 orang sempat berkumpul dalam acara berdoa bersama untuk keselamatan awak Freedom Flotilla. Sementara itu di Manokwari, 3.000 orang turun dalam aksi long march menyambut kedatangan Freedom Flotila pada 27 Agustus 2013.
Freedom Flotila yang memulai perjalanannya pada 17 Agustus 2013 dijadwalkan tiba di Papua pada 1 September 2013. Acara tersebut diisi oleh orasi-orasi politik pemimpin Republik Federal Papua Barat, di antaranya adalah Juru Bicara Perdana Menteri Federal Republik Papua Barat Jack Wanggai dan Gubernur Jenderal Markus Yenu.
Selain aksi di dalam negeri, demonstrasi di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag seakan menegaskan menguatnya jaringan internasional pendukung Papua Merdeka. Sedikitnya 60 orang berkumpul untuk mendukung konvoi kapal Freedom Flotilla.
Tidak berhenti di situ saja, internasionalisasi Papua masih terus berlanjut. Upaya lain yang juga ditempuh oleh gerakan ini adalah pada 6 Oktober 2013 tiga aktivis Papua Barat memanjat pagar Konsulat Australia di Bali untuk menyerahkan sepucuk surat yang berisi seruan kepada para pemimpin dunia yang menghadiri KTT APEC. Surat tersebut berisi permohonan untuk menekan Indonesia agar membebaskan 55 orang tahanan politik yang ditahan di penjara Papua.
Jejaring Politik Luar Negeri
Sementara itu, sejak diproklamasikan tahun 2012, Federal Republic of West Papua juga semakin memperkuat jejaring politik luar negeri mereka. Puncaknya adalah pada 4 Maret 2014, ketika Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Katokai Kalosil berpidato pada Sidang Tingkat Tinggi ke-25 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.
Dalam pidatonya, PM Vanuatu mendorong komunitas internasional untuk mendukung kemerdekaan Papua Barat. PM Vanuatu menilai bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 cacat hukum dan penuh rekayasa. Agaknya, pengakuan negara-negara pasifik terhadap Papua akan menjadi agenda penting yang segera direalisasikan.
Korelasi pengakuan negara pasifik terhadap kemerdekaan Papua tersebut juga kembali nampak pada 5 Februari lalu dengan pendaftaran ulang keanggotaan Republik Federal Papua Barat sebagai bagian dari Melanesian Sparhead Group (MSG) di Port Vila, Vanuatu. Sebelumnya, Republik Federal Papua Barat pernah mendaftarkan keanggotaan dalam MSG Summit di Noumea pada tahun 2013, namun lantaran tidak ada unifikasi kelompok-kelompok perlawanan di Papua Barat, pendaftaran keanggotaan MSG tersebut ditolak.
Belakangan, dengan dukungan pemerintah Vanuatu dan Dewan Gereja Pasifik, tiga faksi OPM berhasil melakukan unifikasi di Port Villa dan membentuk United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) pada 6 Desember 2014. Unifikasi yang dikenal dengan sebagai “Deklarasi Saralana” ini adalah respon terhadap rekomendasi MSG Summit di Noumea tahun 2013 dan sekaligus untuk memuluskan pendaftaran Republik Federal Papua Barat sebagai anggota MSG.
Sejak awal, yang dilakukan oleh pendukung Papua Merdeka di pengasingan adalah merebut perhatian internasional. Bisa kita lihat sepak terjang organ-organ pendukung Papua Merdeka, dapat dipastikan bahwa skenario Kosovo adalah skenario besar yang kini sedang berjalan di Papua.
Sejak dua tahun belakangan, pergerakan pendukung Papua Merdeka mulai memperkuat posisi mereka di level internasional. Jika skenario ini mulus, maka tinggal menunggu waktu untuk Papua mengikuti jejak Kosovo: Merdeka dengan bantuan pisang dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pertanyaannya kini relakah bangsa kita dicerai-beraikan oleh pihak asing? Inilah salah satu PR besar pemerintahan Jokowi-JK!(indonesianreview.com)
Jika keliru ditangani, bukan tak mungkin eskalasi itu akan kian berdarah-darah dan membuka peluang masuknya tangan-tangan asing melakukan intervensi.
Tragedi penembakan di Paniai pada 8 Desember 2014 lalu membuktikan hal ini. Permintaan OHCHR PBB agar pemerintah Indonesia memfasilitasi tim investigasi independen untuk mengusut tragedi penembakan di Paniai adalah bentuk intervensi halus. Pasalnya, OHCHR PBB tidak akan pernah steril dari kepentingan negara-negara besar, termasuk dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Metode intervensi dari luar dengan penekanan pada eskalasi ketegangan di dalam negeri juga pernah terjadi di Kosovo. Hasilnya Kosovo Merdeka dan lepas dari Serbia. Pada 17 Februari 2008 Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya dan pada 8 Oktober 2008 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi A/RES/63/3 untuk menanggapi permintaan Serbia. Resolusi ini mendorong Majelis Umum PBB untuk meminta pertimbangan kepada International Court of Justice (ICJ) mengenai kesesuaian deklarasi kemerdekaan Kosovo dengan hukum internasional.
Maka pada tahun 2010, ICJ menyatakan bahwa kemerdekaan Kosovo tidak menyalahi hukum internasional. Sejak saat itu, pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Kosovo semakin bertambah. Dan pada akhirnya, Agustus 2014 Republik Kosovo diakui oleh 110 negara.
Skenario yang dijalankan oleh Kosovo pertama-tama dilakukan dengan menggalang dukungan melalui lembaga internasional. Kata kunci yang digunakan adalah self-determination. Saat itu kata kunci ini jadi terminologi populer yang digunakan para pemberontak untuk merebut simpati.
Seakan memahami perkembangan global, Kosovo menunggangi Kosmopolitanisme moral yang semakin berkembang. Gagasan utamanya, bahwa self-determination adalah hak segala bangsa. Dengan menunggangi arus deras semacam ini, siapa pun tak dapat menolak kemerdekaan Kosovo, karena memang hak segala bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Belakangan, gagasan self-determination telah berkembang menjadi hak asasi manusia dan menjadi dasar hukum internasional. Dalam “Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and People” pada tahun 1960, Majelis Umum PBB menyatakan bahwa “Penaklukan rakyat oleh bangsa asing, dominasi, dan eksploitasi, adalah bentuk penyangkalan terhadap hak asasi manusia, dan bertentangan dengan Piagam PBB, serta merupakan penghalang bagi terciptanya kerjasama dan perdamaian dunia”.
Prinsip self-determination kemudian memperoleh status quasi konstitusional di Majelis Umum PBB dan diperkuat praktiknya oleh banyak negara. Self-determination menjadi hak asasi manusia dan dasar bagi hukum internasional. Sejak saat itu, banyak wilayah koloni mendapatkan kebebasan dan kemerdekaannya.
Merebut Perhatian Internasional
Cara yang sama juga terjadi dengan skenario yang diterapkan di Papua. Perjuangan merebut perhatian internasional menguat sejak tahun 2012 ketika Republik Federal Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaannya. Republik Federal Papua Barat (Federal Republic of West Papua) kemudian mendaftarkan proklamasi kemerdekaan mereka kepada Dewan Keamanan PBB pada Februari 2012 untuk mendapatkan pengakuan internasional. Sejak saat itu, para pendukung Papua Merdeka mulai menggunakan strategi diplomasi untuk merebut simpati internasional.
Dalam strateginya, bisa kita lihat sepak terjang Benny Wenda sejak tahun 2012 yang mulai mendekat ke AS dan melakukan upaya internasionalisasi masalah Papua. Keberlanjutan dari pendekatan tersebut kemudian adalah pada Februari 2013, Benny Wenda memulai “Freedom Tour” ke Amerika Serikat, Selandia Baru, Australia, Papua New Guinea, dan Vanuatu. Tujuan utamanya adalah untuk mem-framing isu self-determination.
Pada saat yang bersamaan, Benny Wenda dan Filep Karma masuk dalam nominasi peraih Nobel Perdamaian. Meskipun ada 250 lebih nominasi, masuknya nama Benny Wenda dan Filep Karma dipastikan mampu menarik perhatian komunitas internasional.
“Freedom Tour” merupakan kelanjutan dari kampanye “Free West Papua” yang telah dimulai oleh Wenda sejak tahun 2004 dari pengasingannya di Oxford, Inggris. Saat itu pesan utama dalam kampanyenya adalah masalah pelanggaran HAM di Papua. Dengan dukungan pemerintah lokal Oxford, Benny Wenda berhasil membuka kantor pusat “Free West Papua” di Oxford pada tahun 2013.
Pada bulan Mei 2013, Benny Wenda melanjutkan kampanye internasionalnya untuk pembebasan Papua. Benny berbicara di Sydney Opera House dalam acara TEDx, yang notabene adalah acara talkshow bonafide yang memiliki jangkauan dan pengaruh cukup signifikan.
Salah satu titik balik menguatnya misi menarik simpati internasional adalah pada 15 Agustus 2013 ketika konvoi tiga kapal Freedom Flotilla West Papua yang diawaki 15 aktivis Aborigin dan Papua berlayar dari Chairns, Australia, menuju Merauke, Papua, yang memunculkan beragam reaksi keras.
Menko Polhukam saat itu, Djoko Suyanto, menginstruksikan Panglima TNI untuk mengantisipasi kedatangan Freedom Flotilla. Pada saat yang sama Perdana Menteri Papua New Guinea Peter O’Neill juga menolak kedatangan konvoy kapal Freedom Flotilla di wilayahnya. Akibatnya, Freedom Flotilla terkatung-katung di laut.
Simpati rakyat Papua pun menguat. Sekitar 2.000 orang sempat berkumpul dalam acara berdoa bersama untuk keselamatan awak Freedom Flotilla. Sementara itu di Manokwari, 3.000 orang turun dalam aksi long march menyambut kedatangan Freedom Flotila pada 27 Agustus 2013.
Freedom Flotila yang memulai perjalanannya pada 17 Agustus 2013 dijadwalkan tiba di Papua pada 1 September 2013. Acara tersebut diisi oleh orasi-orasi politik pemimpin Republik Federal Papua Barat, di antaranya adalah Juru Bicara Perdana Menteri Federal Republik Papua Barat Jack Wanggai dan Gubernur Jenderal Markus Yenu.
Selain aksi di dalam negeri, demonstrasi di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag seakan menegaskan menguatnya jaringan internasional pendukung Papua Merdeka. Sedikitnya 60 orang berkumpul untuk mendukung konvoi kapal Freedom Flotilla.
Tidak berhenti di situ saja, internasionalisasi Papua masih terus berlanjut. Upaya lain yang juga ditempuh oleh gerakan ini adalah pada 6 Oktober 2013 tiga aktivis Papua Barat memanjat pagar Konsulat Australia di Bali untuk menyerahkan sepucuk surat yang berisi seruan kepada para pemimpin dunia yang menghadiri KTT APEC. Surat tersebut berisi permohonan untuk menekan Indonesia agar membebaskan 55 orang tahanan politik yang ditahan di penjara Papua.
Jejaring Politik Luar Negeri
Sementara itu, sejak diproklamasikan tahun 2012, Federal Republic of West Papua juga semakin memperkuat jejaring politik luar negeri mereka. Puncaknya adalah pada 4 Maret 2014, ketika Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Katokai Kalosil berpidato pada Sidang Tingkat Tinggi ke-25 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.
Dalam pidatonya, PM Vanuatu mendorong komunitas internasional untuk mendukung kemerdekaan Papua Barat. PM Vanuatu menilai bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 cacat hukum dan penuh rekayasa. Agaknya, pengakuan negara-negara pasifik terhadap Papua akan menjadi agenda penting yang segera direalisasikan.
Korelasi pengakuan negara pasifik terhadap kemerdekaan Papua tersebut juga kembali nampak pada 5 Februari lalu dengan pendaftaran ulang keanggotaan Republik Federal Papua Barat sebagai bagian dari Melanesian Sparhead Group (MSG) di Port Vila, Vanuatu. Sebelumnya, Republik Federal Papua Barat pernah mendaftarkan keanggotaan dalam MSG Summit di Noumea pada tahun 2013, namun lantaran tidak ada unifikasi kelompok-kelompok perlawanan di Papua Barat, pendaftaran keanggotaan MSG tersebut ditolak.
Belakangan, dengan dukungan pemerintah Vanuatu dan Dewan Gereja Pasifik, tiga faksi OPM berhasil melakukan unifikasi di Port Villa dan membentuk United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) pada 6 Desember 2014. Unifikasi yang dikenal dengan sebagai “Deklarasi Saralana” ini adalah respon terhadap rekomendasi MSG Summit di Noumea tahun 2013 dan sekaligus untuk memuluskan pendaftaran Republik Federal Papua Barat sebagai anggota MSG.
Sejak awal, yang dilakukan oleh pendukung Papua Merdeka di pengasingan adalah merebut perhatian internasional. Bisa kita lihat sepak terjang organ-organ pendukung Papua Merdeka, dapat dipastikan bahwa skenario Kosovo adalah skenario besar yang kini sedang berjalan di Papua.
Sejak dua tahun belakangan, pergerakan pendukung Papua Merdeka mulai memperkuat posisi mereka di level internasional. Jika skenario ini mulus, maka tinggal menunggu waktu untuk Papua mengikuti jejak Kosovo: Merdeka dengan bantuan pisang dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pertanyaannya kini relakah bangsa kita dicerai-beraikan oleh pihak asing? Inilah salah satu PR besar pemerintahan Jokowi-JK!(indonesianreview.com)
loading...
Post a Comment