AMP - Pengungkapan jejaring teroris Bom Bali Amrozi Cs tidak membuat kelompok-kelompok teroris meredup. Sel-sel teroris muncul di beberapa daerah. Meski bergerak dalam kelompok kecil, mereka berupa menunjukan tajinya. Target yang disasar adalah aparat dan objek-objek domestik dengan 'kemasan' jihad melawan Thagut.
Terbongkarnya pelatihan para militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh 2010 lalu membuat sel-sel yang tersisa memilih daerah lain sebagai penegakan Daulah Islamiyah. Poso terpilih sebagai daerah dalam upaya menegakan cita-cita kelompok teroris tersebut sekaligus penyaluran hasrat para 'jihadi' setelah kegagalan di Jantho, Aceh Besar.
Sedikit mengulas, dalam pengungkapan di Jantho, 59 teroris yang tengah berlatih para militer ditangkap. 13 orang tewas termasuk Dulmatin, salah seorang di balik Bom Bali 2002 yang pernah ikut dalam pemberontakan di Mindanaou, Filipina Selatan. Namun, tidak sedikit juga yang melarikan diri dalam penggerebekan tersebut.
Polri lalu mengembangkan kasus ini dan menangkap dan memejahijaukan Abu Bakar Baasyir, pimpinan Pondok Pesantren Ngruki, Jawa Timur. Baasyir dianggap sebagai dalang dan pendana pelatihan para militer di Aceh. Hakim memvonis Baasyir 15 tahun penjara. Saat ini, mantan Pimpinan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) masih mengupayakan nasibnya melalui upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Gerakan Poso mengibarkan bendera mereka dengan sebutan Mujahiddin Indonesia Timur (MIT). Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan, adalah Santoso, Abu Tholut, dan Ustadz Yasin berada di balik berdirinya gerakan tersebut pada 2010-2011.
"Abu Tholut datang ke Poso untuk berdakwah. Dia bertemu dengan Ustadz Yasin dan Santoso. Dalam pertemuan itu keduanya mengeluh bahwa situasi jihad di Poso sedang lesu. Maka muncullah kembali gagasan menghidupkan cita-cita mendirikan negara Islam di Poso," kata Ansyaad dalam 'Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia'.
Gagasan itu lalu diterima. Santoso, Abu Tholut, serta Yasin mempersiapkan segala perangkat kebutuhan kelompok. Salah satunya adalah pelatihan militer yang merekrut individu-individu yang kelak menjadi bagian dari jihadis.
Selain kebutuhan kader-kader asykariy, kelompok yang dibangun Santoso juga memerlukan senjata-senjata. 2010 Santoso berhasil membeli beberapa pucuk senjata. Senjata didapat, pelatihan militer pun digelar. Beberapa wilayah pegunungan di Poso menjadi markas sekaligus wilayah pertahanan kelompok ini. Seperti di Gunung Mauro di Tambrana, Poso Pesisir Selatan, serta Gunung Biru, Tamanjeka, di Kabupaten Morowali.
Perekrutan terus berjalan. Jumlah kader asykariy juga terus bertambah. Sekitar 50-an orang bergabung dengan kelompok yang dibentuk Santoso Cs ini. Dirasa jumlah yang akan dikader cukup, Santoso mulai mencari cara untuk menambah persenjataannya.
"Saat itu Santoso Cs hanya mempunyai beberapa pucuk senjata. Sementara dana pun tidak ada," kata Ansyaad.
Lalu, Santoso mengajak beberapa tangan kanannya saat itu, Aryanto Haluta dan Rafli, untuk mencari senjata dengan berbagai cara. "Termasuk merampas dari polisi," ujar dia.
Tidak hanya merampas, mereka juga diperkenankan untuk membunuh aparat sebagai aksi balas dendam karena memberangus jejaring teroris.
Rabu 25 Mei 2011, kelompok Santoso menembak mati 2 polisi dan melukai seorang personel lainnya yang sedang berjaga di BCA Palu. "2 pucuk senjata dibawa kabur mereka," terang Ansyaad.
Namun, pelarian keduanya tidak berlangsung lama. Polisi membekuk keduanya dalam hitungan jam. Pengembangan penyidikan, polisi mengejar dan menembak mati 2 kelompok Santoso, Fauzan dan Faruq.
Dari pengakuan tangan kanan Santoso yang tertangkap itu diketahui adanya pelatihan militer di Poso yang dipimpin Santoso alias Abu Wardah. Orang-orang terdekat Santoso juga ikut dibekuk. Penyidikan dan penangkapan merembet ke luar Poso.
Sampai akhirnya buron pelarian pelatihan para militer Aceh, Imam Rosyidi dan Heru Kuncoro, ikut ditangkap.
Bermula dari sini polisi memasukan Santoso ke Daftar Pencarian Orang (DPO). Sementara pelatihan militer yang sudah disiapkan terpaksa dihentikan karena Santoso harus menyembunyikan dirinya dari kejaran aparat. Pencarian aparat dan perlawanan Santoso pun dimulai.(Liputan6.com)
Terbongkarnya pelatihan para militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh 2010 lalu membuat sel-sel yang tersisa memilih daerah lain sebagai penegakan Daulah Islamiyah. Poso terpilih sebagai daerah dalam upaya menegakan cita-cita kelompok teroris tersebut sekaligus penyaluran hasrat para 'jihadi' setelah kegagalan di Jantho, Aceh Besar.
Sedikit mengulas, dalam pengungkapan di Jantho, 59 teroris yang tengah berlatih para militer ditangkap. 13 orang tewas termasuk Dulmatin, salah seorang di balik Bom Bali 2002 yang pernah ikut dalam pemberontakan di Mindanaou, Filipina Selatan. Namun, tidak sedikit juga yang melarikan diri dalam penggerebekan tersebut.
Polri lalu mengembangkan kasus ini dan menangkap dan memejahijaukan Abu Bakar Baasyir, pimpinan Pondok Pesantren Ngruki, Jawa Timur. Baasyir dianggap sebagai dalang dan pendana pelatihan para militer di Aceh. Hakim memvonis Baasyir 15 tahun penjara. Saat ini, mantan Pimpinan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) masih mengupayakan nasibnya melalui upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Gerakan Poso mengibarkan bendera mereka dengan sebutan Mujahiddin Indonesia Timur (MIT). Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan, adalah Santoso, Abu Tholut, dan Ustadz Yasin berada di balik berdirinya gerakan tersebut pada 2010-2011.
"Abu Tholut datang ke Poso untuk berdakwah. Dia bertemu dengan Ustadz Yasin dan Santoso. Dalam pertemuan itu keduanya mengeluh bahwa situasi jihad di Poso sedang lesu. Maka muncullah kembali gagasan menghidupkan cita-cita mendirikan negara Islam di Poso," kata Ansyaad dalam 'Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia'.
Gagasan itu lalu diterima. Santoso, Abu Tholut, serta Yasin mempersiapkan segala perangkat kebutuhan kelompok. Salah satunya adalah pelatihan militer yang merekrut individu-individu yang kelak menjadi bagian dari jihadis.
Selain kebutuhan kader-kader asykariy, kelompok yang dibangun Santoso juga memerlukan senjata-senjata. 2010 Santoso berhasil membeli beberapa pucuk senjata. Senjata didapat, pelatihan militer pun digelar. Beberapa wilayah pegunungan di Poso menjadi markas sekaligus wilayah pertahanan kelompok ini. Seperti di Gunung Mauro di Tambrana, Poso Pesisir Selatan, serta Gunung Biru, Tamanjeka, di Kabupaten Morowali.
Perekrutan terus berjalan. Jumlah kader asykariy juga terus bertambah. Sekitar 50-an orang bergabung dengan kelompok yang dibentuk Santoso Cs ini. Dirasa jumlah yang akan dikader cukup, Santoso mulai mencari cara untuk menambah persenjataannya.
"Saat itu Santoso Cs hanya mempunyai beberapa pucuk senjata. Sementara dana pun tidak ada," kata Ansyaad.
Lalu, Santoso mengajak beberapa tangan kanannya saat itu, Aryanto Haluta dan Rafli, untuk mencari senjata dengan berbagai cara. "Termasuk merampas dari polisi," ujar dia.
Tidak hanya merampas, mereka juga diperkenankan untuk membunuh aparat sebagai aksi balas dendam karena memberangus jejaring teroris.
Rabu 25 Mei 2011, kelompok Santoso menembak mati 2 polisi dan melukai seorang personel lainnya yang sedang berjaga di BCA Palu. "2 pucuk senjata dibawa kabur mereka," terang Ansyaad.
Namun, pelarian keduanya tidak berlangsung lama. Polisi membekuk keduanya dalam hitungan jam. Pengembangan penyidikan, polisi mengejar dan menembak mati 2 kelompok Santoso, Fauzan dan Faruq.
Dari pengakuan tangan kanan Santoso yang tertangkap itu diketahui adanya pelatihan militer di Poso yang dipimpin Santoso alias Abu Wardah. Orang-orang terdekat Santoso juga ikut dibekuk. Penyidikan dan penangkapan merembet ke luar Poso.
Sampai akhirnya buron pelarian pelatihan para militer Aceh, Imam Rosyidi dan Heru Kuncoro, ikut ditangkap.
Bermula dari sini polisi memasukan Santoso ke Daftar Pencarian Orang (DPO). Sementara pelatihan militer yang sudah disiapkan terpaksa dihentikan karena Santoso harus menyembunyikan dirinya dari kejaran aparat. Pencarian aparat dan perlawanan Santoso pun dimulai.(Liputan6.com)
loading...
Post a Comment