AMP - “Keledai pun tak akan terperosok di lubang yang sama dua kali.” Itu adalah pepatah yang sering kita dengar. Pepatah ini mengingatkan kita untuk tidak mengulangi kesalahan. Mengulangi kesalahan artinya kita tidak belajar dari pengalaman. Orang yang tidak sanggup mengambil pelajaran adalah orang yang bodoh, lebih bodoh dari keledai.
Kita sering mendengar istilah daerah langganan banjir. Kita sebut langganan, artinya banjir itu terjadi berulang-ulang. Kita menerima kenyataan banjir yang berulang itu, menganggapnya wajar sebagaimana terbitnya matahari setiap pagi. Banjir kita anggap sebagai sebuah kewajaran belaka? Kenapa begitu? Karena selama ini memang tidak ada usaha serius yang memadai. Istilah langganan banjir sebenarnya ekspresi kepasrahan dalam frustrasi kita terhadap bencana yang tak kunjung bisa diatasi.
Apa sebab banjir? Biasanya banjir disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya air sungai yang meluap. Hujan lebat di daerah hulu sungai menyebabkan air melimpah ruah, naik ke daratan. Yang pertama kena adalah daerah di tepi sungai. Banjir akan lebih parah kalau sungai tak berfungsi sebagaimana mestinya. Bisa karena pendangkalan, penyempitan, atau penyumbatan.
Ada pula banjir yang terjadi di daerah yang jauh dari sungai. Biasanya ini daerah padat bangunan, tidak ada ruang terbuka yang bisa jadi tempat permukaan tanah menyerap air, karena seluruh permukaan sudah tertutup oleh beton dan aspal. Lalu tidak ada pula saluran yang memadai untuk mengalirkan air. Kalau hujan turun, air langsung menggenang.
Banjir bisa diatasi dengan melancarkan arus sungai. Kotoran yang menyumbat diaangkat, tempat yang dangkal dikeruk, demikian pula tempat-tempat di mana terjadi penyempitan. Proses ini biasa disebut normalisasi sungai. Daerah yang banjir karena kurangnya saluran, bisa diperbaiki dengan membuat saluran (got) yang memadai. Bisa pula dibuatkan waduk untuk menampung air, sehingga tidak menggenangi pemukiman. Daerah yang tidak mungkin terhindar dari banjir, apa boleh buat, harus dikosongkan, tidak boleh lagi jadi kawasan pemukiman.
Jadi sebenarnya tidak ada daerah yang bisa kita sebut daerah langganan banjir. itu adalah istilah salah nalar, istilah orang frustrasi. Yang ada hanyalah daerah yang dipimpin oleh pemimpin yang lebih bodoh dari keledai. Ia tahu daerahnya sering terjadi banjir, tapi ia tidak melakukan tindakan memadai untuk mengatasinya. Terlebih, ia menggantungkan semua pada Tuhan, berharap Tuhan tidak menurunkan hujan yang membuat banjir. Kalau hujan tidak turun, sehingga terjadi kekeringan, lagi-lagi ia berharap Tuhan yang menyelesaikan masalahnya. Ini adalah pemimpin berotak keledai religius.
Orang seperti ini tidak boleh dipilih sebagai pemimpin. Kalau ia terpilih lagi maka rakyatnya kemungkinan besar adalah para keledai juga.(abdurakhman.com)
Kita sering mendengar istilah daerah langganan banjir. Kita sebut langganan, artinya banjir itu terjadi berulang-ulang. Kita menerima kenyataan banjir yang berulang itu, menganggapnya wajar sebagaimana terbitnya matahari setiap pagi. Banjir kita anggap sebagai sebuah kewajaran belaka? Kenapa begitu? Karena selama ini memang tidak ada usaha serius yang memadai. Istilah langganan banjir sebenarnya ekspresi kepasrahan dalam frustrasi kita terhadap bencana yang tak kunjung bisa diatasi.
Apa sebab banjir? Biasanya banjir disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya air sungai yang meluap. Hujan lebat di daerah hulu sungai menyebabkan air melimpah ruah, naik ke daratan. Yang pertama kena adalah daerah di tepi sungai. Banjir akan lebih parah kalau sungai tak berfungsi sebagaimana mestinya. Bisa karena pendangkalan, penyempitan, atau penyumbatan.
Ada pula banjir yang terjadi di daerah yang jauh dari sungai. Biasanya ini daerah padat bangunan, tidak ada ruang terbuka yang bisa jadi tempat permukaan tanah menyerap air, karena seluruh permukaan sudah tertutup oleh beton dan aspal. Lalu tidak ada pula saluran yang memadai untuk mengalirkan air. Kalau hujan turun, air langsung menggenang.
Banjir bisa diatasi dengan melancarkan arus sungai. Kotoran yang menyumbat diaangkat, tempat yang dangkal dikeruk, demikian pula tempat-tempat di mana terjadi penyempitan. Proses ini biasa disebut normalisasi sungai. Daerah yang banjir karena kurangnya saluran, bisa diperbaiki dengan membuat saluran (got) yang memadai. Bisa pula dibuatkan waduk untuk menampung air, sehingga tidak menggenangi pemukiman. Daerah yang tidak mungkin terhindar dari banjir, apa boleh buat, harus dikosongkan, tidak boleh lagi jadi kawasan pemukiman.
Jadi sebenarnya tidak ada daerah yang bisa kita sebut daerah langganan banjir. itu adalah istilah salah nalar, istilah orang frustrasi. Yang ada hanyalah daerah yang dipimpin oleh pemimpin yang lebih bodoh dari keledai. Ia tahu daerahnya sering terjadi banjir, tapi ia tidak melakukan tindakan memadai untuk mengatasinya. Terlebih, ia menggantungkan semua pada Tuhan, berharap Tuhan tidak menurunkan hujan yang membuat banjir. Kalau hujan tidak turun, sehingga terjadi kekeringan, lagi-lagi ia berharap Tuhan yang menyelesaikan masalahnya. Ini adalah pemimpin berotak keledai religius.
Orang seperti ini tidak boleh dipilih sebagai pemimpin. Kalau ia terpilih lagi maka rakyatnya kemungkinan besar adalah para keledai juga.(abdurakhman.com)
loading...
Post a Comment