AMP - Seni di Aceh masih dalam keadaan sakit. Penyakit yang sepertinya kronis ini hampir tidak bisa disembuhkan dalam waktu dekat. Dalam dunia musik, penyakit utama adalah penjiplakan, menjiplak irama lagu orang lain di luar Aceh dan menyebutnya lagu sendiri, dan orang-orang di Aceh pun mahu mendengarkannya.
Penjiplakan itu telah dimulai sejak orang Aceh memulai rekam suara di industri rekaman. Sejak zaman Ibnoe Arhas sampai kini Bergek, jiplak menjiplak itu masih terjadi. Kehadiran AIRA (Asosiasi Industri Rekaman Aceh), tidak memperbaiki keadaan tersebut. Keberadaan Dewan Kesenian Aceh (DKA) pun tidak berarti untuk mengatasinya.
Dalam dunia sastra (kepenulisan) penyakit jiplak ini pun ada, pernah dilakukan oleh orang yang bukan lagi pemula, dan dalam sebuah penghargaan oleh pemerintah Aceh, orang ini pun dapat ‘anugrah’, bahkan lebih dari satu lagi (?). Penjiplak diberi penghargaan? Khusus dalam hal tersebut, Aceh, di mana letak peradaban kita.
Dalam dunia perfileman juga begitu. Musik dan lagu di dalamnya diambil secara sembarangan tanpa izin dari pencipta atau perusahaan pemegang hak siarnya. Film lawak (komedi) yang paling terkenal di Aceh diwarnai dengan jiplakan itu, dari musik pengiring sampai nyanyiannya. Sama seperti lagu, masyarakat pun menyukainya (?). Penghargaan kita untuk hak cipta orang masih rendah.
Selama kita masih menipu dengan mengatakan karya orang lain sebagai karya sendiri, maka dunia seni di Aceh tidak bisa bangkit. Yang bangkit hanyalah produser lagu dan film jiplak, palsu serta beberapa orang artisnya. Mendengarkan nyanyian dan menyaksikan film berisi jiplakan sama artinya dengan mendukung pencuri. Itu kejahatan intelektual.
Penjiplakan-penjiplakan yang bertubi-tubi tersebut telah memperburuk dunia seni Aceh yang pada kenyataannya memang belum dilihat sebagai dunia yang berkelas.
Perlu usaha keras untuk menghapus cap jiplak untuk Aceh yang telah dilumuri oleh para penjiplak hanya untuk alasan kemasyhuran dan belanja, Aceh perlu melahirkan karya asli dan bermutu sebanyak mungkin.
Dan teruntuk masyarakat Aceh, sebaiknya kita menghidari dan menjauhi hasil jiplakan, walaupun suka, namun jauhilah. Itulah satu-satunya cara menghentikan perbuatan yang memalukan dunia seni kita tersebut. Bukankah kita bangsa beradab?
Penulis: Thayeb Loh Angen, Kepala Sekolah Hamzah Fansuri, jurnalis, penulis, aktivis kebudayaan.
Penjiplakan itu telah dimulai sejak orang Aceh memulai rekam suara di industri rekaman. Sejak zaman Ibnoe Arhas sampai kini Bergek, jiplak menjiplak itu masih terjadi. Kehadiran AIRA (Asosiasi Industri Rekaman Aceh), tidak memperbaiki keadaan tersebut. Keberadaan Dewan Kesenian Aceh (DKA) pun tidak berarti untuk mengatasinya.
Dalam dunia sastra (kepenulisan) penyakit jiplak ini pun ada, pernah dilakukan oleh orang yang bukan lagi pemula, dan dalam sebuah penghargaan oleh pemerintah Aceh, orang ini pun dapat ‘anugrah’, bahkan lebih dari satu lagi (?). Penjiplak diberi penghargaan? Khusus dalam hal tersebut, Aceh, di mana letak peradaban kita.
Dalam dunia perfileman juga begitu. Musik dan lagu di dalamnya diambil secara sembarangan tanpa izin dari pencipta atau perusahaan pemegang hak siarnya. Film lawak (komedi) yang paling terkenal di Aceh diwarnai dengan jiplakan itu, dari musik pengiring sampai nyanyiannya. Sama seperti lagu, masyarakat pun menyukainya (?). Penghargaan kita untuk hak cipta orang masih rendah.
Selama kita masih menipu dengan mengatakan karya orang lain sebagai karya sendiri, maka dunia seni di Aceh tidak bisa bangkit. Yang bangkit hanyalah produser lagu dan film jiplak, palsu serta beberapa orang artisnya. Mendengarkan nyanyian dan menyaksikan film berisi jiplakan sama artinya dengan mendukung pencuri. Itu kejahatan intelektual.
Penjiplakan-penjiplakan yang bertubi-tubi tersebut telah memperburuk dunia seni Aceh yang pada kenyataannya memang belum dilihat sebagai dunia yang berkelas.
Perlu usaha keras untuk menghapus cap jiplak untuk Aceh yang telah dilumuri oleh para penjiplak hanya untuk alasan kemasyhuran dan belanja, Aceh perlu melahirkan karya asli dan bermutu sebanyak mungkin.
Dan teruntuk masyarakat Aceh, sebaiknya kita menghidari dan menjauhi hasil jiplakan, walaupun suka, namun jauhilah. Itulah satu-satunya cara menghentikan perbuatan yang memalukan dunia seni kita tersebut. Bukankah kita bangsa beradab?
Penulis: Thayeb Loh Angen, Kepala Sekolah Hamzah Fansuri, jurnalis, penulis, aktivis kebudayaan.
Dikutip: portalsatu.com
loading...
Post a Comment