AMP - Legislator Papua, Laurenzus Kadepa menyatakan, Papua dan Aceh sama-sama memiliki UU Otonomi Khusus (Otsus). Namun pemerintah pusat memandang kedua wilayah itu dari sudut berbeda. Aceh seolah diberi keleluasan lebih dari Papua.
Hal itu dikatakan Kadepa terkait ‘pengibaran’ bendera Bulan Bintang dalam rapat resmi DPR Aceh beberapa pekan lalu. Dalam rapat itu, sejumlah legislator Aceh membentangkan bendera Bulan Bintang, lambang daerah tersebut yang selama ini identik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Kalau pengibaran Bintang Kejora (BK) dilakukan dalam sidang di DPR Papua seperti yang telah di lakukan oleh DPR Aceh, saya yakin TNI/Polri atas nama negara pasti bertindak brutal. Kemungkinan akan ada nyawa yang korban. Kalau saja Papua sebebas Aceh, itu adil karena sama-sama memiliki kewenangan khusus. Namun ada perbedaan sangat jauh selama ini. Kami selalu mengikuti kebijakan negara yang berbau diskriminasi dan rasial,” kata Kadepa kepada Jubi, Kamis (10/3/2016).
Menurutnya, bendera Bulan Bintang sama dengan bendera Bintang Kejora di Papua. Ia menilai itu bagian dari diskriminasi.
“Ketika Gusdur menjabat Presiden RI, ia memberi kebebasan untuk simbol daerah. Ia mengganggap itu kekuatan kultur. Hanya saja itu sulit dilanjutkan para presiden setelah Gusdur,” ucapnya.
Ia mencontohkan ketika Koran Jubi memuat headline dengan ilustrasi bendera Bintang Kejora yang latar belakangnya gedung DPR Papua. Hal itu menuai beragam tanggapan. Ada yang menyebut kantor OPM dan sebagainya.
“Padahal itu hanya ilustrasi. Bagaimana kalau benar-benar berkibar? Isi berita Jubi juga ketika itu memuat komentar Ketua DPR Papua yang mengingatkan TNI/Polri bertindak hati-hati menjalankan tugas. Jangan sampai mengorbankan masyarakat tak bersalah, menjelang 1 Juli 2015, yang selama ini diperingati orang asli Papua sebagai HUT OPM,” katanya.
Dikutip dari berbagai media online, beberapa hari lalu, Sejumlah anggota DPR Aceh sempat membentangkan bendera bergambar bulan dan bintang saat membahas Qanun Bendera dan Lambang. Bendera tersebut berukuran 3×1 meter. Bendera itu diterima langsung oleh Ketua DPR Aceh Tgk. Muharrudin kemarin.
“Secara keseluruhan itu terangkum dalam implementasi MoU Helsinki dan UUPA. Kita fokus soal pengibarannya. Rapat dalam forum tadi juga berkembang yang menekankan soal kejelasan pengibaran bendera Aceh harus tuntas. Jika tidak, maka kami akan menolak Pilkada di Aceh,” kata Ketua Komisi I DPR Aceh Abdullah Shaleh.
Pihaknya mendesak Gubernur Aceh tidak membahasnya lagi, namun untuk mengimplementasikan pengibaran bendera Aceh. Bendera Aceh ini kata dia adalah simbol Aceh, maka sangat perlu untuk segera dikibarkan.
“Persoalannya sekarang adalah implementasinya. Pusat sepertinya masih ada keraguan dalam hal ini. Seharusnya pusat tak perlu lagi ragu. Setelah ini diimplementasikan, barulah kita fokuskan pada pembangunan untuk kebangkitan Aceh,” ucap Abdullah. (Arjuna Pademme/ tabloidjubi.com)
Hal itu dikatakan Kadepa terkait ‘pengibaran’ bendera Bulan Bintang dalam rapat resmi DPR Aceh beberapa pekan lalu. Dalam rapat itu, sejumlah legislator Aceh membentangkan bendera Bulan Bintang, lambang daerah tersebut yang selama ini identik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Kalau pengibaran Bintang Kejora (BK) dilakukan dalam sidang di DPR Papua seperti yang telah di lakukan oleh DPR Aceh, saya yakin TNI/Polri atas nama negara pasti bertindak brutal. Kemungkinan akan ada nyawa yang korban. Kalau saja Papua sebebas Aceh, itu adil karena sama-sama memiliki kewenangan khusus. Namun ada perbedaan sangat jauh selama ini. Kami selalu mengikuti kebijakan negara yang berbau diskriminasi dan rasial,” kata Kadepa kepada Jubi, Kamis (10/3/2016).
Menurutnya, bendera Bulan Bintang sama dengan bendera Bintang Kejora di Papua. Ia menilai itu bagian dari diskriminasi.
“Ketika Gusdur menjabat Presiden RI, ia memberi kebebasan untuk simbol daerah. Ia mengganggap itu kekuatan kultur. Hanya saja itu sulit dilanjutkan para presiden setelah Gusdur,” ucapnya.
Ia mencontohkan ketika Koran Jubi memuat headline dengan ilustrasi bendera Bintang Kejora yang latar belakangnya gedung DPR Papua. Hal itu menuai beragam tanggapan. Ada yang menyebut kantor OPM dan sebagainya.
“Padahal itu hanya ilustrasi. Bagaimana kalau benar-benar berkibar? Isi berita Jubi juga ketika itu memuat komentar Ketua DPR Papua yang mengingatkan TNI/Polri bertindak hati-hati menjalankan tugas. Jangan sampai mengorbankan masyarakat tak bersalah, menjelang 1 Juli 2015, yang selama ini diperingati orang asli Papua sebagai HUT OPM,” katanya.
Dikutip dari berbagai media online, beberapa hari lalu, Sejumlah anggota DPR Aceh sempat membentangkan bendera bergambar bulan dan bintang saat membahas Qanun Bendera dan Lambang. Bendera tersebut berukuran 3×1 meter. Bendera itu diterima langsung oleh Ketua DPR Aceh Tgk. Muharrudin kemarin.
“Secara keseluruhan itu terangkum dalam implementasi MoU Helsinki dan UUPA. Kita fokus soal pengibarannya. Rapat dalam forum tadi juga berkembang yang menekankan soal kejelasan pengibaran bendera Aceh harus tuntas. Jika tidak, maka kami akan menolak Pilkada di Aceh,” kata Ketua Komisi I DPR Aceh Abdullah Shaleh.
Pihaknya mendesak Gubernur Aceh tidak membahasnya lagi, namun untuk mengimplementasikan pengibaran bendera Aceh. Bendera Aceh ini kata dia adalah simbol Aceh, maka sangat perlu untuk segera dikibarkan.
“Persoalannya sekarang adalah implementasinya. Pusat sepertinya masih ada keraguan dalam hal ini. Seharusnya pusat tak perlu lagi ragu. Setelah ini diimplementasikan, barulah kita fokuskan pada pembangunan untuk kebangkitan Aceh,” ucap Abdullah. (Arjuna Pademme/ tabloidjubi.com)
loading...
Post a Comment