Halloween Costume ideas 2015
loading...

Wawancara Irwandi Yusuf Setahun Yang Lalu, "Pemimpin Harus Tulus, Optimis dan Jangan Paranoid"

AMP - Irwandi yusuf yang juga Calon Gubernur Aceh 2017 mengposting hasil wawancaranya di di tahun yang lalu, menurut irwandi seperti dikutip di facebooknya, Irwandi yusuf mengatakan Ini ada wawancara saya dgn seorang wartawan kurang lebih 1.5 tahun lalu. Mohon koreksikan saya kalau ada pernyataan2 saya yg salah. Terimakasih.

Irwandi: Pemimpin Harus Tulus, Optimis dan Jangan Paranoid

Menurut Irwandi Yusuf pemimpin juga nggak boleh memiliki kecurigaan terlalu besar, sehingga menjadi paranoid. Kalau paranoid, pasti akan muncul kecurigaan antara yang satu dengan yang lain.

Dalam sebuah wawancara khusus dengan salah satu media online di Aceh yang berlangsung di rumahnya di Lampriet, Banda Aceh, berikut petikannya:

W: Apa yang akan Anda lakukan di masa-masa mendatang nanti?

IY: Sebenarnya saya kalau bisa tak lagi berada di dunia politik, di masa tua ini saya ingin menyalurkan hobi saja. Tetapi melihat kondisi Aceh sekarang ini, mau tak mau saya seperti orang yang kakinya lengket di aspal yang kenyal, jadi saya tak bisa melepaskan diri dari politik dan kehidupan sosial Aceh.

W: Masihkah berbekas di hati pada politik 2012?

IY: Masalah politik yang lalu, saya sudah kalah. Saya menerima kekalahan. Sudah takdir saya untuk kalah. Oh ada yang bilang di masa Bapak lebih enak, ekonominya membaik. Itu juga takdir. Itulah satu episode yang harus dilalui rakyat Aceh dengan segala konsekuensi.Bagi saya nggak ada masalah. Ada kesalahan-kesalahan yang kita lakukan, yang mengetahuinya adalah hati nurani kita sendiri, mari kita mengoreksinya. Bagi saya tidak menjadi gubernur sekarang ini justru saya melihat dari sisi positif. Jangan-jangan kalau saya yang terpilih kali kedua mungkin saya akan berperilaku zalim sewenang-wenang sebab saya tak terkalahkan.

W: Tetapi sempat menempuh upaya hukum waktu itu?

IY: Saya menggugat ke mahkamah konstitusi juga atas saran rekan-rekan hanya untuk pembelajaran politik bagi rakyat Aceh. Tak ada dendam pribadi, saya percaya soal kekerasan terhadap teman-teman saya akan berlaku hukum Allah jua kelak di kemudian hari. Saya sebagai manusia saya tak mampu menanganinya. Tetapi sekarang, kita mengharapkan siapapun yang menjadi penguasa di Aceh mampulah membawa Aceh terangkat dari garis kemiskinan, dari kebodohan, dan lain-lain soal yang membuat terpuruk Aceh, hegemoni politik suku mayoritas, bercampur aduknya budaya hingga karakteristik Aceh menjadi samar-samar. Itulah sebabnya saya tak bisa melepaskan diri dari politik.

W: Apakah itu berarti ada kemunduran di masa sekarang?

IY: Saya tak mengatakan masa sekarang mundur, cuma saya melihat saat ini hanya berhenti pada tingkat apa yang pernah saya lakukan dulu (2007-2012). Sebenarnya, keadaan Aceh yang tak bergerak itu juga adalah kerugian bagi Aceh. Seharusnya momentum lima tahun ini dilakukan berbagai terobosan-terobosan. Aceh membutuhkan terobosan. Tidak boleh berhenti dalam menerobos, itu baru namanya revolusioner. Bukan berarti revolisuoner itu adalah pemberontakan, bukan demikian, tetapi revolusioner dalam membangun Aceh. Yang kita inginkan memang demikian, yaitu kemakmuran Aceh, kehebatan Aceh di mata provinsi lain.

W: Dari proses politik 2012 sampai sekarang, ada hambatan-hambatan pembangunan berasal dari kebuntuan politik, juga perpecahan di Aceh?

IY: Begini, seyogiyanya setelah menang pilkada, para pemenang harus mengumpulkan semua komponen bangsa Aceh. Jangan eksklusif. Tetapi soal itu, saya melihatnya bukan juga sebuah kesengajaan, karena polarisasi waktu pilkada sangat kejam. Kalau bukan kami ya mereka, kalau bukan mereka ya berarti pengkhianat. Jadi orang-orang yang mendapat label pengkhianat ini banyak sekali yang terpaksa menarik diri, menjaga jarak. Tentulah ada yang sakit hati. Tapi yang perlu kita tahu kalau kita memulai kekuasaan dengan pola seperti itu maka secara pasti tidak akan berjalan seperti yang kita inginkan. Kita jangan menganggap apa yang kita lakukan semuanya terlepas dari makrokosmos. Jadi, apapun yang kita lakukan semua berpengaruh pada alam, Semuanya ada pengaruh ke alam yang kemudian berimbas ke kita juga.

W: Hubungannya dengan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf?

IY: Ada ungkapan khas Aceh, “kon sembarang uret jeut ta ikat beunteung, kon seumbarang ureung jeut taboh keu raja”, pepatah itu benar adanya. Saya bukan hendak mengatakan Zaini dan Mualem itu sembarang ureut, bukan begitu, namun mungkin ketika memilih ureut itu ada sebuah proses yang keliru, jika keliru pasti ada akibatnya, jika tidak berakibat sekarang ya akan terjadi di masa akan datang. Inilah yang timbul sekarang di Aceh.Zaini itu datang ketika Aceh sudah damai, sekian lama dia tidak melihat Aceh dan tidak mengetahui Aceh. Bagaimana sebenarnya perkembangan orang Aceh, ia tidak pernah tahu. Ketika pulang kemudian jadi pemimpin tentu akan gamang sendiri. Sedangkan Mualem, itu orang yang berada di Aceh. Panglima perang. Panglima perang itu punya kemampuan juga dalam birokrasi pemerintahan. Itu barang mewah. Tetapi tidak semua kita begitu. Jadi kesimpulannya tidak padu antara orang yang dari luar dengan orang yang di dalam yang militer. Sekiranya padu pasti jalan.

W: Apakah hanya itu persoalan yang terjadi pada level pimpinan di Aceh?

IY: Selain itu, sikap pemimpin juga nggak boleh memiliki kecurigaan terlalu besar, sehingga menjadi paranoid. Kalau paranoid, pasti akan muncul kecurigaan antara yang satu dengan yang lain. Misalnya, “nyoe hanjeuet tajok wewenang keu jih i peu habeh teuh”.Bagaimana pun kalau orang dari luar, walau ia pimpinan GAM, tetap dia merasa defisiensi terhadap dukungan dari dalam. Maka itu ia selalu berfikir “kee nyoe hana aneuk buah lagoe, waki kee jai aneuk buah, nyoe ka keumahkuh, nyoe ikoh rinyen ka rheut kee nyoe”. Jadi dengan pemikiran seperti ia akan selalu mencurigai apapun yang dilakukan oleh wakilnya. Ia selalu dihantui pemikiran “ini kudeta apa bukan, ini kudeta apa bukan”.Jadi dengan pemikiran seperti itu, si pemimpin membentengi dirinya sendiri. Makin dibentenginya, maka makin terisolirlah dia. Itu yang dilakukan Gubernur kita sekarang. Kenapa dia tak flamboyant saja. Ikut azas demokrasi, ikut azas pembagian kekuasaan, yang terutama ikut misi menjadi pemimpin Aceh itu apa, apakah untuk membangun rakyat Aceh atau seperti yang pernah dikatakannya sendiri “tanyoe meunyoe hana ta rebut kekuasaan hana peng”.

W: Apa yang Anda harapkan dengan kondisi demikian?

IY: Okelah, ucapan saya itu bukan berarti hendak menambah kerunyaman lagi. Tetapi yang saya inginkan, mereka bersama lagi menjalankan misi pemerintahan sampai selesai periode. Mengoreksi apa kesalahan selama ini, dan dapat duduk kembali berbicara antara beliau berdua. Lalu setelah selesai satu periode apakah mereka mau lagi berdua silahkan lanjutkan. Jika berhasil nantinya. Saya pun lega jika melihat Aceh makmur. Saya bangga melihat nanti dalam sejarah Aceh tercatat bahwa Aceh sangat berhasil dan makmur di saat dipimpin oleh pemimpin GAM. Kalau gagal, maka dalam buku sejarah Aceh akan ditulis bahwa GAM yang membuat Aceh berantakan. Kalau saya mati pun maka arwah saya akan kecewa membaca buku yang seperti itu.

W: Apakah ada kemungkinan untuk menyatukan tokoh-tokoh GAM yang sudah tercerai berai?

IY: Bukan hanya GAM yang tercerai berai, juga seluruh komponen Aceh sudah bersikap untuk sendiri-sendiri. Misalnya Gayo sudah merasa tidak lagi bagian dari Aceh, begitu juga dengan Ala-Abas, pesisir dianggap penyebab kerusakan. Kendati demikian, tetap saja ada jalan untuk menyatukan Aceh. Aceh bisa bersatu lagi, semuanya bisa bersatu, tetapi dengan niat yang tulus. Bukan dengan niat, salah satu kelompok menguasai kelompok lain, menguasai ini menguasai itu. Jangan berpura-pura baik hanya untuk mengelabui yang lain. Cobalah bersatu untuk semua kemajuan Aceh.

W: Ketika Anda menjadi Gubernur, apakah muncul juga pertentangan seperti itu?

IY: Saya menjadi gubernur itu benar-benar karena takdir Allah. Kalau bukan takdir saya sudah mampus terkena tsunami. Lalu istri dan anak-anak saya juga bisa hidup diselamatkan intel Polri yang kita namakan musuh. Itu semuanya hikmah. Dan kemudian saya menjadi gubernur.Saya masuk ke semua pelosok. Itulah sebabnya ketika saya gubernur tidak muncul kecurigaan-kecurigaan seperti itu. Apakah karena saya orang Bireuen lalu mengangkat pejabat semuanya dari Bireuen? Coba lihat saja di birokrasi, apakah ada keponakan saya di situ, apakah ada adik saya di situ, coba hitung berapa persen orang Bireun yang saya tempatkan sebagai pejabat di Pemerintah Aceh di masa saya gubernur.Coba lihat saja provinsi mana yang pertama kali memberlakukan fit and proper test untuk aparat. Banyak yang kita lakukan di Aceh sebelum provinsi lain melakukannya. Semua itu saya lakukan untuk meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang baik di Aceh.

W: Apakah masih ada harapan yang tersisa pada kondisi Aceh sekarang ini?

IY: Selalu saja ada kemungkinan dan harapan. Saya berharap apa yang sudah kita lakukan dulu berlanjut, namun ketika saya tidak lagi menjabat gubernur saya malah dianggap melakukan kesalahan di mana-mana. Saya dituduh koruptor, saya didemo disuruh tangkap. “Dijak ukoe ulee lon dipakek seunipat ulee drojih”.Sudah saatnya kita berhenti dengan pemikiran-pemikiran yang memperparah perpecahan Aceh. Mari kita berfikir bagaimana caranya Aceh kita bangun. GAM semuanya bekerja untuk Aceh. Pemerintah Pusat, jangan lagi mencurigai bahwa GAM memberontak. Percayalah tidak akan ada pemberontakan lagi. Kita sudah cukup bangga kalau kita bisa bangun Aceh menjadi provinsi nomor satu di Indonesia.

W: Apakah bersedia jika diajak membantu pemerintahan sekarang ini?

IY: Jika diajak memikirkan untuk seluruh Aceh, tentu saya tak mungkin menolaknya. Tetapi bukan untuk kelompok-kelompok, atau untuk para pihak. Kalau untuk kehancuran Aceh, lebih baik saya nggak usah ikut serta. Sebenarnya cukup banyak orang-orang yang di sampingnya yang bisa memikir. Hanya saja bercampur antara elemen positif dan negatif. Namun yang menang yang negatifnya.

W: Bagaimana hubungan Anda dengan sesama mantan GAM?

IY: Setelah Pilkada 2012, sepertinya sudah terputus sama sekali. Dengan adanya stigma-stigma untuk saya sebagai pengkhianat. Kami sebagai orang kalah tentu menerimanya saja, percuma kami melawan. Kami menerimanya walau sakit. Itu semua kan teman-teman, baru saja makan sepiring bersama, baru saja kami bersama-sama digigit nyamuk, baru saja kami satu tujuan. Mengapa sekarang sudah ada pengkhianat dan ada yang bukan pengkhianatTetapi hal seperti itu terjadi di mana pun dalam kalangan pejuang. Pecah-belah terjadi. Cuma dari daya pikir masing-masing yang berbeda. Ada yang sadar semua ini telah diolah, ada yang tidak sadar. Artinya hubungan saya dengan rekan-rekan lama sudah sempat terputus, sekarang sudah agak membaik. Level bawah sudah hampir menyatu lagi.Masalah trauma-trauma memang masih tersisa. Ada juga yang masih menyimpan ganjalan-ganjalan. Namun yang namanya ganjalan kan bisa dilangkahi. Lama-lama akan cair kalau konsisten membangun hubungan. Bagi saya dalam politik itu tidak ada musuh. Saya tidak dendam pada seorang pun. Yang sudah-sudahlah.Mari bangun Aceh lagi. Pejuang-pejuang punya potensi untuk membangun Aceh. Karena pejuang-pejuang itu punya potensi untuk berubah dari kemapanan. Gunakan energy positif untuk konstruktif, jangan lagi gunakan energy negatif untuk yang destruktif. Sekarang bukan zaman perang lagi.

Sumber: atjehpost.co
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget