AMP - Penghadangan, pembatasan ruang demokrasi, penangkapan dan penahanan terhadap ribuan demonstran Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Kota Raja, Jayapura, Papua, pada 2 Mei disertai pemukulan dan penyiksaan terhadap aktivis.
Warpo Wetipo, koordinator aksi di titik aksi Expo mengatakan penahanan dan penyiksaan terjadi terhadap 7 aktivis KNPB di ruang tahanan khusus Markas Komando Brimob Karel Satsuitubun Kota Raja, kota Jayapura, Papua.
“Kami ada tujuh orang diperlakukan tidak manusiawi. Mereka memperlakukan kami ini seperti binatang,” ungkap Warpo kepada jurnalis Jubi di Abepura, Kota Jayapura, Papua, Selasa, 3 Mei 2016.
Kata dia, dalam tahanan itu, anggota melakukan interogasi disertai dengan kekerasan. Ada yang menginjak dada atau punggung. Juga pukulan dengan popor senjata ke kepala berulang kali.
“Satu orang Polisi datang salam saya. Pace itu langsung tinju saya di telinga. Telinga saya ini bunyi. Saya tidak sadar satu menit. Saya sadar ketika ada yang hangat dari telinga. Saya pegang begini keluar darah,” ungkapnya.
Giliran anggota lain datang menendang di dada dan punggung. Kata dia, dirinya baru merasa sakit ketika bangun pagi berikutnya.
"Kemarin itu tidak sakit tetapi saat bangun pagi sakit. Saya naik turun tangga asrama itu terasa sesak,” ungkapnya pada 3 Mei 2016.
Arim Tabuni, aktivis KNPB yang ditahan di lingkaran Abe mengaku polisi bertindak brutal. Polisi memutuskan tali komando aksi dan menangkap aktivisnya. Aktivis yang ditangkap dinaikkan ke mobil lapis baja lalu dibawa ke Markas Komando Brimob.
“Pemukulan sejak penangkapan kami di lingkaran Abe jam 9 pagi. Kami dinaikkan ke dalam mobil baja itu lalu disuruh angkat tangan semua. Mereka pukul kami di dada dan kepala. Lebih banyak pukulan di dada jadi kelihatan kami ini tidak luka,” ungkapnya.
Kata dia, sampai di ruang tahanan khusus dengan suhu udara yang sangat panas, mereka disuruh buka celana. Ada aktivis yang menolak, dibantu sejumlah anggota polisi. “Ada yang tidak mau. Ada polisi juga yang bilang tidak usah buka,” ungkapnya.
Kata dia, selama interogasi, polisi melakukan teror. Polisi ancam bunuh aktivis lalu buang ke laut. "Yang empat orang ini kita bunuh, isi di karung, buang ke laut jadi makanan ikan saja,” ujar Tabuni mengucapkan ungkapan anggota Brimob saat interogasi di ruang penahanan.
Selain tujuh orang itu, kata Warpo, ada empat rekan mereka yang mengalami pemukulan saat penangkapan. Ada dua orang di Sentani dan satu orang wanita di lingkaran Abepura.
Wanita yang berhasil diwawancarai jurnalis Jubi mengaku polisi menarik busana yang dikenakan hingga lepas. “Pakaian yang saya pakai ini asli, lalu mereka tarik hingga tali Bra putus. Bra saya bergeser dari posisinya sampai dada saya ini kelihatan. Pokoknya dada saya ini telanjang. Mereka seret saya ke mobil sampai lutut kanan saya dan siku tangan kanan saya luka,”ungkapnya sambil menunjuk lukanya.
Dirinya bersama rekan-rekan lain di bawa ke Mako Brimob dalam keadaan telanjang dada. Polisi berusaha memberinya kostum untuk menutup dadanya namun ditolak.
“Saya kasih tahu ke mereka. Saya ini lahir dari seorang mama yang bertelanjang dada jadi saya bilang ke mereka lihat inilah saya. Saya tidak pernah salah di sini,” ujarnya mengulangi perkataannya kepada polisi pada 2 Mei 2016.
Juru Bicara Kepolisian Daerah Papua, AKBP Patrige Renwarin yang dikonfirmasi tentang tindakan polisi ini mengatakan tidak ada penyiksaan yang dilakukan anggota polisi terhadap aktivis KNPB yang ditahan. Polisi hanya mengamankan lalu membebaskan pada sore harinya.
“Trada penyiksaan,” ungkap Renwarin melalui pesan singkatnya kepada jurnalis Jubi, Rabu, 4 Mei 2016 sore.
Kapolda Papua, Irjen Polisi Paulus Waterpauw yang hadir dalam negosiasi pembebasan para tahanan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Pendeta Benny Giay di lapangan Mako Brimob membenarkan ada yang mengalami luka saat penangkapan.
“Saya mendapat laporan tadi ada empat orang. Kalau ada yang lain silakan lapor. Kalau tidak berani, melalui Komnas HAM, ada Pak Frist Ramandey. Nanti kami fasilitasi,” ungkap Kapolda dalam sambutan sebelum para demonstran dipulangkan pada 2 Mei 2016.
Kata dia, dirinya memberikan apresiasi kepada demonstran yang berusaha kooperatif walaupun ada yang mengalami luka-luka. "Kami tidak ingin ada korban jiwa,” tegasnya.
Gustaf Kawer, pengacara Hak Asasi Manusia mengatakan penangkapan, penahanan dan penyiksaan ini mengulang pengalaman yang sama. Polisi tidak pernah mau mengubah pola supaya tidak mengulang kesalahan yang sama.
Menurut Gustaf, polisi mestinya membuka ruang bagi demonstran. Kalau terus dibatasi, dibungkam dan disiksa ini akan menyuburkan idealisme. “Ideologi, gerakan ini makin subur dan meluas,” ungkapnya di halaman Mako Brimob.
Menurut Gustaf, kalau sudah ada pengakuan penyiksaan, itu sudah melanggar konvensi internasional anti penyiksaan. “Suruh buka baju, jemur di mata hari ini saja kena konvenan anti penyiksaan,” tegasnya.
Mereka yang mengaku disiksa dan dipukul adalah Warpo Wetipo (31), Doli Ubruangge (27), Arim Tabuni (21), Matias Suu (21), Goty Gobay (23), Kombawe Wanimbo (25), Elias Mujijau (19), Agust Pahabol (23), Izon Kobak (23).
TABLOIDJUBI.COM
Warpo Wetipo, koordinator aksi di titik aksi Expo mengatakan penahanan dan penyiksaan terjadi terhadap 7 aktivis KNPB di ruang tahanan khusus Markas Komando Brimob Karel Satsuitubun Kota Raja, kota Jayapura, Papua.
“Kami ada tujuh orang diperlakukan tidak manusiawi. Mereka memperlakukan kami ini seperti binatang,” ungkap Warpo kepada jurnalis Jubi di Abepura, Kota Jayapura, Papua, Selasa, 3 Mei 2016.
Kata dia, dalam tahanan itu, anggota melakukan interogasi disertai dengan kekerasan. Ada yang menginjak dada atau punggung. Juga pukulan dengan popor senjata ke kepala berulang kali.
“Satu orang Polisi datang salam saya. Pace itu langsung tinju saya di telinga. Telinga saya ini bunyi. Saya tidak sadar satu menit. Saya sadar ketika ada yang hangat dari telinga. Saya pegang begini keluar darah,” ungkapnya.
Giliran anggota lain datang menendang di dada dan punggung. Kata dia, dirinya baru merasa sakit ketika bangun pagi berikutnya.
"Kemarin itu tidak sakit tetapi saat bangun pagi sakit. Saya naik turun tangga asrama itu terasa sesak,” ungkapnya pada 3 Mei 2016.
Arim Tabuni, aktivis KNPB yang ditahan di lingkaran Abe mengaku polisi bertindak brutal. Polisi memutuskan tali komando aksi dan menangkap aktivisnya. Aktivis yang ditangkap dinaikkan ke mobil lapis baja lalu dibawa ke Markas Komando Brimob.
“Pemukulan sejak penangkapan kami di lingkaran Abe jam 9 pagi. Kami dinaikkan ke dalam mobil baja itu lalu disuruh angkat tangan semua. Mereka pukul kami di dada dan kepala. Lebih banyak pukulan di dada jadi kelihatan kami ini tidak luka,” ungkapnya.
Kata dia, sampai di ruang tahanan khusus dengan suhu udara yang sangat panas, mereka disuruh buka celana. Ada aktivis yang menolak, dibantu sejumlah anggota polisi. “Ada yang tidak mau. Ada polisi juga yang bilang tidak usah buka,” ungkapnya.
Kata dia, selama interogasi, polisi melakukan teror. Polisi ancam bunuh aktivis lalu buang ke laut. "Yang empat orang ini kita bunuh, isi di karung, buang ke laut jadi makanan ikan saja,” ujar Tabuni mengucapkan ungkapan anggota Brimob saat interogasi di ruang penahanan.
Selain tujuh orang itu, kata Warpo, ada empat rekan mereka yang mengalami pemukulan saat penangkapan. Ada dua orang di Sentani dan satu orang wanita di lingkaran Abepura.
Wanita yang berhasil diwawancarai jurnalis Jubi mengaku polisi menarik busana yang dikenakan hingga lepas. “Pakaian yang saya pakai ini asli, lalu mereka tarik hingga tali Bra putus. Bra saya bergeser dari posisinya sampai dada saya ini kelihatan. Pokoknya dada saya ini telanjang. Mereka seret saya ke mobil sampai lutut kanan saya dan siku tangan kanan saya luka,”ungkapnya sambil menunjuk lukanya.
Dirinya bersama rekan-rekan lain di bawa ke Mako Brimob dalam keadaan telanjang dada. Polisi berusaha memberinya kostum untuk menutup dadanya namun ditolak.
“Saya kasih tahu ke mereka. Saya ini lahir dari seorang mama yang bertelanjang dada jadi saya bilang ke mereka lihat inilah saya. Saya tidak pernah salah di sini,” ujarnya mengulangi perkataannya kepada polisi pada 2 Mei 2016.
Juru Bicara Kepolisian Daerah Papua, AKBP Patrige Renwarin yang dikonfirmasi tentang tindakan polisi ini mengatakan tidak ada penyiksaan yang dilakukan anggota polisi terhadap aktivis KNPB yang ditahan. Polisi hanya mengamankan lalu membebaskan pada sore harinya.
“Trada penyiksaan,” ungkap Renwarin melalui pesan singkatnya kepada jurnalis Jubi, Rabu, 4 Mei 2016 sore.
Kapolda Papua, Irjen Polisi Paulus Waterpauw yang hadir dalam negosiasi pembebasan para tahanan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Pendeta Benny Giay di lapangan Mako Brimob membenarkan ada yang mengalami luka saat penangkapan.
“Saya mendapat laporan tadi ada empat orang. Kalau ada yang lain silakan lapor. Kalau tidak berani, melalui Komnas HAM, ada Pak Frist Ramandey. Nanti kami fasilitasi,” ungkap Kapolda dalam sambutan sebelum para demonstran dipulangkan pada 2 Mei 2016.
Kata dia, dirinya memberikan apresiasi kepada demonstran yang berusaha kooperatif walaupun ada yang mengalami luka-luka. "Kami tidak ingin ada korban jiwa,” tegasnya.
Gustaf Kawer, pengacara Hak Asasi Manusia mengatakan penangkapan, penahanan dan penyiksaan ini mengulang pengalaman yang sama. Polisi tidak pernah mau mengubah pola supaya tidak mengulang kesalahan yang sama.
Menurut Gustaf, polisi mestinya membuka ruang bagi demonstran. Kalau terus dibatasi, dibungkam dan disiksa ini akan menyuburkan idealisme. “Ideologi, gerakan ini makin subur dan meluas,” ungkapnya di halaman Mako Brimob.
Menurut Gustaf, kalau sudah ada pengakuan penyiksaan, itu sudah melanggar konvensi internasional anti penyiksaan. “Suruh buka baju, jemur di mata hari ini saja kena konvenan anti penyiksaan,” tegasnya.
Mereka yang mengaku disiksa dan dipukul adalah Warpo Wetipo (31), Doli Ubruangge (27), Arim Tabuni (21), Matias Suu (21), Goty Gobay (23), Kombawe Wanimbo (25), Elias Mujijau (19), Agust Pahabol (23), Izon Kobak (23).
TABLOIDJUBI.COM
loading...
Post a Comment