Uang keping bergambar Khalifah Abdul al Malik dari Dinasti Bani Umayyah | Foto: commons.wikimedia.ord |
| Oleh Rofi'ulmuiz |
�Abu Sufyan,� ungkap Sayyid Quthub dalam Al Adalah Al Ijtima�iyah fi Al Islam, �Orang yang masuk Islam hanya di mulut semata, bukan keimanan dalam hati dan perasaan, seolah-olah tiada setetes keimanan pun didalamnya.� Pernyataan itu seperti menjadi kegusaran tersendiri bagi umat Islam terhadap kontroversi pada orang-orang dari kalangan Bani Umayyah. Terutama jika sudah bersentuhan dengan masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ada santapan empuk bagi para pencela Bani Umayyah untuk semakin memperburuk citranya di mata umat Islam. (Baca: MenjawabCitra Negatif Bani Umayyah bagian 1)
Sejarah telah menunjukkan bahwa sebagian Bani Umayah yang menentang wahyu kepada Nabi Muhammad SAW adalah benar adanya, namun itu sebelum peristiwa Fathu Makkah (pembebasan Kota Makkah ke tangan Islam). Terutama Abu Sufyan. Ia terkenal sebagai tokoh Bani Umayyah yang menentang Nabi Muhammad SAW. Namun apa gerangan yang membuat Rosululloh SAW menjadikan Abu Sofyan sebagai sosok yang spesial saat peristiwa Fathu Makkah dengan memberikan jaminan keamanan bagi siapapun yang masuk ke dalam rumahnya?
Abdul Malik bin Husain Al Ishami dalam kitab An Nujum Al Awali memaparkan bahwa antara Bani Umayah dengan Bani Hasyim masih bertemu dalam silsilah keturunan, yaitu Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah. Abdu Manaf memiliki kedudukan terhormat di Makkah dan menjadi pemimpin mereka. Tidak ada satupun klan suku Quraisy yang menandinginya. Semua klan Quraisy mengakui hal itu dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah sebelum Islam merupakan hubungan persaudaraan. Namun kedatangan Islam menyebabkan sebagan besar Bani Umayah menentang agama baru ini beserta pembawanya, Muhammad SAW dari Bani Hasyim.
Penentangan tersebut terus berlangsung hingga peristiwa Fathu Makkah. Persitiwa berhasilnya kaum Muslim menguasai Mekkah menjadikan para Bani Umayyah masuk Islam dan menjadi pendukung utama ekspansi Islam ke berbagai wilayah dunia. Kondisi harmonis penuh persaudaraan karena ikatan Islam ini berlangsung hingga terjadinya pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan ra. Peristiwa ini memunculkan konflik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan ihwal terbunuhnya sang Khalifah serta hukuman qishash bagi para pembunuhnya.
Namun ada juga pendapat dari sejarawan muslim bernama Al Maqrizi. Ia mengkalim dalam buku An Naza� wa At Takhashum fi ma baina Bani Umayyah wa Bani Hasyim bahwa perseteruan antara mereka itu telah mengakar dan berlangsung lama.
Abdussyafi dalam bukunya yang diterjemahkan dengan judul Bangkit dan Runtuhnya Bani Umayyah, mencoba menentang pendapat Al Maqrizi dengan mengatakan bahwa semua peristiwa yang terjadi antara Bani Hasyim dan bani Umayyah sebelum Islam tidak keluar dari koridor persaingan dan rivalitas untuk memperoleh penghormatan, prestise, dan kekuasaan. Bahkan saat terjadi persaingan dalam memperebutkan berbagai hal, mereka saling melakukan munafarah (penghakiman dihadapan dukun).
Sebuah contoh kejadian yang diceritakan oleh Al Baladzuri dalam kitab Ansab Al Asyraf mengenai munafarah yang dilakukan oleh Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Dia bercerita, �Umayyah bin Abdu Syams adalah seorang hartawan, sehingga ia memaksa diri untuk mengikuti kebiasaan Hasyim memberi makan kaum Quraisy. Namun, ternyata Umayyah tidak mampu melakukannya. Akibatnya orang-orang Quraisy merasa pesimis dan mencibirnya karena ketidakmampuannya.
Umayyah pun naik pitam dan menantang Hasyim untuk melakukan munafarah dengan masing-masing menyerahkan 50 ekor unta untuk disembelih di Makkah atau diusir (diasingkan dari Makkah) selama sepuluh tahun. Keduanya bersepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dihadapan seorang dukun dari Bani Al Khuza�i-ia adalah kakek Amr bin Lahyl yang bertempat tinggal di Asfan. Sang dukun pun memutuskan kemenangan Hasyim atas Umayyah. Dengan keputusan ini, Hasyim menyembelih unta tersebut dan membagikan dagingnya kepada semua hadirin. Sedangkan Umayyah harus pergi ke Syam. Disanalah ia menetap selama sepuluh tahun.�
Dari kejadian tersebut menegaskan bahwa persaingan yang terjadi dikalangan mereka dilakukan secara terhormat dan saling menghargai, bukan berdasarkan kedengkian dan saling memusuhi yang menghalangi mereka untuk saling mendukung dan bersatupadu saat menghadapi ancaman dari luar.
Kemudian kisah keislaman Abu Sufyan menjelang Nabi Muhammad SAW menduduki Makkah dan peran Abbas bin Abdul Muthalib (Paman Nabi Muhammad Saw) didalamnya merupakan bukti kongkret kuatnya hubungan dan kasih sayang antara kedua pembesar Bani Hasyim dan Bani Umayyah.
Saat itu Abbas membawa Abu Sufyan menghadap Nabi Muhammad SAW. Ia senantiasa memohonkan ampunan baginya, sehingga beliau mengabulkannya. Jiwa Abbas tidak merasa tenang sebelum mendengar Abu Sufyan masuk Islam dihadapan Nabi Muhammad SAW. Upaya keras Abbas agar Abu Sufyan masuk Islam sempat membuatnya marah besar kepada Umar bin Khathab yang meminta izin kepada Rosululloh SAW untuk memenggal batang leher Abu Sufyan. Kata Abbas dalam kitab Sirah Ibn Hisyam, �Wahai Rosululloh, Abu Sufyan adalah orang yang menyukai kebanggaan. Karena itu, lakukanlah sesuatu baginya.� Nabi menjawab, �Baiklah, Barangsiapa memasuki rumah Abu Sufyan, ia aman. Barangsiapa menutup pintu rumahnya, ia aman. Dan, barangsiapa memasuki masjid (Masjidil Haram), ia aman.�
Masih dalam kitab Sirah Ibn Hisyam, Nabi Muhammad SAW memperlakukan Bani Umayyah dan seluruh penduduk Makkah dengan sikap yang sesuai dengan akhlak, perasaan, dan kasih sayangnya. Bukan membalas dengan secara setimpal akibat kekafiran, permusuhan dan perlawanan. Maka beliau berkata pada mereka, �Wahai kaum Quraisy, menurut kalian apa gerangan yang akan kulakukan terhadap kalian?� Mereka menjawab, �Kebaikan, wahai saudara yang dermawan putra saudara yang dermawan.� Beliau pun bersabda, �Pergilah, kalian semua bebas.�
Jadi menurut Abdussyafi-kembali menegaskan- bahwa permusuhan sebagian besar Bani Umayyah terhadap Islam sebelum Fathu Makkah bukan timbul akibat dari permusuhan lama yang mengakar dan mendarah daging antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, melainkan timbul dari persaingan memperoleh kehormatan dan kedudukan tertinggi di komunitas Quraisy yang sangat mementingkan hal semacam itu.
Ketika itu, menurut mereka (Bani Umayyah), Nabi Muhammad SAW tidak layak mengemban risalah kenabian. Bahkan Allah SWT berfirman dalam surat Az Zukhruf ayat 31 mengenai hal ini. �Dan mereka berkata, �Mengapa Al Qur�an tidak diturunkan kepada salah seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Tha�if) ini?�� Allah SWT pun menjawab dalam firman-Nya pada ayat selanjutnya dengan berfirman, �Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhamnu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.�
�Sikap permusuhan yang diperlihatkan Bani Umayyah terhadap Rosululloh SAW dan dakwahnya,� Abdussyafi menjelaskan. �bukanlah monopoli mereka, melainkan diperlihatkan pula oleh para pemimpin dari keluarga besar suku Quraisy lainnya, seperti Bani Makhzum, Bani Jamh, dan lain-lain.�
Kendati semua kalangan Bani Umayyah masuk Islam setelah Fathu Makkah dan mereka menjalankan ajaran agamanya dengan sangat baik, bahkan mereka memberikan pengorbanan luar biasa dalam menolong agama Islam dan meninggikan agama Allah, tetapi sebagian orang melupakan permusuhan suku Quraisy terhadap Rosululloh SAW. Mereka hanya mengingat permusuhan Bani Umayyah terhadap beliau. Seolah-olah hanya Bani Umayyah saja yang bersikap antagonis.
�Para propagandis,� kata Abdussyafi. �melupakan sebagian orang dari Bani Umayyah yang tergolong dalam As sabiqunal Al awwaluun(orang-orang yang pertama kali masuk Islam). Bahkan jumlah Bani Umayyah bisa jadi lebih banyak daripada Bani Hasyim,� jelasnya. Beberapa orang dari Bani Umayyah itu adalah Ustman bin Affan bin Abul Ash bin Umayyah, Khalid bin Sa�id, dan Amr bin Sa�id. Khalid bin Sa�id adalah orang kelima yang masuk Islam.
Mereka (para propagandis) senantiasa mengatai Bani Umayyah dengan julukan ath thulaqa� wa abna �uth thulaqa� (tawanan yang dibebaskan beserta keturunannya). Ibnu Taimiyah termasuk yang membantah penulis Minhaj Al Karamah yang mengatai Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai tawanan yang dibebaskan sekaligus putra tawanan yang dibebaskan. Hal tersebut beliau uraikan penjelasannya dalam kitab Minhaj As Sunnah An Nabawiyah.
Maka ungkapan ath thulaqa� wa abna �uth thulaqa� yang disematkan kepada bani Umayyah menunjukkan sejauh mana kedengkian terpendam ekstrimis Syi�ah dan lain-lain.
loading...
Post a Comment