“Publoe” Nanggroe
KATA publoe memang tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), namun kata ini mampu memberikan makna positif dan juga makna negatif baik secara tersirat maupun tersurat. Kata publoe sendiri merupakan bahasa Aceh yang berarti menjual, jual atau sebagainya. Publoe, biasanya sangat indentik dengan berniaga, berdagang atau berwira usaha. Publoe dalam paradigma positif ialah milik sendiri, dan halal sedangkan paradigma negatif ialah milik orang lain, milik bersama dan haram.
Istilah “publoe nanggroe” memang bermakna peyoratif, bahkan negatif. Sejatinya hal tersebut tidak baik dikonsumsi oleh kalangan umat manusia, apalagi bagi mereka yang sudah dipercayakan untuk berdiri di depan dan bertindak sebagai imam bagi seluruh jama’ah, baik dalam konteks lokal maupun nasional. Tapi apa boleh buat terkadang hal tersebut, masih juga dilakukan oleh oknum-oknum yang sudah hampir berdeologi konsumtif yang berpijak pada paham hedonis.
Pertanyaan yang mendasar, apakah benar ada yang menjual “negeri” kita ini?, sebagai bentuk konfirmasi bahwa “publoe nanggroe” benar adanya atau hanya sekedar cet langet belaka, maka analisa demi analisa sebagai tesis terhadap istilah tersebutpun, harus dilakukan. Istilah ini sebenarnya tidak begitu bermasalah namun ketika di depan kata publoe nanggrore ini diletakkan sebuah subjek, sungguh masalahnya pun akan tumbuh seperti ayam potong yang berat badannya bisa mencapai di atas batas normal.
Misalnya, Si Patenggong Publoe Nanggroe. Masalah yang pertama sekali muncul adalah terhadap nama baik si patenggong ini sendiri. Kedua ialah berprasangka buruk oleh yang meletakkan subjek di depan istilah publoe nanggroe ini, berprangsangka buruk adalah bentuk akhlak mazmumah yang dilarang agama dan juga tidak disukai oleh sebagian manusia.
Janji politik
Istilah dalam kehidupan masyarakat, di setiap kemunculannya selalu dilatarbelakangi oleh sesuatu yang menyebabkan istilah tersebut muncul, biasanya keadaan atau realita yang diamati ataupun yang dirasakan oleh masyarakat itu sendiri yang menjadi penyebab. Sebagai contoh istilah ”sulet keupangkai, kanjai keu laba” (bila kebohongan yang dijadikan modal, maka untungnya adalah malu), istilah ini muncul karena kebanyakan orang melakukan kebohongan-kebohongan pada akhirnya, ketika ketahuan akan memperoleh malu.
Mendekati pelaksanaan “pesta demokrasi” di Aceh, persiapan demi persiapan pun dilakukan untuk menyemarakkan pesta tersebut. Bahkan tidak ketinggalan para kompetitor untuk memperebutkan “kursi empuk” yang nantinya akan membuat hidupnya semakin bermartabat dan dihormati, meskipun oleh sebahagian masyarakat.
Janji, adalah salah satu bentuk “do’a peungaseh” (pengasih, penarik simpati) yang ditawarkan oleh kompetitor-kompetitor ini. Untuk menarik simpati dari masyarakat, bahkan janji-janji yang diumbarkan tidak lagi rasional dan melangit. Namun meskipun terkesan melangit ada saja yang percaya terhadap janji tersebut, tidak diketahui pasti, apa penyebab kuatnya rasa percaya tersebut meskipun tidak masuk akal.
Janji yang melangit mungkin masih ada sedikit harapan untuk direalisasikan, namun ada juga janji, yang kesempatan menepatinya sudah diberikan, namun janji tersebut tak kunjung direalisasikan. Ibaratnya “lage ureung preh boh ara anyot” (seperti orang yang menunggu buah ara di sungai). Masyarakat terus dibuat menunggu dala ketidakpastian. Meskipun demikian, kata percaya juga masih di dengung-dengungkan.
Pemimpin baik di tingkat organisasi yang tidak mampu menepati janjinya adalah pemimpin yang hampir bisa dibilang gagal. Kegagalan inilah yang menyebab muncul istilah si patenggong “publoe naggroe”. Logikanya adalah yang memegang kepemimpinan ia tidak memimpin secara gratis alias tidak diupah, jerih payahnya dibayar oleh rakyat. Nah, gagal membuat rakyat sejeahtera dalam berbagai bidang merupakan penghianatan. Sebuah negeri merupakan milik bersama bukan milik pribadi. Keuntungan yang diambil dari milik bersama tentu harus di bagi bersama secara bijak, jika tidak maka benar istilah “publo nanggroe” tersebut.
Selain janji yang ditebarkan, ada juga yang melakukan pencitraan yang tensinya berada di atas normal. Pencitraan tersebut terkadang diperlihatkan dalam bentuk kepedulian, padahal kepdulian tersebut hanya modus agar ia memperoleh apa yang dinginkan. Kepedulian sejati bukanlah kepedulian yang ditunjukkan menjelang pesta demokrasi melainkan jauh sebelum “perperangan” dalam pilkada itu dimulai.
Ketidakmampuan memimpin
Menahkodai sebuah kapal, seyogyanya nahkoda tersebut telah memiliki ilmu-ilmu tentang perlayaran atau setidaknya, ia merekrut anak buahnya yang mengerti betul terhadap dunia perlayaran tersebut. Sangat bagus jika nahkoda lebih tau dari anak-buahnya, dan hal ini menunjukkan kesiapan sang nahkoda memegang jabatan sebagai nahkoda kapal. Begitu juga dalam memimpin sebuah “negara”.
Adakalanya pengaruh lain juga membuat seseorang tidak mampu berbuat banyak dalam kepemimpinannya. Pengaruh tersebut boleh berasal dari dalam dirinya (intern) dan pengaruh berasal dari luar atau lingkungan (ekstern).
Pengaruh intern biasanya ditandai dengan sifat “bulo, atau cangok”. Dimana sifat ini, meskipun ia mampu memimpin juga terlihat seperti tidak mampu memimpin, hal tersebut dikarnakan “hukom catok” selalu dimainkan, akibatnya masyarakat terus berada pada tatanan menyedihkan. Sifat bulo juga terkadang membuat seseorang tidak menyadari bahwa ia sebenarnya sudah tidak sanggup tapi tetap memaksakan dirinya.
Pengaruh yang kedua ialah ekstern yaitu dimana lingkungan tidak selalu mendukung apa yang seharusnya dilakukan untuk masyarakat, meskipun yang dilakukan tersebut sangat bermanfaat untuk masyarakat. Penagruh ekstern ini bisa juga dicontohkan dengan istilah “toke rayeuk ceukak toke ubeut, toke ubit ceukak agen, agen ceukak petani dan petani ceukak go parang”. (pemodal tk. I memeras pemodal TK.II., pemodal Tk. II., dan begitu seterusnya).
Hal demikian ini terjadi dalam sebuah program, dimana dari anggaran yang besar ketika sampai dimasyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan yang di programkan artinya mengambil yang bukan haknya, negara ini milik besama bukan milik pribadi, mengambil keuntungan dari sesuatu yang menjadi milik bersama untuk pribadi juga termasuk si patengong yang menjual negerinya.
Ada atau tidaknya si patengong ini di Aceh, tergantung bagaimana sudut pandang kita dalam melihat hal tersebut, jika mengatakan ada, bukanlah berarti ini suatu sikap pesimis yang ingin ditonjolkan melainkan sebuah peringatan jika kiranya ada terbesit dalam hati keinginan untuk melakukannya. Jika mengatakan tidak ada, pertanyaan yang harus dijawab adalah sudahkah acehku ini sejahtera?.
Istilah “publoe nanggroe” memang bermakna peyoratif, bahkan negatif. Sejatinya hal tersebut tidak baik dikonsumsi oleh kalangan umat manusia, apalagi bagi mereka yang sudah dipercayakan untuk berdiri di depan dan bertindak sebagai imam bagi seluruh jama’ah, baik dalam konteks lokal maupun nasional. Tapi apa boleh buat terkadang hal tersebut, masih juga dilakukan oleh oknum-oknum yang sudah hampir berdeologi konsumtif yang berpijak pada paham hedonis.
Pertanyaan yang mendasar, apakah benar ada yang menjual “negeri” kita ini?, sebagai bentuk konfirmasi bahwa “publoe nanggroe” benar adanya atau hanya sekedar cet langet belaka, maka analisa demi analisa sebagai tesis terhadap istilah tersebutpun, harus dilakukan. Istilah ini sebenarnya tidak begitu bermasalah namun ketika di depan kata publoe nanggrore ini diletakkan sebuah subjek, sungguh masalahnya pun akan tumbuh seperti ayam potong yang berat badannya bisa mencapai di atas batas normal.
Misalnya, Si Patenggong Publoe Nanggroe. Masalah yang pertama sekali muncul adalah terhadap nama baik si patenggong ini sendiri. Kedua ialah berprasangka buruk oleh yang meletakkan subjek di depan istilah publoe nanggroe ini, berprangsangka buruk adalah bentuk akhlak mazmumah yang dilarang agama dan juga tidak disukai oleh sebagian manusia.
Janji politik
Istilah dalam kehidupan masyarakat, di setiap kemunculannya selalu dilatarbelakangi oleh sesuatu yang menyebabkan istilah tersebut muncul, biasanya keadaan atau realita yang diamati ataupun yang dirasakan oleh masyarakat itu sendiri yang menjadi penyebab. Sebagai contoh istilah ”sulet keupangkai, kanjai keu laba” (bila kebohongan yang dijadikan modal, maka untungnya adalah malu), istilah ini muncul karena kebanyakan orang melakukan kebohongan-kebohongan pada akhirnya, ketika ketahuan akan memperoleh malu.
Mendekati pelaksanaan “pesta demokrasi” di Aceh, persiapan demi persiapan pun dilakukan untuk menyemarakkan pesta tersebut. Bahkan tidak ketinggalan para kompetitor untuk memperebutkan “kursi empuk” yang nantinya akan membuat hidupnya semakin bermartabat dan dihormati, meskipun oleh sebahagian masyarakat.
Janji, adalah salah satu bentuk “do’a peungaseh” (pengasih, penarik simpati) yang ditawarkan oleh kompetitor-kompetitor ini. Untuk menarik simpati dari masyarakat, bahkan janji-janji yang diumbarkan tidak lagi rasional dan melangit. Namun meskipun terkesan melangit ada saja yang percaya terhadap janji tersebut, tidak diketahui pasti, apa penyebab kuatnya rasa percaya tersebut meskipun tidak masuk akal.
Janji yang melangit mungkin masih ada sedikit harapan untuk direalisasikan, namun ada juga janji, yang kesempatan menepatinya sudah diberikan, namun janji tersebut tak kunjung direalisasikan. Ibaratnya “lage ureung preh boh ara anyot” (seperti orang yang menunggu buah ara di sungai). Masyarakat terus dibuat menunggu dala ketidakpastian. Meskipun demikian, kata percaya juga masih di dengung-dengungkan.
Pemimpin baik di tingkat organisasi yang tidak mampu menepati janjinya adalah pemimpin yang hampir bisa dibilang gagal. Kegagalan inilah yang menyebab muncul istilah si patenggong “publoe naggroe”. Logikanya adalah yang memegang kepemimpinan ia tidak memimpin secara gratis alias tidak diupah, jerih payahnya dibayar oleh rakyat. Nah, gagal membuat rakyat sejeahtera dalam berbagai bidang merupakan penghianatan. Sebuah negeri merupakan milik bersama bukan milik pribadi. Keuntungan yang diambil dari milik bersama tentu harus di bagi bersama secara bijak, jika tidak maka benar istilah “publo nanggroe” tersebut.
Selain janji yang ditebarkan, ada juga yang melakukan pencitraan yang tensinya berada di atas normal. Pencitraan tersebut terkadang diperlihatkan dalam bentuk kepedulian, padahal kepdulian tersebut hanya modus agar ia memperoleh apa yang dinginkan. Kepedulian sejati bukanlah kepedulian yang ditunjukkan menjelang pesta demokrasi melainkan jauh sebelum “perperangan” dalam pilkada itu dimulai.
Ketidakmampuan memimpin
Menahkodai sebuah kapal, seyogyanya nahkoda tersebut telah memiliki ilmu-ilmu tentang perlayaran atau setidaknya, ia merekrut anak buahnya yang mengerti betul terhadap dunia perlayaran tersebut. Sangat bagus jika nahkoda lebih tau dari anak-buahnya, dan hal ini menunjukkan kesiapan sang nahkoda memegang jabatan sebagai nahkoda kapal. Begitu juga dalam memimpin sebuah “negara”.
Adakalanya pengaruh lain juga membuat seseorang tidak mampu berbuat banyak dalam kepemimpinannya. Pengaruh tersebut boleh berasal dari dalam dirinya (intern) dan pengaruh berasal dari luar atau lingkungan (ekstern).
Pengaruh intern biasanya ditandai dengan sifat “bulo, atau cangok”. Dimana sifat ini, meskipun ia mampu memimpin juga terlihat seperti tidak mampu memimpin, hal tersebut dikarnakan “hukom catok” selalu dimainkan, akibatnya masyarakat terus berada pada tatanan menyedihkan. Sifat bulo juga terkadang membuat seseorang tidak menyadari bahwa ia sebenarnya sudah tidak sanggup tapi tetap memaksakan dirinya.
Pengaruh yang kedua ialah ekstern yaitu dimana lingkungan tidak selalu mendukung apa yang seharusnya dilakukan untuk masyarakat, meskipun yang dilakukan tersebut sangat bermanfaat untuk masyarakat. Penagruh ekstern ini bisa juga dicontohkan dengan istilah “toke rayeuk ceukak toke ubeut, toke ubit ceukak agen, agen ceukak petani dan petani ceukak go parang”. (pemodal tk. I memeras pemodal TK.II., pemodal Tk. II., dan begitu seterusnya).
Hal demikian ini terjadi dalam sebuah program, dimana dari anggaran yang besar ketika sampai dimasyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan yang di programkan artinya mengambil yang bukan haknya, negara ini milik besama bukan milik pribadi, mengambil keuntungan dari sesuatu yang menjadi milik bersama untuk pribadi juga termasuk si patengong yang menjual negerinya.
Ada atau tidaknya si patengong ini di Aceh, tergantung bagaimana sudut pandang kita dalam melihat hal tersebut, jika mengatakan ada, bukanlah berarti ini suatu sikap pesimis yang ingin ditonjolkan melainkan sebuah peringatan jika kiranya ada terbesit dalam hati keinginan untuk melakukannya. Jika mengatakan tidak ada, pertanyaan yang harus dijawab adalah sudahkah acehku ini sejahtera?.
Sumber: acehtrend.co