SEBUT saja namanya Maria. Dia tampak seperti perempuan kelas menengah ke bawah Filipina pada umumnya.
Dengan tampilan itu, tidak akan ada yang menyangka bahwa dia adalah seorang pembunuh bayaran yang tergabung dalam death squad. Dia tidak akan dicurigai saat mendekati target dan mengakhiri hidup mereka.
Awalnya, Maria hanyalah ibu rumah tangga biasa yang tinggal di perkampungan miskin. Dia dan suaminya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa tahun lalu suaminya mendapat pekerjaan sebagai pembunuh bayaran.
Seorang polisi memintanya untuk membunuh seorang pengedar narkoba. Saat itu orang tersebut memiliki utang kepada si polisi dan tak bisa membayar. Misi itu sukses.
Suaminya lantas menjadikan pembunuh bayaran sebagai profesi tetap. Hidup Maria berubah ketika dua tahun lalu orang-orang yang membayar suaminya tersebut menginginkan anggota perempuan. Sang suami lantas meminta Maria mendaftarkan diri. Awalnya, Maria takut. Namun, penghasilan dari profesi itu membuat dia tergiur.
”Saya sangat takut dan grogi karena saat itu adalah kali pertama bagi saya (membunuh orang, Red),” tutur Maria tentang pengalaman pertamanya menjadi pembunuh bayaran kepada jurnalis BBC Jonathan Head.
Seperti suaminya, Maria melakukan pekerjaan itu dengan mulus. Dia telah membunuh enam orang. Seluruhnya dia tembak tepat di kepala. Setiap kepala dihargai 20 ribu peso atau setara Rp 5,7 juta.
Tidak seluruh honor diambil Maria. Dia harus membagi uang itu dengan satu gengnya yang ikut membantu. Jumlahnya mungkin terlihat kecil. Namun, bagi penduduk miskin seperti Maria, nominal tersebut sangat besar.
Sepengetahuan Maria, saat ini ada tiga perempuan, termasuk dirinya, yang menjalani profesi sebagai anggota death squad. Mereka sudah menandatangani kontrak untuk membunuh siapa saja yang ditunjuk sang bos. ”Bos kami petugas kepolisian,” ungkapnya.
Maria menjelaskan, menjadi bagian dari kampanye antinarkoba Duterte memiliki risiko yang lebih besar. Sebab, ketika identitasnya ketahuan, dia juga bakal menjadi bulan-bulanan para pengedar narkoba yang tak kalah sadis jika dibandingkan dengan dirinya.
Karena itu, para personel death squad harus berganti-ganti identitas agar tak ketahuan. Saat ditemui BBC, Maria terburu-buru bersiap untuk pindah. Identitasnya di rumah perlindungan yang dihuninya saat ini sudah ketahuan. Karena itu, dia dan suaminya harus menyingkir.
Tim death squad tidak pernah membicarakan masalah kampanye antinarkoba Duterte. Terlebih untuk mempertanyakan apakah tindakan mereka benar atau salah. ”Kami hanya membicarkan misi yang diberikan dan bagaimana menjalankannya. Ketika itu semua sudah selesai, kami tidak pernah membicarakannya lagi,” terangnya.
Di Filipina, menandatangani kontrak untuk membunuh seseorang sudah biasa. Namun, ketika sudah masuk jaringan, susah untuk keluar. Maria mengaku menyesali pilihan hidupnya.
Dia merasa bersalah dan terus ketakutan. Takut jika keluarga orang-orang yang dibunuhnya mengejarnya. Maria juga khawatir jika anak-anaknya tahu tentang pekerjaannya dan sang suami.
”Saya tidak ingin mereka datang ke kami dan bilang bahwa mereka bisa hidup karena kami membunuh untuk mendapatkan uang,” terangnya. Saat ini pun putra tertuanya sudah mempertanyakan bagaimana ibu dan ayahnya bisa berpenghasilan cukup besar.
Maria telah menandatangani satu kontrak lagi. Dia ingin berhenti setelah kontrak itu berhasil diselesaikan. Namun, hal tersebut agaknya sulit dilakukan. Sebab, bosnya mengancam bakal membunuh siapa saja yang meninggalkan tim. Maria merasa terperangkap. Kerap dia datang ke gereja dan membuat pengakuan dosa.
Namun, dia tidak pernah memerinci dosa apa yang telah diperbuatnya. Maria dan suaminya tidak memiliki pilihan untuk hidup normal lagi seperti dulu. (BBC/sha/c11/JPNN)
Dengan tampilan itu, tidak akan ada yang menyangka bahwa dia adalah seorang pembunuh bayaran yang tergabung dalam death squad. Dia tidak akan dicurigai saat mendekati target dan mengakhiri hidup mereka.
Awalnya, Maria hanyalah ibu rumah tangga biasa yang tinggal di perkampungan miskin. Dia dan suaminya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa tahun lalu suaminya mendapat pekerjaan sebagai pembunuh bayaran.
Seorang polisi memintanya untuk membunuh seorang pengedar narkoba. Saat itu orang tersebut memiliki utang kepada si polisi dan tak bisa membayar. Misi itu sukses.
Suaminya lantas menjadikan pembunuh bayaran sebagai profesi tetap. Hidup Maria berubah ketika dua tahun lalu orang-orang yang membayar suaminya tersebut menginginkan anggota perempuan. Sang suami lantas meminta Maria mendaftarkan diri. Awalnya, Maria takut. Namun, penghasilan dari profesi itu membuat dia tergiur.
”Saya sangat takut dan grogi karena saat itu adalah kali pertama bagi saya (membunuh orang, Red),” tutur Maria tentang pengalaman pertamanya menjadi pembunuh bayaran kepada jurnalis BBC Jonathan Head.
Seperti suaminya, Maria melakukan pekerjaan itu dengan mulus. Dia telah membunuh enam orang. Seluruhnya dia tembak tepat di kepala. Setiap kepala dihargai 20 ribu peso atau setara Rp 5,7 juta.
Tidak seluruh honor diambil Maria. Dia harus membagi uang itu dengan satu gengnya yang ikut membantu. Jumlahnya mungkin terlihat kecil. Namun, bagi penduduk miskin seperti Maria, nominal tersebut sangat besar.
Sepengetahuan Maria, saat ini ada tiga perempuan, termasuk dirinya, yang menjalani profesi sebagai anggota death squad. Mereka sudah menandatangani kontrak untuk membunuh siapa saja yang ditunjuk sang bos. ”Bos kami petugas kepolisian,” ungkapnya.
Maria menjelaskan, menjadi bagian dari kampanye antinarkoba Duterte memiliki risiko yang lebih besar. Sebab, ketika identitasnya ketahuan, dia juga bakal menjadi bulan-bulanan para pengedar narkoba yang tak kalah sadis jika dibandingkan dengan dirinya.
Karena itu, para personel death squad harus berganti-ganti identitas agar tak ketahuan. Saat ditemui BBC, Maria terburu-buru bersiap untuk pindah. Identitasnya di rumah perlindungan yang dihuninya saat ini sudah ketahuan. Karena itu, dia dan suaminya harus menyingkir.
Tim death squad tidak pernah membicarakan masalah kampanye antinarkoba Duterte. Terlebih untuk mempertanyakan apakah tindakan mereka benar atau salah. ”Kami hanya membicarkan misi yang diberikan dan bagaimana menjalankannya. Ketika itu semua sudah selesai, kami tidak pernah membicarakannya lagi,” terangnya.
Di Filipina, menandatangani kontrak untuk membunuh seseorang sudah biasa. Namun, ketika sudah masuk jaringan, susah untuk keluar. Maria mengaku menyesali pilihan hidupnya.
Dia merasa bersalah dan terus ketakutan. Takut jika keluarga orang-orang yang dibunuhnya mengejarnya. Maria juga khawatir jika anak-anaknya tahu tentang pekerjaannya dan sang suami.
”Saya tidak ingin mereka datang ke kami dan bilang bahwa mereka bisa hidup karena kami membunuh untuk mendapatkan uang,” terangnya. Saat ini pun putra tertuanya sudah mempertanyakan bagaimana ibu dan ayahnya bisa berpenghasilan cukup besar.
Maria telah menandatangani satu kontrak lagi. Dia ingin berhenti setelah kontrak itu berhasil diselesaikan. Namun, hal tersebut agaknya sulit dilakukan. Sebab, bosnya mengancam bakal membunuh siapa saja yang meninggalkan tim. Maria merasa terperangkap. Kerap dia datang ke gereja dan membuat pengakuan dosa.
Namun, dia tidak pernah memerinci dosa apa yang telah diperbuatnya. Maria dan suaminya tidak memiliki pilihan untuk hidup normal lagi seperti dulu. (BBC/sha/c11/JPNN)
loading...
Post a Comment