AMP - Anggota Komisi Hukum DPR Nasir Djamil mengatakan pengakuan terhadap
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh perlu segera dilakukan
pemerintah. Ini perlu dilakukan agar KKR Aceh bisa segera menjalankan
tugasnya.
"Pengakuan terhadap KKR Aceh perlu didorong supaya pelaksanaannya tidak masalah," kata Nasir, dalam diskusi soal KKR Aceh, di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Kamis 25 Agustus 2016.
Nasir menjelaskan keberadaan KKR Aceh mempunyai persoalan hukum. Sebab Pasal 229 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan KKR Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari KKR nasional. Tapi di saat yang bersamaan KKR Nasional dibubarkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. "Sehingga tidak ada lagi cantolan KKR Aceh, sebab KKR nasional sudah di alam barzakh," kata Nasir mengibaratkan.
Di sisi lain, KKR Aceh dianggap sebagai hal penting. Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Feri Kusuma mengatakan KKR Aceh adalah amanat yang tertuang dalam perjanjian Helsinki soal perdamaian Aceh. KKR Aceh bertujuan untuk mengungkap kebenaran terkait pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama masa konflik. "KKR Aceh penting sebagai alat bagi para korban mendapatkan hak-hak mereka," kata Feri.
Dalam praktiknya, keberadaan KKR Aceh justru mendapat kendala. Meski telah diamanatkan sejak 2006 dalam UU Pemerintahan Aceh, DPR Aceh justru baru melahirkan Qanun (Perda) tentang KKR pada 2013, yaitu melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh. Terlebih lagi, para komisioner KKR Aceh yang berjumlah 7 orang baru terpilih pada Juli 2016 lalu oleh DPR Aceh. "Mereka belum bisa kerja karena belum dilantik Gubernur Aceh," kata Feri.
Kenyataan ini membuat KKR Aceh dianggap tidak menjadi prioritas, bahkan oleh kalangan pemerintah daerah Aceh sendiri. Isu tentang KKR Aceh kalah seksi dengan isu-isu politik lain, terlebih menjelang pemilihan kepala daerah. "KKR Aceh sudah terlalu lama sehingga tak antusias lagi," kata Nasir.
Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan tugas berat KKR Aceh dari perspektif perempuan adalah memastikan korban kekerasan seksual mendapat hak-hak mereka. Ini terjadi karena pengaturan soal korban kekerasan seksual tidak diatur dalam Qanun tentang KKR Aceh. "Korban kekerasan seksual harus dipastikan bisa mengakses KKR Aceh," kata Azriana.(Tempo)
"Pengakuan terhadap KKR Aceh perlu didorong supaya pelaksanaannya tidak masalah," kata Nasir, dalam diskusi soal KKR Aceh, di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Kamis 25 Agustus 2016.
Nasir menjelaskan keberadaan KKR Aceh mempunyai persoalan hukum. Sebab Pasal 229 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan KKR Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari KKR nasional. Tapi di saat yang bersamaan KKR Nasional dibubarkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. "Sehingga tidak ada lagi cantolan KKR Aceh, sebab KKR nasional sudah di alam barzakh," kata Nasir mengibaratkan.
Di sisi lain, KKR Aceh dianggap sebagai hal penting. Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Feri Kusuma mengatakan KKR Aceh adalah amanat yang tertuang dalam perjanjian Helsinki soal perdamaian Aceh. KKR Aceh bertujuan untuk mengungkap kebenaran terkait pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama masa konflik. "KKR Aceh penting sebagai alat bagi para korban mendapatkan hak-hak mereka," kata Feri.
Dalam praktiknya, keberadaan KKR Aceh justru mendapat kendala. Meski telah diamanatkan sejak 2006 dalam UU Pemerintahan Aceh, DPR Aceh justru baru melahirkan Qanun (Perda) tentang KKR pada 2013, yaitu melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh. Terlebih lagi, para komisioner KKR Aceh yang berjumlah 7 orang baru terpilih pada Juli 2016 lalu oleh DPR Aceh. "Mereka belum bisa kerja karena belum dilantik Gubernur Aceh," kata Feri.
Kenyataan ini membuat KKR Aceh dianggap tidak menjadi prioritas, bahkan oleh kalangan pemerintah daerah Aceh sendiri. Isu tentang KKR Aceh kalah seksi dengan isu-isu politik lain, terlebih menjelang pemilihan kepala daerah. "KKR Aceh sudah terlalu lama sehingga tak antusias lagi," kata Nasir.
Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan tugas berat KKR Aceh dari perspektif perempuan adalah memastikan korban kekerasan seksual mendapat hak-hak mereka. Ini terjadi karena pengaturan soal korban kekerasan seksual tidak diatur dalam Qanun tentang KKR Aceh. "Korban kekerasan seksual harus dipastikan bisa mengakses KKR Aceh," kata Azriana.(Tempo)
loading...
Post a Comment