AMP - Kesulitan modal mengembangkan rotan olahan, membuat pengusaha lokal ini beralih ke budidaya jernang yang konon sangat dibutuhkan dunia.
Amiruddin, 60, mengendarai motor dari rumahnya di Gampong Lamgaboh, Kemukiman Kueh, Lhoknga, KM 11, Aceh Besar, menuju Simpang Keude Bieng. Ia lantas belok kanan mengambil jalan menuju Gunong Mate Ie.
“Saya punya pabrik pengolahan rotan di sana. Tapi sudah tiga bulan terhenti,” ujar Direktur Koperasi Kerajinan Rotan Lamgaboh itu kepada Pikiran Merdeka, Kamis (18/08/16).
Dia terus memacu motor di jalan aspal yang membelah perbukitan. Setelah 3 km, dia masuk ke satu lahan seluas 1 hektare lebih. Di dalamnya, terdapat satu gedung berisi rotan olahan, satu dapur penggorengan rotan, dan satu ruang terbuka.
“Di sinilah sempat dua tahun bisnis saya berjalan,” dia menunjuk lahan tropis yang sudah kosong dari aktivitas pengolahan rotan. Tidak ada lagi pekerja yang dulunya mencapai 40 orang dari warga sekitar Lhoknga.
Dia mendirikan Koperasi Kerajinan Rotan pada 2006 guna memudahkan produksi dan pemasaran hasil kerajinan masyarakat Gampong Lamgaboh, Mukim Kueh.
Mukim tersebut semenjak dulu dikenal sebagai kawasan perajin rotan. Setidaknya 80 persen warga, lelaki dan perempuan, mendapatkan skill tersebut dari orangtua mereka.
Bagi Amir, dia menggenjot bisnis rotan bukan sekadar melanjutkan tradisi. Tapi sebagai persiapan trend bisnis masa depan untuk digeluti generasi muda Lhoknga dan Aceh umumnya.
Ditargetkannya, dalam 5 tahun mendatang masyarakat Lhoknga bisa hidup mandiri seperti di Cirebon, Jawa Barat. Semua warga sibuk mengolah rotan menjadi produk rotan di rumah mereka masing-masing.
Dia berujar, “Kita jangan selalu tangan di bawah. Jangan melulu ingin menjadi pegawai negeri, berwirausahalah.”
Amir ingin tunjukkan generasi muda cara berwirausaha. Sejak Januari 2015, ia bekerjasama dengan Dinas Kehutanan (Dishut) Aceh, terkait pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di wilayah Aceh Besar. Bisa pula di tiga area Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Dishut Aceh lainnya, yaitu Aceh Jaya, Pidie, dan Pidie Jaya.
“Empat daerah ini penghasil bahan baku rotan terbesar di Aceh,” terang Fajri, Kepala KPH I Dishut Aceh, yang ditemui di bekas pabrik rotan Amir.
Setiap penghasilan akan dibagi persen sesuai kesepakatan. Dari kerjasama itu, salah satu hasilnya, Koperasi Kerajinan Rotan menjadi penyuplai rotan olahan ke Cirebon. Per bulan harus ada stok 5 – 10 ton.
Namun Amir menemui hambatan menjelang medio tahun ini. Ia tak punya cukup modal membiayai operasional pabriknya. Dia mesti menggaji 40 pekerja. Paling berat, ia harus mendatangkan banyak mesin pengolah rotan.
Kini ia hanya punya mesin pembelah rotan, padahal ia butuh banyak: mesin split, mesin steam, mesin tri roll, mesin gergaji, mesin penipis, mesin dowel, mesin penggulung, mesin poles, dan mesin penyambung kulit rotan.
“Lebih kurang butuh Rp500 juta, karena biaya listrik juga akan tinggi,” harapnya.
Dalam masa cooling down ini, Amir beralih ke komoditas baru: jernang. Dia tengah membudidayakan 6.100 bibit rotan jernang yang didatangkan dari Tangse, Kabupaten Pidie.
“Jernang komoditas langka, dunia sangat membutuhkannya,” ucap Amir, seraya menunjukkan bibit jernang dalam polybag hitam yang sudah tumbuh setinggi lututnya.
Ratusan jernang itu nantinya ditanamkan di sekitar lembah Gunong Mate Ie dalam area kebunnya yang masuk dalam kawasan hutan lindung. Khusus usaha ini, dia percayakan pada Kelompok Usaha Lembah Mata Ie yang dinaungi Koperasi Kerajinan Rotan.
Amir yakin budidaya tanaman penghasil getah yang dikenal dengan nama Dragon’s Blood (darah naga_red) itu memiliki prospek cerah. Karena didapatinya, rotan jernang bisa tumbuh liar di hutan belantara, pasti hasilnya akan lebih baik jika dibudidayakan.
Amiruddin, 60, mengendarai motor dari rumahnya di Gampong Lamgaboh, Kemukiman Kueh, Lhoknga, KM 11, Aceh Besar, menuju Simpang Keude Bieng. Ia lantas belok kanan mengambil jalan menuju Gunong Mate Ie.
“Saya punya pabrik pengolahan rotan di sana. Tapi sudah tiga bulan terhenti,” ujar Direktur Koperasi Kerajinan Rotan Lamgaboh itu kepada Pikiran Merdeka, Kamis (18/08/16).
Dia terus memacu motor di jalan aspal yang membelah perbukitan. Setelah 3 km, dia masuk ke satu lahan seluas 1 hektare lebih. Di dalamnya, terdapat satu gedung berisi rotan olahan, satu dapur penggorengan rotan, dan satu ruang terbuka.
“Di sinilah sempat dua tahun bisnis saya berjalan,” dia menunjuk lahan tropis yang sudah kosong dari aktivitas pengolahan rotan. Tidak ada lagi pekerja yang dulunya mencapai 40 orang dari warga sekitar Lhoknga.
Dia mendirikan Koperasi Kerajinan Rotan pada 2006 guna memudahkan produksi dan pemasaran hasil kerajinan masyarakat Gampong Lamgaboh, Mukim Kueh.
Mukim tersebut semenjak dulu dikenal sebagai kawasan perajin rotan. Setidaknya 80 persen warga, lelaki dan perempuan, mendapatkan skill tersebut dari orangtua mereka.
Bagi Amir, dia menggenjot bisnis rotan bukan sekadar melanjutkan tradisi. Tapi sebagai persiapan trend bisnis masa depan untuk digeluti generasi muda Lhoknga dan Aceh umumnya.
Ditargetkannya, dalam 5 tahun mendatang masyarakat Lhoknga bisa hidup mandiri seperti di Cirebon, Jawa Barat. Semua warga sibuk mengolah rotan menjadi produk rotan di rumah mereka masing-masing.
Dia berujar, “Kita jangan selalu tangan di bawah. Jangan melulu ingin menjadi pegawai negeri, berwirausahalah.”
Amir ingin tunjukkan generasi muda cara berwirausaha. Sejak Januari 2015, ia bekerjasama dengan Dinas Kehutanan (Dishut) Aceh, terkait pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di wilayah Aceh Besar. Bisa pula di tiga area Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Dishut Aceh lainnya, yaitu Aceh Jaya, Pidie, dan Pidie Jaya.
“Empat daerah ini penghasil bahan baku rotan terbesar di Aceh,” terang Fajri, Kepala KPH I Dishut Aceh, yang ditemui di bekas pabrik rotan Amir.
Setiap penghasilan akan dibagi persen sesuai kesepakatan. Dari kerjasama itu, salah satu hasilnya, Koperasi Kerajinan Rotan menjadi penyuplai rotan olahan ke Cirebon. Per bulan harus ada stok 5 – 10 ton.
Namun Amir menemui hambatan menjelang medio tahun ini. Ia tak punya cukup modal membiayai operasional pabriknya. Dia mesti menggaji 40 pekerja. Paling berat, ia harus mendatangkan banyak mesin pengolah rotan.
Kini ia hanya punya mesin pembelah rotan, padahal ia butuh banyak: mesin split, mesin steam, mesin tri roll, mesin gergaji, mesin penipis, mesin dowel, mesin penggulung, mesin poles, dan mesin penyambung kulit rotan.
“Lebih kurang butuh Rp500 juta, karena biaya listrik juga akan tinggi,” harapnya.
Dalam masa cooling down ini, Amir beralih ke komoditas baru: jernang. Dia tengah membudidayakan 6.100 bibit rotan jernang yang didatangkan dari Tangse, Kabupaten Pidie.
“Jernang komoditas langka, dunia sangat membutuhkannya,” ucap Amir, seraya menunjukkan bibit jernang dalam polybag hitam yang sudah tumbuh setinggi lututnya.
Ratusan jernang itu nantinya ditanamkan di sekitar lembah Gunong Mate Ie dalam area kebunnya yang masuk dalam kawasan hutan lindung. Khusus usaha ini, dia percayakan pada Kelompok Usaha Lembah Mata Ie yang dinaungi Koperasi Kerajinan Rotan.
Amir yakin budidaya tanaman penghasil getah yang dikenal dengan nama Dragon’s Blood (darah naga_red) itu memiliki prospek cerah. Karena didapatinya, rotan jernang bisa tumbuh liar di hutan belantara, pasti hasilnya akan lebih baik jika dibudidayakan.
Getah buah jernang diincar dunia untuk dijadikan bahan pewarna, obat-obatan, dupa, dan parfum. Karena itu, komoditas getah jernang diyakini tak pernah sepi permintaan pasar.
Setidaknya demikian dialami Pimpinan CV Usaha Darah Naga, Thantawi. Pengusaha getah jernang di Aceh Barat itu mengungkapkan, per 2015, dia kewalahan memenuhi kebutuhan ekspor yang mencapai 400 ton per tahun atau setara Rp20 triliun.
“Yang mampu terserap dari Aceh hanya sekitar 30 sampai 40 persen karena masih terbatas bahan baku,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Selama ini dia kerap memperoleh bahan baku dari penampung lokal, yang mencari jernang liar di kawasan hutan Aceh dan Sumatera.
Menurut pengusaha yang memiliki mesin pengolahan jernang ber-SNI ini, bahan baku darah naga di Indonesia ditemukan dari hutan Kalimantan, Sumatera, Jambi, Bengkulu dan Aceh. “Kualitas bahan baku jernang Aceh yang terbaik di Indonesia,” sebutnya.
Dia mendapati masyarakat dan pemerintah Aceh kurang berminat pada budidaya jernang. Padahal potensinya sangat besar dari segi ekonomis.
Kawasan hutan lindung yang ada di Aceh menurutnya bisa dimanfaatkan untuk membudidayakan jernang. Pohon darah naga itu tak akan merusak hutan. Sehingga akan lebih diperoleh bahan bakunya.
Thantawi mengungkapkan, pihaknya menampung bahan baku buah jernang di Aceh per 2015 dengan harga Rp300 ribu/kg. Jika sudah diolah menjadi resin (getah) untuk ekspor ditampung Rp5 juta/kg.
Selama ini, dia mengekspor jernang ke Singapura, Malaysia, dan Cina, tiga negara produsen barang jadi yang berbahan baku getah jernang.
“Ini sebenarnya potensi ekonomis yang belum tergarap dan butuh dorongan dari pusat dan daerah,” ujarnya via Antara.
Pantas saja Amiruddin kini harus bekerja lebih keras. “Yang penting kita mencoba dulu, kalau nantinya berhasil akan kita perluas lagi area penanaman jernang di hutan lindung,” ujar Fajri meyakinkan Amir di kebunnya.
Namun di saat bersamaan, Amir harus menghasilkan rotan olahan. Khusus rotan, dia sudah membudidayakannya di Layeun, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Jika tak dibudidayakan, bahan baku rotan juga terancam punah.
Hal itu juga diakui pemilik Awe Polem di Gampong Aneuk Paya, Mukim Kueh. “Saat ini kami memang kesulitan bahan baku rotan,” kata Ajir kepada Pikiran Merdeka, Kamis (18/08/16).
Dia pernah ditawarkan seorang pengusaha untuk menyediakan 500 produk rotan per bulan. Tapi ditolaknya. “Kita kesulitan bahan baku dan perajin,” alasannya.
Dia baru bisa menerima tawaran itu seandainya dia punya pabrik pengolahan rotan. Sehingga ia bisa mengontrol produktivitas rotan dan menjamin kelangsungan hidup pekerja. “Saya yakin mampu,” ujarnya.[Sumber: pikiranmerdeka.co]
Setidaknya demikian dialami Pimpinan CV Usaha Darah Naga, Thantawi. Pengusaha getah jernang di Aceh Barat itu mengungkapkan, per 2015, dia kewalahan memenuhi kebutuhan ekspor yang mencapai 400 ton per tahun atau setara Rp20 triliun.
“Yang mampu terserap dari Aceh hanya sekitar 30 sampai 40 persen karena masih terbatas bahan baku,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Selama ini dia kerap memperoleh bahan baku dari penampung lokal, yang mencari jernang liar di kawasan hutan Aceh dan Sumatera.
Menurut pengusaha yang memiliki mesin pengolahan jernang ber-SNI ini, bahan baku darah naga di Indonesia ditemukan dari hutan Kalimantan, Sumatera, Jambi, Bengkulu dan Aceh. “Kualitas bahan baku jernang Aceh yang terbaik di Indonesia,” sebutnya.
Dia mendapati masyarakat dan pemerintah Aceh kurang berminat pada budidaya jernang. Padahal potensinya sangat besar dari segi ekonomis.
Kawasan hutan lindung yang ada di Aceh menurutnya bisa dimanfaatkan untuk membudidayakan jernang. Pohon darah naga itu tak akan merusak hutan. Sehingga akan lebih diperoleh bahan bakunya.
Thantawi mengungkapkan, pihaknya menampung bahan baku buah jernang di Aceh per 2015 dengan harga Rp300 ribu/kg. Jika sudah diolah menjadi resin (getah) untuk ekspor ditampung Rp5 juta/kg.
Selama ini, dia mengekspor jernang ke Singapura, Malaysia, dan Cina, tiga negara produsen barang jadi yang berbahan baku getah jernang.
“Ini sebenarnya potensi ekonomis yang belum tergarap dan butuh dorongan dari pusat dan daerah,” ujarnya via Antara.
Pantas saja Amiruddin kini harus bekerja lebih keras. “Yang penting kita mencoba dulu, kalau nantinya berhasil akan kita perluas lagi area penanaman jernang di hutan lindung,” ujar Fajri meyakinkan Amir di kebunnya.
Namun di saat bersamaan, Amir harus menghasilkan rotan olahan. Khusus rotan, dia sudah membudidayakannya di Layeun, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Jika tak dibudidayakan, bahan baku rotan juga terancam punah.
Hal itu juga diakui pemilik Awe Polem di Gampong Aneuk Paya, Mukim Kueh. “Saat ini kami memang kesulitan bahan baku rotan,” kata Ajir kepada Pikiran Merdeka, Kamis (18/08/16).
Dia pernah ditawarkan seorang pengusaha untuk menyediakan 500 produk rotan per bulan. Tapi ditolaknya. “Kita kesulitan bahan baku dan perajin,” alasannya.
Dia baru bisa menerima tawaran itu seandainya dia punya pabrik pengolahan rotan. Sehingga ia bisa mengontrol produktivitas rotan dan menjamin kelangsungan hidup pekerja. “Saya yakin mampu,” ujarnya.[Sumber: pikiranmerdeka.co]
loading...
Post a Comment