Foto : Nek Hindon berlinang air mata saat menceritakan kisah sang anaknya yang gugur pada saat konflik Aceh. (Zamzami Ali/Klikkabar) |
AMP - Setiap tanggal 15 Agustus diperingati sebagai Hari Damai Aceh. Di tahun 2016 ini memasuki tahun ke-11, sejak penandatanganan kesepakatan damai pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia yang tertuang kedalam perjanjian MoU Helsinki.
Sejatinya, setiap masyarakat Aceh yang menjadi korban konflik bersenjata di masa lalu, menjadi prioritas utama pemerintah untuk menanganinya dengan berbagai program bantuan yang ada. Namun, keadaan berbeda terjadi di salah satu daerah di Aceh Timur.
Tepatnya di Desa Seuneubok Dalam, Kecamatan Idi Teunong, sebuah pemandangan miris dialami oleh ibu yang satu ini. Namanya Hindon, usianya sudah lebih setengah abad persisnya sekitar 62 tahun. Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dengan usia yang semakin termakan oleh waktu. Kesehariannya banyak dihabisi dirumah dengan beribadah, mengingat sang Khaliq, pencipta seluruh alam. Wajahnya juga selalu tampak gembira, tak pernah terlihat perasaan sedih. Meskipun raut wajah mulai keriput tapi senyum ramah dan wajah riang selalu di perlihatkan kepada semua orang.
Rumah yang ditempati oleh Hindon kondisinya sungguh memprihatinkan. Terbuat dari anyaman bambu dengan luas hanya sekitar 3×4 meter. Di rumah yang pantas disebut sebagai ‘gubuk’ itulah Hindon tinggal bersama putra bungsunya, Baharuddin (25 tahun), yang kini berprofesi sebagai nelayan.
“Kami cuma tinggal berdua Nak. Putra sulung saya telah meninggal saat masa konflik Aceh dulu,” kisahnya dengan airmata yang berlinang saat didatangi Klikkabar.com, Senin, 15 Agustus 2016.
Hindon mengisahkan bahwa putra sulungnya, M. Nur alias Tekong, merupakan salah seorang Kombatan GAM yang meninggal usai terlibat baku tembak dengan aparat TNI kala itu di pedalaman Aceh Timur. Sementara adik Alm. saat ini pergi melaut dan terkadang juga sering bekerja lepas menjadi kuli bangunan demi menafkahi kehidupan sang Ibu.
“Menurut cerita dari teman-teman nya, anak saya terbunuh saat turun dari hutan waktu hendak mengambil bahan makanan yang telah disediakan oleh warga,” katanya.
Sementara itu, setelah damai tercipta antara pemerintah dan GAM di tahun 2005, Hindon mengakui bahwa hingga saat ini dia belum memperoleh bantuan apapun. Sejatinya, anak sulungnya yang terbunuh itu merupakan tulang punggung bagi keluarga. Mengingat bahwa Alm. M. Nur lah yang menafkahi keluarga semenjak kepergian sang Ayah yang telah meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya karena sakit.
“Saya tidak pernah mengharapkan apapun dari pemerintah, tapi setidaknya hargai sedikit saja jasa dan pengorbanan yang telah dilakukan anak saya semasa masih berjuang dulu demi Aceh,” pinta Hindon.
Sementara itu, Keuchik Desa Seneubok Dalam, Faisal mengatakan bahwa, pihaknya berharap agar pemerintah dalam hal ini dapat memberikan perhatian ekstra kepada korban konflik Aceh seperti yang dialami oleh Hindon.
“Kami berharap agar pemerintah lebih berhati-hati dalam menyalurkan bantuan sehingga bantuan tersebut tepat sasaran kepada pihak yang berhak menerima,” kata Faisal singkat.
MoU Helsinki memang belum dirasakan oleh Hindon. Mungkin masih banyak diluar sana yang bernasib sama dengan Hindon. Ah, Entah lah !
Sejatinya, setiap masyarakat Aceh yang menjadi korban konflik bersenjata di masa lalu, menjadi prioritas utama pemerintah untuk menanganinya dengan berbagai program bantuan yang ada. Namun, keadaan berbeda terjadi di salah satu daerah di Aceh Timur.
Tepatnya di Desa Seuneubok Dalam, Kecamatan Idi Teunong, sebuah pemandangan miris dialami oleh ibu yang satu ini. Namanya Hindon, usianya sudah lebih setengah abad persisnya sekitar 62 tahun. Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dengan usia yang semakin termakan oleh waktu. Kesehariannya banyak dihabisi dirumah dengan beribadah, mengingat sang Khaliq, pencipta seluruh alam. Wajahnya juga selalu tampak gembira, tak pernah terlihat perasaan sedih. Meskipun raut wajah mulai keriput tapi senyum ramah dan wajah riang selalu di perlihatkan kepada semua orang.
Rumah yang ditempati oleh Hindon kondisinya sungguh memprihatinkan. Terbuat dari anyaman bambu dengan luas hanya sekitar 3×4 meter. Di rumah yang pantas disebut sebagai ‘gubuk’ itulah Hindon tinggal bersama putra bungsunya, Baharuddin (25 tahun), yang kini berprofesi sebagai nelayan.
“Kami cuma tinggal berdua Nak. Putra sulung saya telah meninggal saat masa konflik Aceh dulu,” kisahnya dengan airmata yang berlinang saat didatangi Klikkabar.com, Senin, 15 Agustus 2016.
Hindon mengisahkan bahwa putra sulungnya, M. Nur alias Tekong, merupakan salah seorang Kombatan GAM yang meninggal usai terlibat baku tembak dengan aparat TNI kala itu di pedalaman Aceh Timur. Sementara adik Alm. saat ini pergi melaut dan terkadang juga sering bekerja lepas menjadi kuli bangunan demi menafkahi kehidupan sang Ibu.
“Menurut cerita dari teman-teman nya, anak saya terbunuh saat turun dari hutan waktu hendak mengambil bahan makanan yang telah disediakan oleh warga,” katanya.
Sementara itu, setelah damai tercipta antara pemerintah dan GAM di tahun 2005, Hindon mengakui bahwa hingga saat ini dia belum memperoleh bantuan apapun. Sejatinya, anak sulungnya yang terbunuh itu merupakan tulang punggung bagi keluarga. Mengingat bahwa Alm. M. Nur lah yang menafkahi keluarga semenjak kepergian sang Ayah yang telah meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya karena sakit.
“Saya tidak pernah mengharapkan apapun dari pemerintah, tapi setidaknya hargai sedikit saja jasa dan pengorbanan yang telah dilakukan anak saya semasa masih berjuang dulu demi Aceh,” pinta Hindon.
Sementara itu, Keuchik Desa Seneubok Dalam, Faisal mengatakan bahwa, pihaknya berharap agar pemerintah dalam hal ini dapat memberikan perhatian ekstra kepada korban konflik Aceh seperti yang dialami oleh Hindon.
“Kami berharap agar pemerintah lebih berhati-hati dalam menyalurkan bantuan sehingga bantuan tersebut tepat sasaran kepada pihak yang berhak menerima,” kata Faisal singkat.
MoU Helsinki memang belum dirasakan oleh Hindon. Mungkin masih banyak diluar sana yang bernasib sama dengan Hindon. Ah, Entah lah !
Sumber: klikabar.com
loading...
Post a Comment