Halloween Costume ideas 2015
loading...

Aceh Masa Daud Beureueh Dikhianati Soekarno Hingga Melawan dan Memberontak Karena Kecewa, Bagaimana Aceh Sekarang?

AMP - Indonesia yang menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah di proklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, yang telah membuat bangsa ini begitu gemuruh untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tentu saja berita ini langsung disambut dengan segenap hati serta suka cita oleh masyarakat Indonesia terutama bagi para pejuang. Namun dipihak lain, berita tentang kemerdekaan ini nyaris membuat Belanda dengan tekat bulat ingin merebut dan menguasai kembali seluruh Nusantara ini yang pernah mereka jajah.

 Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, ternyata terlambat sampai di Aceh. Berita merdeka baru diterima pada 14-15 Oktober 1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Tengku Daud Beureueh kian meledak. “Aceh juga harus merdeka” pekiknya membangkitkan semangat Rakyat Aceh untuk mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar Rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti kita ketahui “air susu dibalas dengan air tuba.”

Pada zamannya, bersama dengan seorang sahabatnya, Daud Beureueh mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda. Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan Rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

 Tengku Muhammad Daud Beureueh? Apa yang terbayang dan terekam dalam benak kita bila mendengar nama pelopor DI/TII Aceh tersebut? Daud Beureueh tidak lebih digambarkan sebagai “Pemberontak dan Teroris.” Mengapa demikian? Inilah fakta sebuah sejarah yang telah dibelokan oleh pendahulu kita, sehingga generasi bangsa ini dengan mudah mengatakan bahwa tokoh sekaligus ulama yang berasal dari Aceh itu adalah sekelompok pemberontak pada zaman Presiden Soekarno.

Bangsa ini telah menganggap Daud Beureueh sebagai “pemberontak”, tentu saja seorang pemberontak tidak akan mendapatkan gelar pahlawan nasional Indonesia. Pemberontak tidak akan mendapatkan sebuah tempat istimewa di dalam pembukuan sejarah. Pemberontak juga tidak akan diperhitungkan jasa dan perjungannya. Pemberontak tidak akan dikenang di negeri ini walaupun si pemberontak telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Dan pemberontak akan selalu mendapatkan celaan maupun anggapan-anggapan miring, baik itu di dalam buku-buku sejarah maupun sekilas tentang pemberontakan. Apakah ini bisa diterima dan tidak perlu di luruskan?

Pandangan kebanyakan orang bahwa Teungku Daud Beureueh dan pengikutnya sebagai “pemberontak” tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa Rakyat Aceh dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi setiap gempuran para musuhnya.

Mengungkapkan sejarah perjuangan Darul Islam di Indonesia, sama pentingnya dengan mengungkapkan kebenaran. Sebab perjalanan sejarah umat Islam Indonesia telah banyak dimanipulasi, bahkan berusaha ditutup-tutupi oleh penguasa. Rezim orde lama dan kemudian orde baru, mengalami sukses besar dalam membohongi serta menyesatkan kaum muslimin khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya kurang mengerti dalam memahami sejarah masa lalu negeri ini. Entalah?????

Selama ini kita telah tertipu membaca buku-buku sejarah serta berbagai publikasi sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia. Sukses besar yang diperoleh dua rezim penguasa di Indonesia dalam mengaburkan sejarah Darul Islam, adalah munculnya trauma politik di kalangan umat Islam. Hampir seluruh kaum muslimin di negeri ini, memiliki semangat untuk memperjuangkan agamanya, bahkan seringkali terjadi perdebatan di ruang diskusi maupun seminar untuk hal tersebut. Tetapi begitu tiba-tiba memasuki pembicaraan menyangkut tentang perlunya mendirikan Negara Islam, kita akan menyaksikan segera setelah itu mereka akan menghindar dan bungkam seribu bahasa. Mengapa, tanyakan ini???

Di masa akhir-akhir ini dan yang telah berlalu, bahkan semakin banyak tokoh-tokoh Islam yang menampakan ketakutannya terhadap persoalan Negara Islam. Mantan Ketua Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid misalnya, secara terus terang bahkan rnengatakan: “Musuh utama saya adalah Islam kanan, yaitu mereka yang menghendaki Indonesia berdasarkan Islam dan menginginkan berlakunya syari’at Islam”. (Republika, 22 September 1998, hal. 2 kolom 5). Selanjutnya ia katakan: “Kita akan menerapkan sekularisme, tanpa mengatakan hal itu sekularisme.”

Sejak berdirinya Republik Indonesia, rakyat negeri umumnya telah ditipu oleh penguasa hingga saat sekarang. Umat Islam Indonesia yang menduduki jumlah mayoritas telah disesatkan pemahamannya mengenai sejarah perjuangan Islam itu sendiri. Sudah seharusnya, umat Islam menyadari bahwa di Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa yang berusaha membangun supremasi Islam, yaitu Negara Islam Indonesia yang berhasil diproklamasikan, 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Namun rezim yang berkuasa telah memanipulasi sejarah tersebut dengan seenaknya, sehingga umat Islam sendiri tidak mengenal dengan jelas sejarah masa lalunya.

Sebagai contoh misalnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Tengku Muhammad Daud Beureueh adalah sebuah nama yang cukup problematis dan kontroversial di negara Indonesia, dari dulu hingga saat ini. Bahwa mereka dikenal sebagai pemberontak, harus kita luruskan. Bukan saja demi membetulkan fakta sejarah yang keliru atau sengaja dikelirukan, tetapi juga supaya kezaliman sejarah tidak terus berlanjut terhadap seseorang tokoh yang seharusnya dihormati. Maka dari itu perlunya bedah buku sangat penting terhadap buku-buku yang mengungkapkan manipulasi sejarah ini, merupakan perbuatan luhur dalam meluruskan distorsi sejarah yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari khazanah sejarah bangsa.

Sebuah pernyataan yang sungguh menyesakkan dada. “Sejarah tentang perjuangan umat Islam Indonesia di masa kemerdekaan kita, menuliskan bahwa umat Islam Indonesia tidak lebih sebagai para pemberontak. Ada NII Kartosuwiryo dan DI/TII Aceh, Daud Beureueh, Kahar Muzakar, Gerombolan Imron ‘Woyla’, peledakan Borobudur, dan sebagainya. Umat Islam Indonesia dilukiskan sebagai teroris. Tidak lebih.”

Siapa pun takkan bisa menolak fakta bahwa perjuangan umat Islam-lah yang menjadikan Nanggroe Aceh dan bangsa ini merdeka serta mampu mempertahankannya. Semangat jihad-lah yang membakar dan membuat Rakyat Aceh dan negara Indonesia kuat menghadapi berbagai gempuran para musuhnya. Tetapi apakah hal ini ditulis dengan benar dan apa adanya dalam sejarah kita? Sama sekali tidak!”

Sepertinya kita harus berani mengkritik diri sendiri dan membongkar topeng-topeng palsu bangsa kita dengan melihat sejarah masa lalu kita. Dari situ kita bisa memulai untuk bercermin diri, untuk mengetahui dengan yakin apakah kita ini bangsa yang bobrok atau bangsa yang baik? Perjuangan dan jasa tak selamanya berbalas budi. Perjuangan Mujahidin Indonesia menuntut syariat Islam, menuai khianat.

Ketika Soekarno berkunjung ke Aceh di awal kemerdekaan bertemu dengan Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Kepada Abu Beureueh, Soekarno menyatakan komitmennya untuk menegakkan Islam dan memberlakukan syariat Islam di Aceh. Namun kenyataannya, Soekarno mengkhianati janjinya. Inilah penyebab utama kekecewaan bukanlah pemberontak Rakyat Aceh yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh menelan waktu bertahun-tahun dan menorehkan luka yang dalam di hati Rakyat Aceh.

“Wallah, Billah, daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar Rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu?” ujar Soekarno yang saat itu sedang berada di Aceh menjumpai Daud Beureueh dan Rakyat Aceh.

Sebutan “kakak” yang diucapkan oleh Soekarno tak lain tak bukan hanya untuk seorang yang ditujukan kepada Daud Beureueh. Sumpah yang diucapkan oleh Soekarno tersebut tidak langsung diterima oleh Daud Beureueh, beliau meminta sebuah perjanjian tertulis sebagai tanda dan bukti keseriusan Soekarno terhadap Aceh.

Ketika Daud Beureueh meminta perjanjian hitam diatas putih, Soekarno langsung mengeluarkan air mata palsunya dan menangis terisak-isak sambil berkata “Apakah kakak tidak percaya dan masih ragu? Buat apa saya menjadi Presiden, bila saya tidak dipercaya.” Mendengar ucapan tersebut, Tgk. M. Daud Beureueh pun mengundurkan niatnya sesudah itu. Hal ini menjadi bukti tentang bahwa besarnya peranan seorang ulama dalam masyarakat Aceh. Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, Pemerintah Pusat menetapkan Tgk. Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Keputusan tersebut tertulis dalam Keputusan Presiden pada 26 Agustus 1949, No. 4/WKP/U/47. Keputusan inilah yang pada awalnya merupakan titik pertama Pusat untuk menipu Aceh.

Namun, tuntutan untuk hidup di bawah syari’at Islam belum juga terwujud. Bahkan Rakyat Aceh cenderung menjadi anak tiri oleh pemerintah Republik Indonesia ketika Sukarno membubarkan provinsi Aceh dan meleburnya menjadi ke dalam bagian dari Sumatera Utara. Ketika tuntutan Daud Beureueh tak tercapai dan merasa telah tertipu oleh ucapan Soekarano atas permintaan melaksanakan syari’at Islam, hasilnya, tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan bagi Rakyat Aceh. Daud Beureueh yang menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”

Tuntutan Daud Beureueh, hanya satu “Rakyat Aceh hidup di bawah syariat Islam.” Hal ini sejalan dengan yang dituturkannya ketika diwawancarai oleh Boyd R. Compton, “Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah mimpi dan impian. Kami sangat merindukan dan mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu pemerintahan mempunyai dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu memenuhi kebutuhan zaman modern. Sekarang kami ingin kembali ke sistem pemerintahan itu. Sayangnya tuntutan itu tak pernah terwujud. Janji tinggal janji, penerapan syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara.

Merasa dikhianati, maka muncullah gerakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DII/TII) yang sebetulnya telah terbentuk di Jawa Barat. Namun, di Aceh gerakan serupa disebut NBA (Negara Bagian Aceh). Akibatnya, Aceh Diserang. Puncaknya adalah pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Negara Islam Indonesia yang telah diproklamirkan oleh Kartosoewiryo pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, sedangkan di Aceh terkenal dengan sebutan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII Aceh). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Replublik Indonedia, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.

 Sayangnya, pemerintah menganggap apa yang dilakukannya adalah sebuah pemberontakan sehingga harus ditumpas habis. Untuk meredam gejolak tersebut, Pemerintah Pusat mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakati tuntutan Rakyat Aceh.  Aceh pun diberikan otonomi khusus. Meskipun demikian, masa tenang tersebut tak berlangsung lama, penangkapan-penangkapan terhadap anggota DI/TII Aceh terus berlanjut karena isu-isu rapat antara Daud Beureueh dengan Kartosoewiryo. Pada bulan Desember 1962 Daud Beureueh turun gunung dan berdamai kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jasin.

Daud Beureueh dan juga Aceh mempunyai sumbangsih yang sangat besar bagi Republik Indonesia. Sumbangsihnya tersebut, diantaranya adalah menyerukan seluruh ulama Aceh untuk mendukung Soekarno ketika dia memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, membangaun dua pemancar radio untuk berhubungan dengan dunia luar pada saat Yogyakarta yang ketika tersebut menjadi ibukota Republik Indonesia dikuasai oleh Belanda, dan juga sebagai perintis penerbangan Indonesia dengan pesawat Seulawah I dan II yang disumbangkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Sayangnya, bukan bintang tanda jasa yang diberikan. Bukan piagam penghargaan yang Daud Beureueh terima. Tetapi, sebuah cap pemberontak dan pengkhianatan. Ya, Penghianatan yang membuat Aceh terluka sampai sekarang. Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Nusantara, terutama Tanah Jawa yang salah satunya Emas di Monas, maka sekarang sudah saatnya “Jawa” membangun dan memperhatikan Aceh secara khusus.

Ketulusan jiwa raga para muslimin Aceh untuk mempertahankan negara ini dengan penuh harapan menjadi negara yang berdasarkan syari’at Islam telah dikhianati dan dipermainkan penguasa Indonesia semenjak ia merdeka sampai hari ini. Akhirnya, para mujahidin Aceh di periode awal dapat mengawal keutuhan aqidah dan kemantapan syari'ah, namun generasi Aceh hari ini telah gagal mempertahankan keutuhan aqidah dan kesempurnaan syari'ahnya.

Tapi sungguh, gerakan memperjuangkan hakikat kebenaran memang tak pernah sepi dari aral. Tapi juga tak pernah sepi dari para pejuang yang mengharap ridha Allah. Kartosoewirjo dan Ibnu Hajar memang telah dijatuhi hukuman mati. Kahar Muzakkar pun telah pula diekskusi dan Daud Beureueh telah lama tutup mata. Namun perjuangan menegakkan syariat  Islam dan meretas jalan menuju kebaikan, selalu menawarkan undangan dan peminat tak pernah sepi untuk datang. Tidak selalu dalam bentuk yang sama. Tapi selalu punya tujuan yang satu. Menuju ridha-Nya.

Hari ini kami menghormatimu, besok kami bersamamu! Insya allah. Itulah barangkali makna dari firman Allah Swt: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (qs. 2:154).
Oleh: Chaerol Riezal

Sumber: chaerolriezal.blogspot.co.id/
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget