LOKASI pertama selesai. Kami bertolak ke tempat kedua melalui jalur utara, kembali ke Banda Aceh. Lokasi kedua ini memiliki kisah yang telah diketahui luas oleh masyarakat. Disebut sebagai rumah penyiksaan atau dikenal di masyarakat lokal dengan nama slaughterhouse.
Namanya Rumoh Geudong, sebuah rumah khas Aceh yang berada di Desa Bilie Aron, Pidie. Rumoh Geudong di era Daerah Operasi Militer (DOM) menjadi kamp konsentrasi militer sekaligus pos sattis (untuk pengawasan masyarakat) bagi pasukan Kopassus.
Usai pencabutan DOM pada 7 Agustus 1998, terungkap fakta tentara tidak hanya menggunakan Rumoh Geudong sebagai pos sattis melainkan sebagai pos untuk melakukan tindakan di luar perikemanusiaan seperti penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap rakyat Aceh atau yang diduga sebagai Gerakan Pengacau Keamanan-Aceh Merdeka(GPK-AM).
Membaca sekilas ringkasan latar belakang Rumoh Geudong membuat saya terdiam. Meski peristiwa tersebut berlangsung di era Orde Baru hingga kini belum ada langkah tegas dari pemerintah.
Namanya Muhammad Nur Bin Ibrahim. Orang memanggilnya M. Nur. Usianya kini 53 tahun. Ia sedang bersantai saat kami menyambangi kediamannya pada malam, akhir pekan. Saya, Lendi, dan Feri ditemani Zulkifli seorang pegiat HAM Aceh. Percakapan pun dimulai dalam bahasa Aceh.
Saya dan Lendi hanya terdiam karena tidak memahami bahasa Aceh. Akan tetapi, komunikasi M Nur dengan Zulkifli dan Feri KontraS menyiratkan pesan bahwa peristiwa tersebut mengerikan. Kami tidak mewawancarainya malam itu, tapi keesokan harinya. Menuju rumah penyiksaan itu.
Ruas jalan utama mengarah ke Desa Bilie Aron tampak lenggang. Siang itu, kami menyambangi bekas lokasi yang dulunya menjadi lokasi pembantaian rakyat Aceh, Rumoh Geudong. Rumoh Geudong itu kini tinggal reruntuhan ditemani rerumputan serta pepohonan yang tumbuh di sekitar area tersebut. Tak lama setelah status DOM dicabut, Rumoh Geudong dibakar. Zulkifli bersama teman-teman relawan sempat melintasi jalanan sekitar Rumoh Geudong.
“Ngeri sekali saat itu lewat sini. Beberapa teman perempuan waktu kami naik mobil kesurupan,” pungkas Zul menemani perjalanan masuk ke kawasan yang kini mirip perkebunan.
Jarum jam menunjukkan pukul 11 siang. Matahari seolah berada tepat di atas kepala saya. M Nur mulai berjalan menuju titik dimana ia mendapat penyiksaan pada 1997.
Langkah kakinya agak menyeret karena luka yang didapatnya beberapa hari lalu. “Tempat siksa saya di sini. Saya dipukul sama kabel, rotan dan diinjak injak di sini. Itu ada tangga naik itu masuk dalam ada orang-orang,” ujar M Nur seraya menunjuk ke hamparan rerumputan. Ia berjalan ke depan dan menunjuk ke arah bekas sumur.
“Itu sumur, tempat saya mandi. Tempat mandi dan tempat saya dimasukkan ke dalam air,” jelasnya. Saya pun bertanya,”Pak Nur, dimana kolam kotoran yang dimaksud?”
Telunjuk kanannya menuju ke bawah dan M Nur berkata,”Kolam tahi(kotoran) di sinilah. Saya tidur di kolam tahi (kotoran).” Kolam yang dimaksud adalah sebuah bak sebagaimana M Nur ceritakan dalam wawancara kepada kami. Setiap malam, ia dipaksa tidur di dalam bak penuh kotoran para tentara. Akan tetapi, kotoran tersebut tidak berbau.
Namanya Rumoh Geudong, sebuah rumah khas Aceh yang berada di Desa Bilie Aron, Pidie. Rumoh Geudong di era Daerah Operasi Militer (DOM) menjadi kamp konsentrasi militer sekaligus pos sattis (untuk pengawasan masyarakat) bagi pasukan Kopassus.
Usai pencabutan DOM pada 7 Agustus 1998, terungkap fakta tentara tidak hanya menggunakan Rumoh Geudong sebagai pos sattis melainkan sebagai pos untuk melakukan tindakan di luar perikemanusiaan seperti penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap rakyat Aceh atau yang diduga sebagai Gerakan Pengacau Keamanan-Aceh Merdeka(GPK-AM).
Membaca sekilas ringkasan latar belakang Rumoh Geudong membuat saya terdiam. Meski peristiwa tersebut berlangsung di era Orde Baru hingga kini belum ada langkah tegas dari pemerintah.
Namanya Muhammad Nur Bin Ibrahim. Orang memanggilnya M. Nur. Usianya kini 53 tahun. Ia sedang bersantai saat kami menyambangi kediamannya pada malam, akhir pekan. Saya, Lendi, dan Feri ditemani Zulkifli seorang pegiat HAM Aceh. Percakapan pun dimulai dalam bahasa Aceh.
Saya dan Lendi hanya terdiam karena tidak memahami bahasa Aceh. Akan tetapi, komunikasi M Nur dengan Zulkifli dan Feri KontraS menyiratkan pesan bahwa peristiwa tersebut mengerikan. Kami tidak mewawancarainya malam itu, tapi keesokan harinya. Menuju rumah penyiksaan itu.
Ruas jalan utama mengarah ke Desa Bilie Aron tampak lenggang. Siang itu, kami menyambangi bekas lokasi yang dulunya menjadi lokasi pembantaian rakyat Aceh, Rumoh Geudong. Rumoh Geudong itu kini tinggal reruntuhan ditemani rerumputan serta pepohonan yang tumbuh di sekitar area tersebut. Tak lama setelah status DOM dicabut, Rumoh Geudong dibakar. Zulkifli bersama teman-teman relawan sempat melintasi jalanan sekitar Rumoh Geudong.
“Ngeri sekali saat itu lewat sini. Beberapa teman perempuan waktu kami naik mobil kesurupan,” pungkas Zul menemani perjalanan masuk ke kawasan yang kini mirip perkebunan.
Jarum jam menunjukkan pukul 11 siang. Matahari seolah berada tepat di atas kepala saya. M Nur mulai berjalan menuju titik dimana ia mendapat penyiksaan pada 1997.
Langkah kakinya agak menyeret karena luka yang didapatnya beberapa hari lalu. “Tempat siksa saya di sini. Saya dipukul sama kabel, rotan dan diinjak injak di sini. Itu ada tangga naik itu masuk dalam ada orang-orang,” ujar M Nur seraya menunjuk ke hamparan rerumputan. Ia berjalan ke depan dan menunjuk ke arah bekas sumur.
“Itu sumur, tempat saya mandi. Tempat mandi dan tempat saya dimasukkan ke dalam air,” jelasnya. Saya pun bertanya,”Pak Nur, dimana kolam kotoran yang dimaksud?”
Telunjuk kanannya menuju ke bawah dan M Nur berkata,”Kolam tahi(kotoran) di sinilah. Saya tidur di kolam tahi (kotoran).” Kolam yang dimaksud adalah sebuah bak sebagaimana M Nur ceritakan dalam wawancara kepada kami. Setiap malam, ia dipaksa tidur di dalam bak penuh kotoran para tentara. Akan tetapi, kotoran tersebut tidak berbau.
“Anehnya tidak gatal padahal beberapa jam saya di dalam kolam itu. Nah ini semua satu badan penuh tahi(kotoran) tentara tapi anehnya tidak ada bau. Heran saya, ini tahi semua tapi tidak ada aroma bau busuk,” jelasnya dalam sesi wawancara.
Selama sebulan M Nur berada di Rumoh Geudong. Hingga kini, ia tidak mengerti apa motivasi penyiksaan yang dilakukan tentara padanya. “Memang kurang ajar itu, saya tidak ditanya tapi dihajar, dipukul dulu!” tegasnya. Usai dilepaskan, M Nur langsug melarikan diri ke Malaysia. Sekitar dua tahun terakhir ia baru kembali ke Indonesia.
“Kalau saya lihat Rumoh Geudong sampai sekarang saya takut, lihat kawan-kawan saya mati. Kalau lewat Rumoh Geudong aduh masih ada takutlah,” jelasnya.
Tak jauh berbeda dengan M Nur, Abdul Wahab(65) juga menjadi korban Rumoh Geudong. Ia menjadi “angkatan pertama” yang dikirim ke rumah penyiksaan tersebut sekitar tahun 1991. Meski lima hari ditahan di Rumoh Geudong, Abdul mengalami penyiksaan luar biasa. Kepada kami, ia membuka mulut dan mencopot gigi palsunya. Tangan kanannya menunjuk ke dalam. Lalu ia mengambil tang dan memeragakan adegan pencopotan gigi.
“Gigi saya dicabut dengan tang satu per satu. Setelah itu mereka ambil obeng ditusuk gusi saya. Telinga, hidung dan mulut saya mengeluarkan darah. Saya tidak bisa makan. Dalam waktu lima belas menit gigi saya habis semua dicabut dengan tang. Setelah mereka cabut gigi saya, mereka tertawa,” ujar Abdul dalam bahasa lokal.
Saya merinding mendengar kalimat sebenarnya usai diterjemahkan. Tak hanya itu, rekonstruksi adegan yang dilakukan Abdul pun membuat “ngilu” sekujur tubuh. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana penyiksaan kala itu. Kini, Abdul bekerja sebagai buruh angkut di pasar, tak jauh dari rumah M Nur.
Masih di daerah Pidie, kami menemui satu narasumber lagi. Ia seorang perempuan berusia 60 tahun. Namanya Rukiyah. Sehari-hari, ia bekerja sebagai petani Coklat. Kebunnya berada di kaki pegunungan. Untuk mendapatkan suasana wawancara, kami pun mengikuti aktivitas Rukiyah di kebun coklatnya.
Sekitar sejam lamanya kami berjalan kaki melewati perkebunan sebelum tiba di sana. Waktu menunjukkan pukul 13.00. Meski siang hari, tubuh terasa sejuk. Usai mendapatkan posisi tepat, kami pun memulai wawancara dibantu penerjemah.
Rukiyah memulai ceritanya. Ia sedang hamil delapan bulan saat dibawa ke Rumoh Geudong. Tujuannya ikut ajakan kepala desa karena ingin melihat jasad sang suami. Berdasarkan informasi yang diterima, suaminya ditembak di Desa Amok dan dibawa ke Rumoh Geudong. Sesampainya di Rumoh Geudong, tentara bertanya,”Suami kamu GAM ya?”
Rukiyah pun menjawab dengan lantang,”Suami saya bukan GAM, suami saya tidak terlibat GAM. Tak lama kemudian, ia pun dibawa ke lantai dua. Di ruangan tersebut ia diperkosa beberapa tentara. Tak hanya itu sekujur tubuh yang telanjang itu disiram bensin dari ujung rambut hingga kaki. Rukiyah hendak dibakar.
Akan tetapi, hal itu tidak terjadi. Menjelang pagi ia pun dilepaskan. Hingga kini, ia tidak mengetahui ke mana jasad suaminya. Yang tersisa hanyalah sarung dengan bekas lubang peluru serta sebilah parang yang biasa dipakai suaminya bertani.
Hingga kini, belum ada angka pasti berapa jumlah korban pada saat terjadinya konflik di Aceh. “Itu persoalannya karena sampai hari ini tidak ada satupun lembaga yang melakukan penyelidikan atau pendataan terhadap para korban yang berani menyimpulkan sebenarnya berapa banyak korban pada saat konflik di aceh itu,” ujar Feri Kusuma, Deputi Koordinator KontraS bidang Investigasi dan Advokasi.
Tim Pencari Fakta Komnas HAM yang dipimpin Otto Nur Abdullah pada 2013 lalu mengeluarkan hasil penyelidikannya pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. Pada kasus Rumoh Geudong misalnya, tim menemukan data di Kabupaten Pidie terjadi 3.504 kasus korban operasi militer.
Dari sejumlah data itu tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meninggal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus, dan rumah dirusak 47 kasus. Kerugian materil pun mencapai Rp 4,2 miliar.
Saat ini, Komnas HAM pun masih kesulitan untuk meminta keterangan dari pihak militer terkait kasus tersebut. Otto mengungkapkan kepada kami, pihak militer yang diduga terlibat takut menemui Komnas.
“Yang saya bilang komandan operasi itu sudah pensiun. Ada juga komandan itu yang sekarang di masa tuanya sakit, ada yang kena parkinson, dan rata-rata yang berindikasi pelaku pelanggaran ham berat itu sakit. Itu mungkin hukuman Tuhan, kita tidak tahu. Tapi sampai sekarang umumnya dari militer itu tidak akomodatif,” jelas Otto. [acehkita.com]
loading...
Post a Comment