AMP - Indonesia
memang telah merdeka dari penjajahan fisik negara-negara asing. Meskipun
demikian, proses intervensi dan dominasi asing dalam berbagai aspek di negeri
ini baik dalam aspek politik, ekonomi, hukum dan sosial justru makin kuat.
Kerugian dan kerusakannya juga jauh lebih parah dibandingkan dengan penjajahan
fisik masa lalu. Ironis, banyak pihak termasuk pemimpin negeri ini, sadar atau tidak,
telah menjadi bagian yang membantu proses penjajahan tersebut. Utang luar negeri melonjak sementara
kesejahteraan masyarakat masih jauh dari harapan. Ironis!, dari waktu ke waktu
kekuatan bangsa ini terus merosot karena perekonomian dikuasai kekuatan asing.
Ketika negara sudah tidak lagi independen dan berjalan sesuai dengan arahan asing, inilah wujud nyata penjajahan atau imperialisme. Melalui penjajahan gaya baru atau neoimperialisme inilah, Barat mencengkeram negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.
Seperti dilansir situs resmi bank Indonesia (www.bi.go.id), Utang Luar
Negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2016 tercatat sebesar USD314,3
miliar atau melambat 3,7%. Berdasarkan jangka waktu asal, utang luar negeri
berjangka panjang menyusut, dan utang luar negeri berjangka pendek masih
mengalami penurunan.
Menurut Analis Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia (AEPI), Dani Setiawan mengungkapkan, bahwa keinginan
pemerintah yang melakukan penambahan utang sebesar Rp 605,3 triliun pada tahun
awal tahun 2016 hanya akan menambah sulit perekonomian dan menambah beban bagi
rakyat Indonesia. “Negara yang bergantung pada utang sudah pasti
perekonomiannya tidak sehat,” ungkapnya di Jakarta, Sabtu (2/1/2016).
Bank Indonesia (BI) melaporkan utang
luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I-2016 sebesar 316 miliar dollar
AS, atau tumbuh 5,7 persen secara tahunan. Jika dihitung dengan kurs Rp.
13.278,-/dolar, maka hutang tersebut telah setara dengan 4.195 triliun rupiah lebih.
Berdasarkan rincian tenor, ULN
jangka panjang tercatat meningkat, sementara ULN jangka pendek menurun. Jika
ditilik kelompok peminjam, ULN sektor publik tercatat meningkat, sementara ULN
sektor swasta menurun. Rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada
akhir kuartal I-2016 tercatat sebesar 36,5 persen, meningkat dari 36 persen
pada akhir kuartal IV 2015. ULN jangka panjang pada akhir kuartal I-2016
nilainya mencapai 277,9 miliar dollar AS (87,9 persen dari total ULN) atau naik
7,9 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk ULN berjangka pendek
pada akhir kuartal I-2016 tercatat sebesar 38,1 miliar dollar AS atau turun 8,4
persen (kompas.com,
17/05/16).
Hutang negara membludak, statistik
membuktikan bahwa aset pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia di
kendalikan oleh 80 persen perusahaan negara luar. Perusahaan pertambangan emas,
perak, dan tembaga milik Freeport Mc Moran asal Amerika sudah bercokol hampir
32 tahun. Mengeruk sedalam-dalamnya hasil bumi yang bisa dikeruk yang kemudian
meninggalkan ratusan kawah dan tanah tandus. Ironis!
Sehingga tekanan utang dan dominasi
asing dalam ekonomi itu membuat rakyat banyak tidak sejahtera. Bagaimana tidak,
hasil mineral dan tambang, banyak diekspor, padahal di dalam negeri, mineral
dan tambang itu sangat dibutuhkan.
Kapitalisme: Bahaya Nyata!
Sebagaimana diketahui bahwa dalam
sistem negara kapitalisme-sekularistik, sumber pembiayaan negara yang paling
utama berasal dari pajak. Pajak adalah pungutan yang ditetapkan oleh negara dan
ditarik dari rakyat tanpa pandang bulu. Dari dana-dana pajak inilah negara
membiayai seluruh komponen belanja negara, membiayai pembangunan termasuk untuk
membayar cicilan hutang. Jadi, hakekatnya rakyatlah yang berkewajiban membayar
utang negara. Meskipun, seringkali hutang-hutang yang dibuat Pemerintah lebih
menguntungkan pihak-pihak tertentu, termasuk memberikan untung besar pada
negara pemberi hutang. Dengan demikian, dapat dipastikan beban tanggungan atas
hutang-hutan yang terus ditumpuk pemerintahan Jokowi-JK ini akan dipanggulkan
pada pundak rakyat. Padahal, sekedar untuk memenuhi hajat asasinya sendiri,
rakyat sudah terseok dan hampir jatuh ditekan berbagai himpitan kebutuhan dan
kesulitan ekonomi. Akibat beban dan kewajiban utang, SDM dan SDA Indonesia akan
dieksploitasi untuk mendapatkan Devisa guna melakukan pembayaran utang.
Ketika negara sudah tidak lagi
independen dan berjalan sesuai dengan arahan asing, inilah wujud nyata
penjajahan atau imperialisme. Melalui penjajahan gaya baru atau neoimperialisme
inilah, Barat mencengkeram negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Amerika dan
Barat kemudian mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan legitimasi
perundang-undangan hasil karya wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis
oleh rakyat.
Karena itu jangan heran jika rezim
menganut paham neoliberalisme dalam mengatur negeri ini. Paham ini menghendaki
pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme,
negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh
individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan privatisasi sektor
public seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi
komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak
istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang
menyetarakan BUMN dengan usaha swasta.
Neoliberalisme dan neoimperialisme
tentu saja berdampak sangat dampak buruk buat kita semua. Di antaranya,
tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi
yang makin menjadi-jadi, dan kriminalitas yang kian merajalela. Banyaknya
pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti
sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan
investasi politiknya. Eksploitasi SDA di negeri ini secara brutal juga
menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam
memperdagangkan kewenangannya sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya
untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh korporasi domestik maupun asing.
Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik seperti
kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain.
Jadi, neoliberalisme sesungguhnya
merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi).
Ketika itu terjadi, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus
dan pengusaha. Konsekuensinya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk
kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun
asing. Maka, sistem Kapitalisme-Sekularistik merupakan bahaya besar yang
dihadapi Indonesia. Ini bukan sekadar teori atau ancaman, tetapi sudah menjadi
kenyataan di depan mata.
Oleh karena itu, jelas negeri ini
harus segera diselamatkan. Tak ada pilihan lain kecuali dengan Islam. Jadi,
selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah.[]
Sumber: sholihah.web.id
loading...
Post a Comment