AMP - Persitiwa percobaan kudeta yang terjadi di Turki baru-baru ini menimbulkan banyak pemberitaan media massa di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Namun di Indonesia terasa berbeda, karena di media sosial peristiwa ini ramai diperdebatkan. Turki, memang bukan sekedar negara biasa, setidaknya di sebagian benak umat Islam di Indonesia. Boleh jadi, saat ini Turki juga merepresentasikan sebuah harapan. Namun tulisan ini bukan hendak mempersoalkan peristiwa politk yang terjadi di Turki saat ini, namun lebih bercermin, mengapa Turki mendapat tempat yang istimewa di hati masyarakat muslim di Indonesia? Hal ini dapat kita pahami jika kita mau menelusuri hubungan Turki dan Nusantara yang telah terjalin sejak lama. Bahkan hingga ratusan tahun yang lalu.
Posisi nusantara yang menjadi jalur penghubung perdagangan antar benua menjadi titik temu berbagai bangsa-bangsa di dunia. Sejak masa Kesultanan Samudra Pasai, Malaka hingga Aceh, berbagai bangsa melebur. Bagi Muslim di nusantara, dunia yang kosmpolitan bukan panggung yang membuat canggung. Ulama-ulama nusantara sejak lama berguru dan bergaul dengan berbagai bangsa-bangsa di dunia. Termasuk dengan orang-orang dari Turki yang lazim disebut “Rum.” Salah satunya adalah Ibrahim Kurani, ulama asal Turki yang menjadi guru para ulama nusantara seperti Syaikh Yusuf al Maqassari. Selain melalui jaringan keilmuan, perdagangan menjadi pintu gerbang bertemunya kedua bangsa tersebut. merica, cengkeh, karpet Turki, keramik dan sutra cina adalah komoditas yang diperdagangkan antar dua bangsa itu. (Lihat A.C.S. Peacock, The Economic Relaitionship between Ottoman Empire and Southeast Asia in the Seventeenth Century)
Pergaulan yang intens membuka aspek-aspek lain dalam hubungan orang-orang Turki dan nusantara. Beberapa jabatan penting di nusantara diduduki oleh orang Turki. Di Ternate misalnya, Sultan Babullah mempekerjakan orang-orang Turki di bidang artileri. Di Mataram, seorang Tumenggung di Tegal berasal dari Turki. Selain dikancah politik, di bidang dakwah, salah satu nama yang dapat kita temukan terkait dengan bangsa Turki adalah Baba Dawud al Jawiy al Rumiy. Ia adalah ulama berdarah keturunan Turki, yang menjadi murid ulama besar nusantara asal Aceh, yaitu Abdurrauf as-Sinkili. Baba Dawud al-jawi al-Rumiy membantu Abdurauf As Sinkili menulis tafsir Qur’an 30 juz pertama di nusantara, yaitu Turjumanul Mustafid yang ditulis pada abad ke 17, dan hingga kini tetap dipelajari.
‘Dekatnya’ kehadiran Turki dengan nusantara bukan saja dalam arti fisik. tetapi melampauinya. Bangsa Turki (Rum) menjadi lekat dalam benak orang-orang di nusantara. Berbagai karya sastra di Jawa mengaitkan kisah-kisah dalam sastra dengan orang-orang Rum. Serat Paramayoga karya salah satu pujangga besar Keraton Surakarta, Ranggawarsita, memuat hal ini. Dalam karyanya, tokoh Ajisaka diperintahkan oleh Sultan Algabah dari ’Ngerum‘ untuk membina pulau Jawa. Karya sastra lainnya, Serat Jangka Jayabaya “Musarar” memberikan citra positif Turki sebagai bangsa yang memberadabkan Jawa. (Lihat Susiyanto, Turki Usmani di Mata Jawa, www.jejakislam.net)
Di dunia Melayu, karya sastra lisan (dan kemudian tulisan) dalam bentuk hikayat juga tak lepas dari ‘pengaruh’ Turki. Lewat kekhalifahan Usmani, Turki (Rum) sebagai penguasa muncul dalam Bustan as-Salatin karya ulama di Aceh, Nuruddin ar-Raniri. Begitu pula dalam beragam hikayat, Salah satunya Hikayat Bayan Budiman. Vladimir Braginsky dalam Imagining Kings of Rum and Their Heirs, menyebutkan bahwa dalam sastra lisan Tambo Minangkabau, Sultan Rum disebut sebagai penguasa yang menjaga Mekkah dan Madinah. Begitu pula dalam Hikayat Meukuta Alam dari Aceh, Sultan Turki disebut dengan hal yang senada. Hikayat lain dari Aceh yang juga bercerita tentang Sultan Rum, yaitu Hikayat Eseutamu (Istanbul). Terlepas dari cerita fiktif yang terkandung dalam serat, hikayat, dan Tambo tersebut, yang jelas Turki (terutama sosok khalifah Sultan Rum) telah menjadi ingatan kolektif dari masyarakat di nusantara yang telah ada selama ratusan tahun yang lalu dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Kekhalifahan Turki Usmani di nusantara bukan saja hadir dalam karya sastra, tetapi juga mewujud dalam hubungan politik, terutama dengan Kesultanan Aceh. Jejak hubungan diplomasi Kesutlanan Aceh dapat ditelusuri dari surat Kesultanan Aceh di abad ke-16 pada Khalifah Turki Usmani, Sulaiman Agung dan dilanjutkan oleh Sultan Selim II. Kesultanan Aceh di bawah Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar menyatakan diri di bawah perlindungan Kekhalifahan Turki Usmani. Supremasi Kekhalifahan Turki Usmani dalam bidang politik dan militer dimanfaatkan oleh Kesultanan Aceh untuk memperkuat pasukan mereka melawan Portugis. Delegasi resmi Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Huseyn Effendi sampai di istanbul dan diterima dengan baik oleh Kekhalifahan Turki Usmani. Sultan Selim II merespon delegasi Aceh tersebut dengan mengirimkan bantuan armada militer. Meski armada militer tersebut tak sampai ke Aceh karena pemberontakan di Yaman, namun ahli senjata dan meriam dari Turki dapat sampai ke Aceh. (Ismail Hakki Goksoy, Hubungan Turki Usmani-Aceh yang Terekam dalam Sumber-Sumber Turki dalam Memetakan Masa Lalu Aceh)
Pengaruh Turki Usmani pada militer juga terasa di belahan lain nusantara, yaitu di Pulau Jawa. Perang Jawa (1825-183) yang digelorakan Pangeran Diponegoro menyisakan sebuah fakta menarik. Pasukan sang Pangeran mengadopsi struktur organisasi dan hirarki dari Janissari (pasukan elit Turki Usmani). Maka muncullah istilah-istilah militer Turki yang diadopsi dalam pelafalan bahasa Jawa. Ali Basah (Ali Pasha), Bulkiyo (Bulkiya), Turkiyo dan lainnya. (Saleh A. Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro; Stelsel Benteng 1827-1830)
Peralihan dari abad ke 19 menuju abad ke 20 ditandai perubahan situasi dan persepsi terhadap Turki. Harapan Kesultanan Aceh agar mendapat bantuan dari Turki Usmani dalam perang melawan Belanda tak terpenuhi. Kekhalifahan Turki Usmani tak berdaya dililit persoalan internalnya. Namun hal ini tidak membuyarkan bayangan masyarakat di nusantara tentang supremasi Turki. Banyak kabar-kabar yang beredar pada akhir abad 19 dan awal abad ke 20 bahwa Kekhalifahan Turki Usmani akan membebaskan Hindia belanda (Indonesia) dari penjajahan Belanda. Namun harapan dan kabar-kabar ini sirna, seiring runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani, dan munculnya tokoh nasionalisme dan sekularisme Turki, Mustafa Kemal Attaturk. (Anthony Reid, Pan-Islamisme Abad kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia dalam Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad kesembilan Be;as dan Awal Abad ke 20).
Di Indonesia, Kemal Attaturk dan Turki yang sekular memberi daya tarik bagi kalangan nasionalis seperti Bung Karno. Ia menulis dalam Me-”Muda“-Kan Pengertian Islam, bahwa, ”Bagi kita keadaan di Turki itu sebenarnja bukan keadaan asing. Bagi kita perpisahan antara agama dan negara itu sebenarnja, dengan ada perbedaan jang saja tidak bitjarakan disini, sedang kita alami. Bagi kita agama Islam adalah urusan kita sendiri, dan bukan urusan pemerintah“ (Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1)
Di lain sisi Turki dibawah naungan sekularisme tak lagi memesona tokoh Islam. Seperti misalnya A. Hassan, ulama dari Persis. Ia mengkritik pemikiran Sukarno tentang sekularisme yang membebek pada Kemal Attaturk. Menyindir judul tulisan Sukarno, Ust A. Hassan memberi judul “Membudakkan Pengertian Islam.” Argumen Sukarno yang meneladani sekularisme Turki juga mendorong munculnya bantahan dari Mohammad Natsir, yang saat itu menjadi salah satu tokoh muda dari kelompok Islam. Polemik Islam – Sekularisme antara Natsir dan Sukarno ini kemudian menjadi polemik yang legendaris dan tetap relevan untuk dicermati hingga saat ini.
Masa-masa berikutnya, Turki yang sekular tampaknya tidak lagi menarik masyarakat di Indonesia. Tuatannya dengan Islam-lah yang mengikat masyarakat kita dengan Turki. Lintasan lebih dari 400 tahun pergaulan dan pengaruh bangsa kita dengan Turki bukanlah waktu yang singkat. Hubungan dari berbagai aspek seperti perdagangan, politik, militer, hingga sastra meresap dalam ingatan kolektif masyarakat. Berbagai aspek tadi memberi makna pada kita bahwa Turki , betapa pun dipisahkan oleh jarak yang amat jauh, tetap terasa dekat di hati dan benak kita sejak berabad-abad yang lalu.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Posisi nusantara yang menjadi jalur penghubung perdagangan antar benua menjadi titik temu berbagai bangsa-bangsa di dunia. Sejak masa Kesultanan Samudra Pasai, Malaka hingga Aceh, berbagai bangsa melebur. Bagi Muslim di nusantara, dunia yang kosmpolitan bukan panggung yang membuat canggung. Ulama-ulama nusantara sejak lama berguru dan bergaul dengan berbagai bangsa-bangsa di dunia. Termasuk dengan orang-orang dari Turki yang lazim disebut “Rum.” Salah satunya adalah Ibrahim Kurani, ulama asal Turki yang menjadi guru para ulama nusantara seperti Syaikh Yusuf al Maqassari. Selain melalui jaringan keilmuan, perdagangan menjadi pintu gerbang bertemunya kedua bangsa tersebut. merica, cengkeh, karpet Turki, keramik dan sutra cina adalah komoditas yang diperdagangkan antar dua bangsa itu. (Lihat A.C.S. Peacock, The Economic Relaitionship between Ottoman Empire and Southeast Asia in the Seventeenth Century)
Pergaulan yang intens membuka aspek-aspek lain dalam hubungan orang-orang Turki dan nusantara. Beberapa jabatan penting di nusantara diduduki oleh orang Turki. Di Ternate misalnya, Sultan Babullah mempekerjakan orang-orang Turki di bidang artileri. Di Mataram, seorang Tumenggung di Tegal berasal dari Turki. Selain dikancah politik, di bidang dakwah, salah satu nama yang dapat kita temukan terkait dengan bangsa Turki adalah Baba Dawud al Jawiy al Rumiy. Ia adalah ulama berdarah keturunan Turki, yang menjadi murid ulama besar nusantara asal Aceh, yaitu Abdurrauf as-Sinkili. Baba Dawud al-jawi al-Rumiy membantu Abdurauf As Sinkili menulis tafsir Qur’an 30 juz pertama di nusantara, yaitu Turjumanul Mustafid yang ditulis pada abad ke 17, dan hingga kini tetap dipelajari.
‘Dekatnya’ kehadiran Turki dengan nusantara bukan saja dalam arti fisik. tetapi melampauinya. Bangsa Turki (Rum) menjadi lekat dalam benak orang-orang di nusantara. Berbagai karya sastra di Jawa mengaitkan kisah-kisah dalam sastra dengan orang-orang Rum. Serat Paramayoga karya salah satu pujangga besar Keraton Surakarta, Ranggawarsita, memuat hal ini. Dalam karyanya, tokoh Ajisaka diperintahkan oleh Sultan Algabah dari ’Ngerum‘ untuk membina pulau Jawa. Karya sastra lainnya, Serat Jangka Jayabaya “Musarar” memberikan citra positif Turki sebagai bangsa yang memberadabkan Jawa. (Lihat Susiyanto, Turki Usmani di Mata Jawa, www.jejakislam.net)
Di dunia Melayu, karya sastra lisan (dan kemudian tulisan) dalam bentuk hikayat juga tak lepas dari ‘pengaruh’ Turki. Lewat kekhalifahan Usmani, Turki (Rum) sebagai penguasa muncul dalam Bustan as-Salatin karya ulama di Aceh, Nuruddin ar-Raniri. Begitu pula dalam beragam hikayat, Salah satunya Hikayat Bayan Budiman. Vladimir Braginsky dalam Imagining Kings of Rum and Their Heirs, menyebutkan bahwa dalam sastra lisan Tambo Minangkabau, Sultan Rum disebut sebagai penguasa yang menjaga Mekkah dan Madinah. Begitu pula dalam Hikayat Meukuta Alam dari Aceh, Sultan Turki disebut dengan hal yang senada. Hikayat lain dari Aceh yang juga bercerita tentang Sultan Rum, yaitu Hikayat Eseutamu (Istanbul). Terlepas dari cerita fiktif yang terkandung dalam serat, hikayat, dan Tambo tersebut, yang jelas Turki (terutama sosok khalifah Sultan Rum) telah menjadi ingatan kolektif dari masyarakat di nusantara yang telah ada selama ratusan tahun yang lalu dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Kekhalifahan Turki Usmani di nusantara bukan saja hadir dalam karya sastra, tetapi juga mewujud dalam hubungan politik, terutama dengan Kesultanan Aceh. Jejak hubungan diplomasi Kesutlanan Aceh dapat ditelusuri dari surat Kesultanan Aceh di abad ke-16 pada Khalifah Turki Usmani, Sulaiman Agung dan dilanjutkan oleh Sultan Selim II. Kesultanan Aceh di bawah Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar menyatakan diri di bawah perlindungan Kekhalifahan Turki Usmani. Supremasi Kekhalifahan Turki Usmani dalam bidang politik dan militer dimanfaatkan oleh Kesultanan Aceh untuk memperkuat pasukan mereka melawan Portugis. Delegasi resmi Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Huseyn Effendi sampai di istanbul dan diterima dengan baik oleh Kekhalifahan Turki Usmani. Sultan Selim II merespon delegasi Aceh tersebut dengan mengirimkan bantuan armada militer. Meski armada militer tersebut tak sampai ke Aceh karena pemberontakan di Yaman, namun ahli senjata dan meriam dari Turki dapat sampai ke Aceh. (Ismail Hakki Goksoy, Hubungan Turki Usmani-Aceh yang Terekam dalam Sumber-Sumber Turki dalam Memetakan Masa Lalu Aceh)
Pengaruh Turki Usmani pada militer juga terasa di belahan lain nusantara, yaitu di Pulau Jawa. Perang Jawa (1825-183) yang digelorakan Pangeran Diponegoro menyisakan sebuah fakta menarik. Pasukan sang Pangeran mengadopsi struktur organisasi dan hirarki dari Janissari (pasukan elit Turki Usmani). Maka muncullah istilah-istilah militer Turki yang diadopsi dalam pelafalan bahasa Jawa. Ali Basah (Ali Pasha), Bulkiyo (Bulkiya), Turkiyo dan lainnya. (Saleh A. Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro; Stelsel Benteng 1827-1830)
Peralihan dari abad ke 19 menuju abad ke 20 ditandai perubahan situasi dan persepsi terhadap Turki. Harapan Kesultanan Aceh agar mendapat bantuan dari Turki Usmani dalam perang melawan Belanda tak terpenuhi. Kekhalifahan Turki Usmani tak berdaya dililit persoalan internalnya. Namun hal ini tidak membuyarkan bayangan masyarakat di nusantara tentang supremasi Turki. Banyak kabar-kabar yang beredar pada akhir abad 19 dan awal abad ke 20 bahwa Kekhalifahan Turki Usmani akan membebaskan Hindia belanda (Indonesia) dari penjajahan Belanda. Namun harapan dan kabar-kabar ini sirna, seiring runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani, dan munculnya tokoh nasionalisme dan sekularisme Turki, Mustafa Kemal Attaturk. (Anthony Reid, Pan-Islamisme Abad kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia dalam Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad kesembilan Be;as dan Awal Abad ke 20).
Di Indonesia, Kemal Attaturk dan Turki yang sekular memberi daya tarik bagi kalangan nasionalis seperti Bung Karno. Ia menulis dalam Me-”Muda“-Kan Pengertian Islam, bahwa, ”Bagi kita keadaan di Turki itu sebenarnja bukan keadaan asing. Bagi kita perpisahan antara agama dan negara itu sebenarnja, dengan ada perbedaan jang saja tidak bitjarakan disini, sedang kita alami. Bagi kita agama Islam adalah urusan kita sendiri, dan bukan urusan pemerintah“ (Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1)
Di lain sisi Turki dibawah naungan sekularisme tak lagi memesona tokoh Islam. Seperti misalnya A. Hassan, ulama dari Persis. Ia mengkritik pemikiran Sukarno tentang sekularisme yang membebek pada Kemal Attaturk. Menyindir judul tulisan Sukarno, Ust A. Hassan memberi judul “Membudakkan Pengertian Islam.” Argumen Sukarno yang meneladani sekularisme Turki juga mendorong munculnya bantahan dari Mohammad Natsir, yang saat itu menjadi salah satu tokoh muda dari kelompok Islam. Polemik Islam – Sekularisme antara Natsir dan Sukarno ini kemudian menjadi polemik yang legendaris dan tetap relevan untuk dicermati hingga saat ini.
Masa-masa berikutnya, Turki yang sekular tampaknya tidak lagi menarik masyarakat di Indonesia. Tuatannya dengan Islam-lah yang mengikat masyarakat kita dengan Turki. Lintasan lebih dari 400 tahun pergaulan dan pengaruh bangsa kita dengan Turki bukanlah waktu yang singkat. Hubungan dari berbagai aspek seperti perdagangan, politik, militer, hingga sastra meresap dalam ingatan kolektif masyarakat. Berbagai aspek tadi memberi makna pada kita bahwa Turki , betapa pun dipisahkan oleh jarak yang amat jauh, tetap terasa dekat di hati dan benak kita sejak berabad-abad yang lalu.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah – pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Sumber: jejakislam.net
loading...
Post a Comment