ATMOSFER Pemilihan Kepala Daerah 2017
semakin menarik, bahkan jika dibandingkan pelaksanaannya pada 2012.
Perbedaannya terlihat jelas. Seperti meningkatnya kuantitas calon
independen, perubahan peta dukungan partai politik nasional kepada
tokoh-tokoh yang dijagokan dan semakin terdidiknya pemilih dalam
menentukan pilihan di bilik suara nanti.
Bila berkaca pada pelaksanaan sebelumnya, rivalitas hanya berpuncak pada dua pusaran: Irwandy Yusuf versus Zaini Abdullah. Bisa diartikan saat itu, perseteruan politik hanya antara Irwandy, sebagai calon incumbent dengan modal kepercayaan diri yang penuh, melawan Zaini yang saat itu berpasangan dengan Muzakir Manaf. Alhasil, sejarah menulis nama ZIKIR sebagai pemenang mutlak.
Skema rivalitas dua kekuatan politik 2012 di atas tidak akan kita temui pada 2017. Aroma rivalitas tahun politik 2016 sekarang ini saja terbukti berbeda jauh dengan 2012. Pertama, tahun ini, indikator politik menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan baru dan kekuatan lama yang digadang-gadang menjadi kompetitor tangguh melawan Doto Zaini--sapaan Zaini Abdullah--yang masih terus bekerja memperjuangkan amanah perdamaian.
Kali ini, pilkada diramaikan pendatang baru, misalnya, tokoh Gerakan Aceh Merdeka yang kharismatik Zakaria Saman alias Apa Karya. Sosok yang maju melalui jalur independen. Lalu para politikus lama, seperti Muzakir Manaf yang memilih jalan terpisah dari seniornya: Abu Doto. Kekuatan lama yang lain dan juga kharismatik adalah Irwandy Yusuf. Kemudian ada sosok cemerlang seperti Tarmidzi Karim dan Abdullah Puteh juga memiliki basis massa yang lumayan besar.
Kedua, maraknya calon independen dan usungan partai politik nasional maupun lokal, menunjukan kekuatan politik di Aceh semakin heterogen, kaya, dinamis dan lebih penting lagi menjadi alat mendidik rakyat Aceh untuk berpikir cerdas atau selektif saat mencoblos kandidat pilihan.
Ketiga, rivalitas politik semakin melebar di lapangan. Jika pada 2006 yang terjadi adalah rivalitas pusat versus Aceh, saat ini bergeser menjadi: calon dari pusat versus Partai Aceh versus calon independen.
Namun demikian, bila berbicara potensi kemenangan, kita harus percaya bahwa secara dini hakekat pertarungan sebenarnya dari Pilgub Aceh 2017 bisa disimpulkan adalah pertarungan antara incumbent melawan usungan partai-partai nasional, seperti Muzakkir Manaf (Partai Gerindra), Irwandy Yusuf (Partai Demokrat), Tarmidzi Karim (Partai NasDem). Dan, ini akan sangat menarik mengingat kepentingan politik Aceh 2017-2022 menjadi taruhannya.
Jika, independent atau incumbent menang, maka kepentingan Aceh untuk meneruskan kegiatan prioritas seperti pembangunan jalan tol akan segera terlaksana sehingga jalur transportasi bisnis dan pribadi akan lebih lancar.
Incumbent juga bakal menjadi penentu berdirinya 4 atau 5 rumah sakit berkelas internasional di Aceh sehingga tidak perlu berobat keluar negeri lagi. Pendidikan yang semakin berkualitas dengan kuantitas dan kualitas yang semakin prima, kesejahteraan petani yang mulai baik, juga kepentingan nelayan terhadap teknologi penangkapan ikan modern dan banyak hal lainnya yang akan dibuat, secara simultan atau berkelanjutan menjadikan Aceh semakin kuat.
2017 adalah tahun momentum melihat pergeseran sesungguhnya Aceh. Menjadi semakin mandiri atau hanya menjadi perpanjangan tangan politik Jakarta. Dan, sebagai warga pemilik suara, selayaknya warga Aceh mengelola pilihan politiknya sendiri, bukan dikelola oleh titipan dari manapun. Hanya dengan seperti ini, amanah perdamaian dari Yang Mulia Muhammad Hasan Tiro, sebagai founding father politik Aceh hari ini, tetap terjaga marwahnya dengan sempurna.(AJNN)
loading...
Post a Comment